Bab 4 - Perasaan Nadia

1 1 0
                                    

Akhirnya up juga bab 4 setelah sekian lama. Selamat membaca.

Nadia menghampiri Mirna di bangkunya. Dia berjalan seperti tidak bertenaga, lemas. Nadia duduk di bangku sebelah Mirna.

"Kenapa, lo? Habis nangis? Kok mata lo sembab gitu?" tanya Mirna penasaran.

"Gue abis diputusin." Air mata Nadia menggenang, tapi sekuat tenaga dia tahan.

"Diputusin sama Juno? Kapan? Di mana? Emang hari ini dia sekolah?"

Nadia belum sempat menjawab pertanyaan Mirna, Bu Firda—guru Biologi sudah ada di depan kelas. Dengan terpaksa Nadia mengalihkan pandangan ke guru yang mengajar. Pikirannya membawa Nadia ke masa lalu, saat pertama kali dia bertemu dengan Juno di SMP.

Juno yang usianya lebih tua satu tahun dari Nadia adalah teman satu kelas di SMP. Juno yang pandangannya selalu pada Nadia sejak mereka berkenalan di kelas 1. Lelaki yang selalu tersenyum manis dan menunggunya setiap hari di depan kelas. Postur tubuh Juno yang tinggi selalu melindungi Nadia dari serbuan siswa lain saat rebutan belanja di kantin sekolah.

Juno adalah sosok yang selalu menjaga Nadia di sekolah. Ketika di SMP Nadia termasuk siswi yang menjadi incaran para siswa untuk dijadikan pacar. Tetapi, Nadia menolak semua yang ingin menjadi pacarnya, karena Maminya tidak membolehkan Nadia pacaran. Juno tahu hal ini. Karena itu selama dua tahun di SMP dia hanya berteman dengan Nadia. Sering datang ke rumah Nadia untuk belajar bersama. Jika ingin mengajak Nadia pergi nonton atau makan di luar, Juno selalu meminta izin pada orang tua Nadia.

Saat menginjak kelas 3, semua siswa makin giat belajar, sama seperti Nadia dan Juno. Di sela-sela padatnya jadwal belajar, mereka memutuskan untuk berpacaran, agar semakin semangat untuk belajar, untuk mendapatkan nilai yang bagus dan bisa masuk ke sekolah SMA favorit mereka.

Hasil ujian akhir Nadia dan Juno memuaskan, dan mereka berdua masuk ke sekolah favorit. Bahkan saat di SMA, Juno memutuskan untuk ikut kegiatan ekstrakulikuler paskibra. Postur tubuhnya yang tinggi, dan nilai yang bagus menunjang kegiatan paskibra.

Namun, berbeda halnya dengan Nadia. Sejak SMA. Semangat belajarnya menurun, nilai semester satunya masuk rata-rata. Dia mulai merasakan tidak semangat belajar sejak Juno sibuk dengan kegiatan ekstrakulikulernya.

Hubungan mereka yang awalnya harmonis menjadi renggang sejak di SMA. Nadia seringkali dilarang menghubungi Juno terlebih dahulu, sehingga dia hanya menunggu Juno menghubunginya, entah itu via Whatsapp atau telepon. Terlalu sering menunggu membuat Nadia merasa bosan dengan hubungannya, tetapi dia tetap menjalaninya.

Sayup-sayup suara Mirna menyadarkan Nadia dari lamunannya. Nadia tersadar sepenuhnya setelah Mirna menyubit lengannya yang mengakibatkan teriakan keluar dari mulut Nadia.

"Nadia, ada yang mau ditanyakan?" tanya Bu Firda setelah mendengar teriakan Nadia.

Nadia terkejut, "Nggak, bu." Lalu dia memukul lengan Mirna. Mirna yang kesakitan hanya bisa meringis.

"Yang lain ada yang mau bertanya?" Bu Firda diam sejenak menunggu pertanyaan dari siswa, "Jika tidak ada pertanyaan, kita masuk latihan soal."

"Yaaah ...," koor siswa berjamaah.

"Buka halaman 53, kerjakan tugas satu, dan dua. Jika sudah selesai kumpulkan ke meja guru."

"Pulang sekolah gue ke rumah lo, ya, Mir."

Mirna menganggukan kepala, dan tersenyum pada Nadia. Kemudian mengelus pundak sahabatnya.

***

Di kamar Mirna, Nadia menunggu sahabatnya yang mengambil camilan dan jus untuk menemani obrolan mereka siang itu. Selama menunggu Mirna, Nadia masih terbayang saat dia dan Juno sering bersama di akhir pekan. Terkadang mereka pergi menonton bioskop atau belajar bersama di siang hari. Mereka tidak pernah keluar berdua saat malam hari apalagi pulang larut malam. Jika sore hari tiba, maka Juno akan mengantar Nadia pulang, meskipun Nadia merengek ingin terus bersama dengan juno.

Perilaku Juno yang seperti ini membuat orang tua Nadia memberikan izin untuk mereka berpacaran dan jalan, serta selalu mengingatkan agar tidak terjerumus ke pergaulan yang tidak baik. Nadia sangat menyayangkan sikap Juno yang tiba-tiba berubah dan mengakhiri hubungan mereka.

"Ya udah, Nad, lupain aja Juno, kita cari cowok baru, gimana?"

"Nggak bisa gitu, Mir, nggak ada yang sebaik Kak Juno. Dia selalu ngejagain gue. Selama di SMA, gue kehilangan sosok Kak Juno karena dia sibuk ama paskibranya."

"Iya, gue tau. Dia juga yang ngajak putus, jadi lupain aja. Sekarang bukan waktunya buat bersedih. Kamu terlalu berharga."

"Boleh nggak kalau gue sedih, sehari aja? Boleh, ya?"

"Kalau cuma sehari aja boleh, tapi nggak boleh lama-lama, janji?"

"Janji." Nadia melingkarkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Mirna.

"Nad, lo sama sekali nggak tertarik sama kakak kelas yang kemarin ngambil buku PR lo?"

"Gue males ngomongin dia."

"Lo masih inget namanya?"

Nadia mencoba mengingat nama siswa itu, tetapi dia tidak berhasil mengingat nama siswa itu.

"Besok aku mau cari tahu tentang kakak kelas itu. Siapa namanya."

"Lo kali yang naksir dia, Mir?"

"Nggaklah. Cuma gue ngerasa ada sesuatu dengan kakak kelas itu. Tapi gue belum tau itu apa."

"Kayaknya udah sore, deh. Gue pulang dulu, ya. Nanti dicariin Mami sama Papi."

"Yaaaah, kan mainnya baru sebentar. Kamu juga baru cerita sedikit. Nanti aja pulangnya, kalo udah malem."

"Besok kan kita masih sekolah. Jadi nggak boleh main sampe malem, bahaya buat anak perempuan."

"Pasti kata Mami lo, kan? Mami lo protektif banget sama anaknya yang satu ini."

Sebuah panggilan masuk ke ponsel Nadia. Panggilan dari Papinya.

"Kayaknya gue udah dijemput deh, Mir," ucap Nadia dengan wajah murung.

"Halo, Pi."

"Nad, Papi ada di depan rumah Mirna. Kamu pamitan dulu sama Mirna. Pulang sekarang, ya, Nak."

"Ya udah. Nadia pamitan dulu sama Mirna." Nadia mengakhiri panggilan telepon. "Mir, gue pulang sekarang, ya, Papi udah jemput."

"Oke. Hati-hati di jalan. Jangan kebanyakan melamun," ucap Mirna memeluk sahabatnya.

"Makasih, ya, buat semuanya. Lo emang sahabat terbaik gue."

"Kalo lo tiba-tiba kangen Juno, telepon aja gue."

Nadia berjalan meninggalkan kamar Mirna. Mirna mengantar Nadia menemui Papinya. Setelah berpamitan dengan Mirna dan ibunya, Nadia masuk ke mobil. Di dalam mobil papi Nadia melihat wajah anaknya yang tidak ceria seperti biasa.

"Anak Papi kenapa? Mukanya kok ditekuk begitu?"

"Nadia, nggak apa-apa sih, Pi," jawab Nadia canggung.

"Kalau ada apa-apa, cerita aja sama Papi atau Mami. Jangan ada yang disembunyikan, ok?"

"Iya, Pi. Nadia pasti akan cerita ke Papi sama Mami kalau ada apa-apa. Tapi, sekarang nggak ada apa-apa," ucap Nadia berusaha menyembunyikan perasaannya. "Pi, nyetirnya agak cepetan dikit, ya. Nadia kangen masakan Mami, udah kelaperan ini."

Mobil papi Nadia melaju lebih kencang membelah jalanan kota, karena penumpangnya merasa lapar.







Perplexed (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang