Vivi merolling matanya ke atas, merasa malas saat mengetahui ia harus menjadi perwakilan siswa yang mengikuti tes AKM.
AKM adalah tes yang dilaksanakan via komputer untuk mencari tau rata-rata kecerdasan siswa yang ada di sekolah. Siswa-siswi dipilih secara random oleh dinas pendidikan. Dan dari 192 siswa yang ada di sekolah ini, kenapa juga harus ia yang terpilih.Tes itu akan dilaksanakan besok pagi, itu kenapa Vivi masih berada di depan meja belajarnya walaupun jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
Bahkan ia sampai tak menyadari alarm nya berbunyi, menyebabkan ia hampir saja terlambat mengikuti tes AKM. Berlari-lari di koridor lalu berhenti sejenak, ia baru sadar ia tak tahu di mana lab komputer berada.
Seolah peka dengan masalah yang ia hadapi, ada kakak kelas yang menggunakan seragam osis menghampiri dirinya. Bertanya apakah ada yang bisa dibantu, kemudian mengantarnya menuju tempat yang ia inginkan.
Untuk kesekian kalinya Vivi ingin mengumpati sekolah ini. Ia sudah berlari-lari di koridor namun ternyata tes ditunda 30 menit lagi karena masalah jaringan.
Ia memilih duduk di depan pintu masuk dan menyenderkan kepala di tembok. Jujur saja Vivi sangat mengantuk karena baru terlelap jam 02.00 dini hari, itu pun ia tak sengaja terlelap setelah lelah mengerjakan soal-soal matematika.
Tak lama kemudian ada guru yang datang dan berdiri di hadapan Vivi, ia memanggil satu per satu siswa sebelum memberi kertas berisi sandi akun yang akan mereka gunakan.
"Sena Puspa Raisya"
"Reza Putra Ramadhani"
"Braga Wicaksono"
Mata Vivi sontak membelalak setelah mendengar nama siapa yang baru saja disebut, seolah lupa dengan kantuknya.
"Wahh Braga kamu tinggi sekali" Kata guru tersebut sembari membandingkan tingginya dengan Braga.
Vivi masih tak percaya, bagaimana bisa ia tak menyadari bahwa Braga juga mengikuti tes ini. Puluhan umpatan yang ingin ia berikan pada sekolah rasamya hilang begitu saja, terganti dengan kata-kata pujian dan ungkapan terimakasih karena sudah memepertemukannya dengan Braga di hari yang cerah ini.
Merekapun dipersilahkan masuk ke dalam lab komputer, namun diperintahkan untuk mengumpulkan handphone masing-masing di meja guru. Tentu saja Vivi memilih masuk belakangan agar bisa memilih tempat duduk yang dekat dengan Braga.
Aba-aba mulai mengerjakan soal sudah diberikan, Vivi segera menekan tombol start agar bisa segera mengerjakan. Vivi yakin ini baru soal nomor satu dan ia juga sudah belajar sampai larut malam kemarin, namun kenapa ia bahkan tak tahu apa yang harus di tulis di kertas buram.
Sedikit menengok ke arah Braga atau lebih tepatnya arah monitor Braga yang berada tepat di sisi serong kanannya. Anak itu sedang sibuk menghitung di kertasnya. Ah ya, bukankah anak itu sejak awal memang terlihat pandai? Tak apa bukan jika ia sedikit mencontek, batin Vivi dalam hati.
Dan ya, hari ini berakhir dengan ia sepenuhnya mencontek jawaban soal matematika milik Braga.
Ia berniat keluar dari lab karena sudah selesai mengerjakan, segwra mengambil handphone di meja sebelum merasakan ada kulit seseorang yang menempel dengan punggung tangannya.
Siapa sangka itu adalah siku Braga yang juga ingin mengambil handphone. Anak itu segera berkata maaf, dan Vivi hanya bisa mengangguk tanda memaafkan.
Bahkan sekarang Vivi bisa membayangkan dengan jelas bahwa ia ingin mengadakan resepsi dengan adat jawa dan hanya mengundang sedikit tamu. Membangun rumah sederhana yang agak jauh dari pusat kota, lalu mempunyai 2 anak yang manis dan penurut.
Siapapun tolong sadarkan Vivi bahwa jalannya mendapatkan Braga masih sepanjang tol yang belum selesai dibangun. Bisa-bisanya semua masa depan yang ia idam-idamkan sudah terpampang begitu jelas, padahal mereka hanya bersentuhan tangan.
Ia takut akan menjadi wanita gila yang mengejar-ngejar cinta Braga, namun apa boleh buat jika memang itu kenyataannya.
Vivi memilih menunggu di pintu gerbang dan menghubungi orang rumah untuk menjemputnya. Lalu untuk kedua kalinya Vivi melihat Braga yang sedang berdiri di sampingnya dan mengamati lalu-lalang, terlihat seperti ingin menyebrang.
Wah rasanya seperti deja vu, Vivi jadi penasaran sebenarmya dimana rumah Braga, kenapa anak itu selalu berjalan kaki setiap pulang sekolah.
Tak lama kemudian muncul notifikasi WhatsApp di handphone Vivi. Di sana tertulis bahwa semua orang rumah sedang pergi dan ibu menyuruhnya untuk menyusul ke tempat kerja ibu.
Kebetulan tempat kerja ibu hanya sekitar 300 meter dari SMP Wirabrata,dan arah tersebut adalah arah yang sama yang sedang dituju Braga.
Vivi mempercepat langkahnya, ini adalah kesempatan bagus agar ia bisa mengetahui di mana Braga tinggal. Saat mencapai belokan, Vivi seperti tertinggal jauh. Tiba-tiba saja punggung anak itu sudah tak terlihat, ia memutuskan sedikit berlari untuk mencari tahu di mana hilangnya Braga.
Ternyata saat ia berbelok tadi, Braga masuk ke arah gang perumahan. Perumahan tersebut bahkan berada tepat di samping tempat kerja ibu. Yah setidaknya Vivi jadi tahu bahwa Braga ini anak orang kaya yang tinggalnya saja di perumahan elite di pusat kota.
Ia jadi berpikir lagi untuk menyukai Braga, takut nasibnya sama dengan wanita biasa-biasa saja yang menyukai pria kaya di drama korea. Siapa tau suatu hari saat sedang berpacaran, tiba-tiba ia disiram kuah ramyeon oleh ibu Braga.
Vivi duduk di kursi lobby SD Pawira, melihat anak-anak smp yang tampak seperti balita di matanya. Padahal ia belum genap 1 tahun lulus dari sekolah Dasar, namun rasanya seperti sudah menjadi sesepuh saja.
Ia jadi teringat kenangan bersama teman-temannya saat masih SD, masih percaya tak percaya jika sekarang mereka tak bersama lagi. Mereka hang dulunya duduk tak sampai 1 meter jaraknya, sekarang tak bisa ia lihat setiap hari.
Tak lama kemudian ibu datang, mereka pun segera menuju ke parkiran. Siapa sangka ternyata ibu mengajaknya ke pasar untuk membeli kebutuhan bulanan mereka, Vivi sih senang-senang saja bisa ikut berbelanja dan membeli jajanan.
Mereka menuju ke pasar yang paling besar di daerah itu. Sesampainya disana segera menitipkan motor ke tukamg parkir lalu menuju toko sayur langganan ibu. Dengan cekatan ibu memilih sayur-sayur segar yang ada disana, dibalik satu per satu untuk memastikan tak ada bagian yang busuk atau dimakan serangga.
Vivi memperhatikan orang-orang yang ada di sana. Sebelum tak sengaja melihat ibu yang mengangkat sayur brokoli yang sontak membuat dahinya berkerut tak suka. Oh ayolah Vivi tak pernah menyukai endingnya.
Ibu tersenyum lalu menoleh ke arah Vivi "Nahhh ini menu makan kita nanti malam".
Vivi merolling matanya malas, ia tak bisa menolak apa yang sudah menjadi perintah mutlak sang ibu. Daripada ia disuruh memasak sendiri, lebih baik terpaksa mengunyah brokoli hambar.
Setelah itu mereka lanjut berbelanja ke toko buah, di sinilah Vivi selalu menunjukkan kehebatannya dalam memilih buah yang manis dan segar. Dengan secepat kilat Vivi memasukkan buah pir, mangga, pisang dan jeruk ke dalam kantung belanja. Bahkan ia memilih buah-buah tersebut tak sampai 5 menit lamanya. Ibu bertepuk tangan tanda memberikan applause pada sang buah hati. Mereka selesai berbelanja saat waktu maghrib tiba, ia dan ibu memilih cepat-cepat pulang agar tak terlalu malam sampai di rumah.
Saat Vivi selesai mandi dan sedang berjalan menuju dapur untuk makan, ia seperti mengingat sesuatu yang buruk dan berniat ingin berputar balik. Tepat sebelum kak Manya melihatnya dan menyeret baju Vivi menuju meja makan. Dan di sinilah ia, bertarung dengan satu mangkok benuh brokoli goreng yang ibunya masak dengan senang hati. Tak banyak yang Vivi minta, ia hanya berharap Tuhan memberikannya cukup kekuatan untuk menghabiskan brokoli-brokoli ini.
to be continue
Hello, dear readers who i love🤍
Let's vote, comment and follow as support to author. Please don't be a silent readers babe
@moshiemou
KAMU SEDANG MEMBACA
Who's The Tall Boy?
Romance"Aku tak bertanya apapun, tapi sepertinya masalah remaja yang putus cinta" kata Vivi dengan tetap mendekap lengan sang suami. "Ah.. remaja memang selalu begitu ya. Tapi cinta saat remaja memang seperti itu bukan? sepertimu yang tak pernah melupakan...