002. Namanya Braga

305 230 444
                                    

Vivi sampai rumah dengan selamat, walaupun kerudungnya sudah miring kesana-kemari tak berbentuk. Setidaknya merasa beruntung karena ternyata Tuhan masih menyayanginya dan ingin ia hidup di dunia lebih lama lagi.

Kak Manya ini memang bukan main, dia pikir dirinya penguasa jalanan atau bagaimana, mengendarai motor seperti kerasukan pembalap MotoGP yang sedang putus cinta. Ingin rasanya Vivi mengumpat, tapi ia harus berterimakasih karena kanjeng ratu satu ini sudah mau meluangkan waktu untuk menjemputnya.

Melihat keadaan Vivi yang urak-urakan seperti homeless di pinggir jalan, kak Manya malah memandanginya dari atas sampai bawah dengan cermat lalu memasang wajah tanpa dosa sembari menekuk tangan kanannya di atas pinggang.

"Gitu aja lemah" kata kak Manya diiringi senyuman mengejek.

Vivi menatap tajam saudaranya ini, karena ulahnya yang nekat menyalip truk dan membuat mereka hampir ditabrak truk isi bensin itu, tapi sekarang dirinya malah diejek lemah? sialan yang benar saja.

Ia masih tersenyum untuk beberapa saat, sebelum berisap melepaskan sepatu dan melemparnya ke arah kak Manya lalu berlari masuk ke dalam kamar sebelum bencana besar terjadi.

Kak Manya mengaduh dan memegangi kaki kirinya yang terkena lemparan sepatu, menyumpah-serapahi kelakuan adik satu-satunya itu.

Saat sampai di kamar, Vivi segera mandi dan berganti pakaian. Sedikit merapikan buku yang ia bawa tadi dan menatanya kembali ke dalam tas, lalu menyapu lantai kamar agar tak terlalu kotor.

Setelah semua dirasa beres, rapi dan nyaman, ia segera melompat ke kasur. Melintangkan kedua tangan lalu berguling-guling layaknya kucing yang mendapatkan tempat persembunyian bagus.

Beberapa saat kemudian, ia seperti mengingat sesuatu. Membuatnya segera terduduk di atas kasur namun tetap setia memegangi bantal kesayangannya. Seperti ada bola lampu yang tiba-tiba menyala di kepalanya, Vivi mengingat bocah laki-laki yang tadi ia temui di gerbang sekolah.

Cepat-cepat mengambil handphone untung mencari info tentang anak tersebut. Membuka grup angkatan berharap menemukan nomornya, menscroll beberapa saat sebelum tersenyum kecil karena berhasil menemukan target yang ia cari.

Membaca nama dari pemilik nomor yang baru saja ia temukan, "Braga Wicaksono".

Sial, mengetahui namanya saja sudah membuat Vivi tantrum tak karu-karuan. Sekali lagi melihat foto profilnya untuk memastikan bahwa nomor itu benar milik anak laki-laki yang tadi.

Dilihat sekilas dari poninya yang berantakan ke samping dan mirip anggota genk anak EMO saja, sudah bisa dipastikan 100% bahwa itu adalah nomor yang tepat.

Tanpa pikir panjang, Vivi segera menyimpan nomor Braga. Berpikir sebentar sebelum tersenyum jahat sambil mengetikkan beberapa kata.

"b for future boyfriend".

Nama kontak yang sangat alay dan terkesan mengada-ngada, namun sepertinya hal normal untuk anak remaja seusianya.

Vivi tak sabar menati hari esok tiba, tentu saja berharap ia bisa bertemu lagi dengan Braga. Karena kelas mereka bersebelahan, bukankah itu artinya mereka berkemungkinan besar berpapasan setiap hari? Mengingat besok adalah hari terakhir MPLS sebelum mereka lanjut belajar dari rumah karena virus covid-19 sedang melanda.

Siapa yang tak ingat tahun 2020? Tahun paling suram saat 1 dunia dilanda virus mematikan. Karena virus tersebut, Vivi bahkan harus rela kehilangan masa awal SMP nya karena sampai saat itu vaksin belum juga ditemukan.

Rasanya muak terus berdiam diri di dalam rumah, apalagi Vivi masih belum punya teman sampai saat ini. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah berkomunikasi dengan teman-teman SD sebelum mereka menjadi asing.

People come and go.

Vivi paham arti kata tersebut, dan itu menjadi salah satu alasan mengapa ia selalu banyak tingkah dan banyak bicara setiap hari. Agar orang-orang yang kelak akan menjadi asing, bisa mengingat dirinya sebagai sosok yang ceria dan humoris.

Terlalu terobsesi dengan image "ceria", membuat Vivi memendam segalanya sendiri dan menjadi pribadi yang tertutup mengenai hal-hal tentang dirinya. Tak pernah berkeluh-kesah karena memang tak punya tempat untuk singgah bercerita.

Baginya, jika nanti semua akan berujung asing, maka siapa yang bisa dipercaya? Kita tak pernah tau bagaimana watak manusia yang sebenarnya dan apa yang mereka lakukan di belakang kita. Bak kata pepatah, "pisau menusuk lebih tajam saat memeluk".

Karena itu ia memilih bungkam dan diam, menganggap dirinya manusia transparan di antara manusia lain yang berlalu-lalang.

Terlihat aneh tapi rasanya cukup menyenangkan, tak perlu khawatir kapan kau akan dikhianati adalah hal ternyaman yang bisa ia rasakan.

Beberapa saat berlalu setelah Vivi tak sengaja terlelap saat sedang bermain handphone setelah menyimpan nomor Braga tadi.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sejenak Vivi bertanya-tanya kenapa perutnya lapar, sebelum ia mengingat ternyata ia memang belum memakan apapun sedari pulang sekolah.

Bergegas ke dapur untuk mencari makanan yang bisa ia makan. Memilih memakan nasi goreng yang ibu buat tadi pagi dengan tenang sembari menonton drama korea dan memangku kucing mereka.

Keluarga Vivi adalah pecinta kucing tingkat tinggi, bahkan sekarang mereka mempunyai 16 kucing di rumah. Hal tersebut bisa terjadi karena 2 kucing betina melahirkan di saat yang bersamaan, membuat 8 kitten berhamburan di dalam rumah.

Belum lagi ulah orang-orang tak bertanggung jawab yang tau keluarga Vivi adalah pecinta kucing lalu membuang kucing mereka di depan rumah.

Vivi masih tak habis pikir dengan orang-orang itu. Bagaimana bisa mereka tega memisahkan kitten yang masih menyusu dengan induknya, salah satu korban dari oknum tak bertanggung jawab itu adalah kucing yang sedang dipangku Vivi, namanya Berry.

Berry ditemukan saat subuh oleh di depan depan rumah, sendirian di dalam kardus. Kaki kirinya pincang saat itu, matanya juga terlihat sakit dan badannya dipenuhi kutu.

Setelah perawatan jangka panjang yang keluarga mereka lakukan, kini Berry berusia 7 bulan dan tumbuh dengan badan sehat serta gemuk. Ia juga menjadi kucing yang lincah dan akrab dengan kakak-kakak angkatnya. Beruntung saat itu salah satu kucing betina di rumah yang bernama Milea, mau menyusui Berry. Bahkan sampai sekaranva Milea masih sering memandikan Berry dan menyayanginya seperti anak kandung.

Ternyata benar, bahwa terkadang hati hewan lebih manusiawi daripada hati manusia itu sendiri.

Vivi merasa iba karena nasib Berry hampir mirip dengan nasibnya, itu mengapa ia sangat menyayangi Berry. Bahkan ia selalu membawa Berry tidur bersamanya dan mengajaknya bermain lebih lama daripada yang lain.

Vivi tau betul rasanya tak diinginkan, sendiri dan bingung dengan apa yang terjadi. Perceraian kedua orang tuanya saat ia masih bayi memang tak ia rasakan secara langsung, namun dampaknya masih terasa berlanjut sedari ia kecil hingga sekarang.

to be continue

Hello, dear readers who i love🤍
Let's vote, comment and follow as support to author. Please don't be a silent readers babe
@moshiemou

Who's The Tall Boy?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang