Kisah Ajeng (part 1)

360 18 6
                                    

"Apa yang dia mau lagi?"

"Tak cukupkah diriku saja yang mendapat kemampuan janggal ini?"

"Rakus. Makhluk rakus. Aku tahu dia akan datang lagi. Aku harus siap dengan segala kemungkinan buruk yang akan segera terjadi,"

"Aku tidak mau Ghina turut mendapat kemampuan janggal yang sama seperti aku, atau bahkan lebih parah..."

Di sini, aku, Ajeng. Kejadian 5 tahun lalu bukanlah salah adikku, Ghina. Kami hanya bermain di rumah itu, berlarian, berkejaran, bersembunyi. Tiap ruang adalah tempat yang sah-sah saja untuk aku dan Ghina masuki. Kecuali ruang itu.

Memang seharusnya aku tidak mengabaikan perkataan Eyang. 'Jangan melangkah ke dalam ruang yang di sana'. Tapi kami hanya sepasang bocah lugu yang main petak umpet. Kemudian, peristiwa itu adalah buah dari kecerobohan kami berdua.

Akan aku ceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi, dari akarnya.

***

Hari itu, kami berdua masih sepasang gadis kecil yang nakal, suka berlarian, dan terkadang tanpa sengaja menjatuhkan barang, maluapkan amarah ibu kami.

Kami bermain petak umpet pada hari itu. Di mulai dengan Ghina yang bersembunyi, dan aku yang mencari. Semuanya berjalan dengan mengasyikkan, dan lebih hebat lagi, kami tidak memecahkan sebuah barang pun di rumah Eyang.

Aku kesulitan sekali untuk mencari adik kecilku itu. Postur tubuhnya yang kecil membuatnya dapat bersembunyi di mana saja. Aku sudah lelah dan putus asa dalam usaha mencari nya dan berteriak tanda menyerah.

"Baiklah, Ghin! Aku menyerah! Kamu menang dan keluarlah sekarang!" kataku sambil berteriak kencang.

Tak ada satu suara pun yang menjawab. Hanya ada aku dan adikku di rumah ini. Eyang dan kedua orangtuaku sedang pergi. Aku terus berteriak memanggil nama adikku, sambil terus memperhatikan sekitar, kalau-kalau saja dia mengendap-endap untuk mengejutkanku dari belakang. Tapi, itu tidak terjadi. Tiada sebarang suara maupun gerakan yang terdengar. Tentu saja ini membuatku begitu gelisah.

Aku lihat satu pintu ruangan yang terbuka. Ruangan ini terletak di bagian ujung rumah, tampak kekurangan cahaya dan penuh dengan debu serta sarang laba-laba. Mungkin Ghina memasuki ruang ini. Aku memberanikan diri untuk terus melangkah maju dan menyelidiki ruangan itu.

Bau nya tidak sedap. Bisa dikatakan, begitu aku melangkah masuk, aku terkesima sekaligus merasa jijik dengan bau lembap yang menusuk hidung. Aku tidak pernah tau ada ruang sebesar ini di rumah tua Eyang. Ruang ini tidak diberi pencahayaan sama sekali, dan hanya berisi barang-barang yang sudah tidak terpakai.

Kemudian, ruangan itu menghasilkan begitu banyak suara... Aku tersentak. Kata-kata apa yang harus aku pakai untuk mendeskripsikan bunyi raungan dan rintihan yang tiba-tiba saja bergema di ruang ini? Sungguh bising, seolah mampu merobek gendang telingaku. Aku tidak tahan.

Mataku bergerak mencari pintu yang tadi terbuka lebar. Aku ingin lari dan aku takut. Aku sedang berada dalam mimpi buruk yang nyata. Lebih buruk lagi, pintu itu sudah tidak ada di sana. Ruangan ini bukan ruangan senyap yang tadi aku masuki lagi. Aku begitu takut.

Berlari sekencang mungkin tanpa tau arah dan tujuan adalah satu-satunya hal yang aku bisa lakukan. Aku menaiki tangga, menuju lorong gelap dengan banyak pintu yang harus aku coba buka satu demi satu.

Ada yang menginginkanku untuk melihatnya dibelakang. Aku dapat merasakan kehadiran sesosok makhluk dengan hembusan napas kecil yang membuatku merinding. Hal itu membuatku terus berlari dan membuka pintu kamar - kalau tidak salah - bernomor 356.

Aku rasa aku telah menjelajah dimensi lain. Atau, pintu ini membawaku ke tempat yang seolah-olah aku ingat aku pernah kunjungi. Aku mengenal tempat ini dan aku merasakan Deja Vu. Begitulah sekiranya.

Kota mati, dengan langit berwarna merah darah dan rumah-rumah kosong serta gedung pencakar langit yang tidak terisi. Aku lah yang ada di sini, tiada sesiapa lagi. Ini adalah hal terburuk bagi diriku, untuk berada di kota tanpa penghuni dengan langit merah darah. Aku salah. Aku tidaklah sendiri.

Tangan dingin itu meraba pundakku, memainkan rambutku, kemudian berbisik sungguh pelan di telingaku. Aku tidak mendengar perkataannya. Kemudian, aku dengan keberanian luar biasa menepis tangan itu dan aku kini dengan jelas dapat melihat rupa makhluk itu.

Kulit biru, telinga panjang, dan senyum - lebih kepada seringai - yang menunjukkan sederetan gigi tajamnya. Matanya setenang perilakunya, sekaligus sinis dan menyeramkan. Seolah kau tidak bisa memprediksi apa yang makhluk itu akan lakukan berikutnya, dengan tiba-tiba ia bisa saja membunuhmu, atau mengajakmu minum teh. Perilaku tenang namun menyeramkannya membuatku terus melangkah mundur. Tapi, jarakku dari dia tidak pernah menjauh.

"Selamat datang, nona. Aku senang kau memilih ruang ini. Rasanya, aku tahu apa yang anda cari di sini," katanya sambil memamerkan sebuah seringai. Aku pikir dia sakit jiwa, atau sejenis makhluk yang kelihatannya berprilaku santun, kemudian menenggelamkanmu dalam tipu dayanya.

"Aku hanya ingin adikku," jawabku singkat, berusaha tidak gemetar. Dia tertawa, terdengar seperti tawa yang mencemooh, penuh sinisme, kekejian, dan kemuan yang kuat. Dia berhenti tertawa dan dengan waktu tidak lebih dari sedetik, ekspresinya kembali datar. Dia menatap mataku lekat-lekat, seolah tidak akan pernah melepaskannya.

"Seperti yang kau mau, kau boleh mendapatkan adikmu, juga keluar dari sini. Tapi, itu hanya akan menguntungkanmu, lalu bagaimana dengan aku? Mari kita lakukan pertukaran," katanya dengan nada suara yang datar. Matanya mencerminkan kekejian dan kesepian yang berlarut-larut. Dia mengulurkan tangannya kepadaku.

"Nona, biarlah aku menunjukkan dimana keberadaan adik nona. Namun setelah itu, nona harus mendengar kesepakatan yang akan aku buat, dan menyetujuinya jika ingin keluar dengan selamat," katanya. Aku kemudian mengangguk kecil dan mengikutinya.

Aku sungguh tidak tahu apa yang aku lakukan...

Locked RoomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang