Angka dan Mimpi

410 26 17
                                    

Ajeng mendengarkan cerita adiknya dengan saksama. Tak sepatah kata komentar pun dikeluarkan olehnya. Ajeng juga tidak menganggap adiknya mengada-ada atau mengarang cerita konyol. Ia tahu, apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dan, semoga saja, ya-semoga... Ajeng bisa menolong adiknya dalam hal ini.

Segera saja setelah Ghina selesai bercerita, Ajeng sedikit berkomentar, sedikit kata-kata untuk menenangkan adiknya.

"Yah, Ghin. Kamu lebih baik jangan berjalan dalam gelap ketika tengah malam. Kemudian, kamu boleh tidur di sini kalau kamu mau," ujar Ajeng lembut. Ghina kaget mendengar pernyataan kakaknya itu. Ternyata, kakaknya sungguh baik hati, tapi dia tidak mau menyusahkan kakaknya.

"Emm... iya makasih, jeng. Tapi aku toh mungkin cuma berhalusinasi, mungkin karena kecapekan. Cuma malam ini, aku akan tidur di sini, aku akan usahakan hal itu. Aku akan berusaha berani," begitulah jawaban Ghina. Ajeng hanya tersenyum dan kemudian menyuruh adiknya tidur, serta mematikan lampu.

***

Aku jatuh.
Sekarang, aku dimana?

Banyak sekali pintu tertutup dengan angka yang berbeda-beda yang tertulis di atasnya. Selain pintu, sepertinya dimensi ini adalah hanya ruang putih kosong yang tak pasti di mana ujungnya. Ghina merasakan kesakitan di kepalanya, pusing melihat pemandangan putih terus menerus. Dipegangnya tombol salah satu pintu itu, kemudian di putarnya, pintu bernomor 357.

Dia kini berada di sebuah hutan lebat. Hening, tak satu suara pun merekah di udara. Angin bertiup pelan, dingin, tidak nyaman, seolah menyuruh Ghina pergi dari sini. Ghina kini jauh lebih takut dari sebelumnya, dia menoleh untuk mencari pintu tempat dia masuk tadi, tapi pintu itu tiada disana. Ghina merinding.

Sesuatu menyentuh pergelangan kakinya. Ghina berteriak kencang ketika tangan itu kemudian mencengkeram pergelangannya.

"Berikan aku minum. Berikan aku minum," kata sosok yang memegang kaki Ghina dengan suara parau, serak, seperti orang yang sudah sekarat.

Ghina kebingungan, ketakutan. Orang itu terus mengulang-ulang kata-kata yang sama. Ghina harus mencari air untuknya, jika tidak, orang ini akan mati. Seketika itu Ghina tiba-tiba menangkap sebuah bunyi aliran air sungai. Dia mencari-cari arah datangnya bunyi itu.

"Tunggu sebentar. Aku akan mengambilkan air untukmu," begitu kata Ghina. Orang yang sekarat itu terkulai lemas, sambil menunjuk ke arah ransel yang dia bawa. Ghina bingung saat itu, kemudian dia sadar bahwa sosok itu menunjukkan tempat minum yang kosong di ranselnya, Ghina segera mengambilnya dan berlari ke arah sungai.

Segera saja Ghina kembali ke tempat orang sekarat itu berada dan menenggukkan air kepadanya. Sebotol habis diminumnya. Kini, tampaknya orang itu hendak berbicara. Orang itu sangat kurus, dengan tonjolan tulang yang nyata, seolah tak berdaging.

"Terima kasih, Ghina." itu yang keluar dari mulutnya. Ghina terperanjat, bagaimana orang itu dapat mengetahui namanya? Baru saja Ghina hendak bertanya, kemudian tiba-tiba seluruh benda disekitarnya mulai mencair, seperti lilin yang terbakar.

Ghina menoleh ke arah orang tadi. Dia juga ikut meleleh, Ghina ketakutan.

"Terjun ke dalam sungai! Terjun! Aku bilang terjun!" orang itu terus berteriak seperti itu sambil terus mencair.

"Aku tidak bisa berenang!" kata Ghina, cemas. Orang itu terus mengulang teriakan yang sama. Karena dunia ini semua seakan meleleh dan Ghina seperti akan tertelan bersamanya, Ghina segera nekat terjun ke dalam sungai. Sungai itu dalam sekali, dan ketika ia terjun, pandangannya berubah gelap, hitam semuanya.

Ghina terbangun. Dengan napas yang tersengal-sengal dan hati yang berdebar-debar tak karuan. Ajeng ada di sebelahnya, memandangnya dengan tatapan aneh.

"Mimpi buruk?" tebak Ajeng tiba-tiba. Ghina hanya mengangguk dan beranjak pergi. Ajeng jauh lebih khawatir, mungkin Ghina dalam masalah.

Locked RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang