Menghindar

25 8 22
                                    

"Pagi sayang"

"Pagi" Abriana tersenyum saat Aaric mengecup pipinya dan duduk di ruang makan, bersiap untuk sarapan.

"Kakak sama adek gak ikut sarapan lagi?" hanya helaan nafas dan anggukan yang menjadi jawaban.

Sudah dua minggu ini kedua putrinya berangkat sangat pagi dan pulang sangat malam. Jika berada dalam ruang yang sama secara tidak sengaja, maka salah satunya akan dengan cepat pergi. Bahkan di hari libur yang seharusnya menjadi rutinitas mereka berkumpul bersama, keduanya tidak lagi berada dirumah.

"Gak usah dipikirin, gih makan, nanti telat kamu" Aaric hanya mengangguk namun tangannya justru mengambil ponsel setelah melihat notifikasi.

"Hpnya nanti dulu, klienmu gak bakal ilang cuma karena ditinggal sarapan"

"Bentar" Abriana hanya menghela nafas setelahnya dan duduk berhadapan dengan sang suami.

Pandangannya tertuju pada Aaric yang masih sibuk dengan ponselnya. Berbagai macam hal mulai memenuhi kepalanya. Semua yang ia simpan seolah saling berdesak-desakkan untuk segera dilepaskan. Abriana tidak banyak mengeluarkan isi pikiran dan hatinya pada sang suami, tidak seperti dulu saat mereka masih berpacaran. Jika dulu cenderung Aaric sebagai pendengar, maka sekarang Abriana lah pendengar setia keluarga kecilnya. Itu bukanlah masalah untuknya, namun untuk sekarang, ia merasa tidak bisa menahannya. Terlalu membingungkan.

"Kak"

"Hm?" sahut Aaric yang tidak mengalihkan pandangannya.

Merasa tidak ada sahutan lagi, dengan cepat ia menyelesaikan balasan pada pesan sekretarisnya dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang istri.

"Kenapa?" tidak ada balasan. Keduanya hanya saling memandang. Tiba-tiba merasa ragu untuk menyampaikan apa yang mengganggu pikirannya dan berakhir menyerah untuk kembali menyimpannya.

"Kamu cepat sarapannya, udah mau telat itu" ujar Abriana dan segera bangkit dari duduknya untuk membersihkan dapur.

"Kamu gak makan?"

"Udah tadi" Aaric mengangguk mengerti dan memulai sarapannya seorang diri.

Abriana hanya menghela nafas setelahnya dan mulai membersihkan dapur sebagai pengalihan pikirannya yang kurang baik pagi ini. Lain kali akan ia bicarakan setelah benar-benar siap.

***

Winda menatap jenuh ke arah Luna yang sejak tadi sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Ini sudah hampir setengah jam dan waktu istirahat akan segera habis. Namun temannya itu benar-benar sama sekali tidak menyentuh bekal yang sengaja ia bawa lebih.

"Jam istirahat bentar lagi beres loh Lun" Winda menghela nafas. Sama seperti tadi, Luna benar-benar tidak menghiraukannya sama sekali. Masih terfokus pada pekerjaannya.

"Luna"

"Lun"

"Pak Yudha"

"Mana?" dengan penuh semangat dan rasa kesal yang menggebu, di dorongnya kepala Luna begitu saja.

"Si anjing, giliran pak Yudha aja cepet lu babi" Luna hanya mendengus dan kembali fokus pada pekerjaannya.

"Lu bener gak mau makan?" Sekali lagi Winda bertanya.

"Nanti, taroh aja disitu" Winda menyerah. Temannya itu sangat keras kepala jika sudah seperti ini.

Setelahnya hanya hening yang ada. Luna kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya dan Winda yang fokus menghabiskan bekalnya. Sudah terlalu malas untuk mengingatkan temannya itu segera makan.

PRAJAYA SQUADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang