Dia yang Kembali

33 8 10
                                    

Seperti biasa, akhir pekan akan menjadi waktu khusus untuk keluarga Prajaya menghabiskan waktu di rumah. Mama yang dibantu Luna sedang membuat cemilan sore untuk mereka. Sedangkan Ayah dan Nindy sudah duduk di teras rumah. Tidak ada perdebatan yang dilakukan oleh Ayah dan anak ini. Mungkin lebih tepatnya, Ayah yang masih takut untuk mengusik Nindy sejak hari itu. Memang sudah satu bulan terlewat, namun cerahnya Nindy belum juga kembali. Seringkali ia mendapati anaknya itu terlarut dalam lamunan, mendengar suara tangisnya hampir setiap malam. Memang benar, Nindy sudah kembali berinteraksi di rumah, tersenyum dan tertawa seperti biasanya. Namun rasanya tetap saja kosong. Ia hampir tidak mengenali si bungsu Prajaya.

"Adek tau adek tampan menawan, tapi bisa gak ngeliatinnya biasa aja? entar naksir kan repot" tidak, kalian sedang tidak salah dengar. Nindy memang sering kali menyebut dirinya tampan. Ia tidak suka di sebut cantik, menggelikan menurutnya.

"Boleh juga, kapan lagi kamu dapat om-om kaya terus ganteng kayak ayah?" Nindy mengernyit mendengar ucapan sang Ayah.

"najis"

"Astagfirullah adek, terluka hati Ayah" ujarnya lagi dengan nada yang sedikit berlebihan.

"Lebay ah, mending ayah genjreng gitar, adek yang nyanyi" Ayah mengangguk dan mengambil gitar yang sejak tadi ia terlantarkan di lantai teras.

Suara petikan gitar ayah mulai terdengar dengan lembut. Entah memang ikatan batin Ayah dan Nindy yang telalu kuat, petikan gitar ayah saat ini sesuai dengan lagu yang akan ia nyanyikan. Padahal ia belum memberitahukan tentang lagunya. Matanya memandang jemari ayah yang begitu lihai membunyikan alat musik itu. Ada jeda disana, sebelum akhirnya ia memulai nyanyiannya.

"Kemarin ku dengar kau ucap kata cinta
Seolah dunia bagai di musim semi
Kau datang pada ku membawa luka lama
Ku tak ingin salah semua seperti dulu.."

Langkah Luna terhenti sejenak. Ia tau lagu ini, lagu favorit Nindy yang akan selalu gadis itu nyanyikan di berbagai kesempatan. Saat pertama kali mendengarnya dulu, Luna tau, Nindy tidak benar-benar mengerti dan mendalami lagu tersebut. Bahkan saat ia benar-benar menyanyikannya, Nindy sama sekali tidak berhasil mendapatkan emosi tersebut. Terdengar datar, namun tetap menenangkan. Namun saat ini berbeda. Ia dapat merasakan penghayatannya. Bagaimana jiwanya mulai menyatu ke dalam lagu tersebut. Menyatakan perasaannya lewat lagu yang ia nyanyikan. Nindy berhasil membawakan lagu ini pada akhirnya. Keberhasilan yang menyedihkan.

"Tak ingin lagi rasanya ku bercinta setelah ku rasa perih
Kegagalan ini membuatku tak berdaya
Tak dapat lagi rasanya ku tersenyum setelah kau tinggal pergi
Biar ku sendiri tanpa hadir mu kini lagi.."

Si bungsu memang sangat tertutup, ada banyak hal yang ia simpan sendiri dengan baik. Namun lewat lagu ini, Ayah, Mama dan Luna sedikitnya mengerti. Nindy untuk pertama kalinya merasakan apa itu patah hati. Terpisah bahkan sebelum keduanya memulai menjadi luka tersendiri untuknya. Mulai merasa wajar akan sedih yang di alami si bungsu. Mencoba mengerti atas luka dan kecewa yang dialami.

Ayah mengakhiri petikan gitarnya bersamaan dengan Nindy yang tiba-tiba terdiam. Di usapnya pelan kepala si bungsu, mencoba menenangkan Nindy yang berusaha untuk menahan sedihnya yang terus menggebu-gebu ingin di lepaskan. Ayah tau, Nindy hanya tidak ingin menangis di depan keluarganya lagi.

"Kehilangan itu bukan suatu hal yang mudah untuk semua orang, tapi mereka yang pergi bukan berarti benar-benar hilang, mereka ada, cuma gak bisa adek liat aja" Ayah tersenyum, masih mengusap kepala Nindy dengan lembut.

"Sedih, kecewa, semuanya itu boleh, adek mau nangis juga gapapa, tapi inget, jangan berlarut. Raganya emang udah gak ada, tapi percaya sama Ayah, dia bakal tetap abadi dalam kenangan. Dia merhatiin adek dari sana, ikut sedih tiap kali liat adek nangis malem-malem sendiri" Nindy menoleh, menatap sang Ayah yang masih menatapnya dengan lembut.

PRAJAYA SQUADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang