Kebetulan.

67 9 2
                                    

🏋 ! 2.4k words.

Haechan berhenti saat matanya melihat selebaran yang ditempel di tembok dekat halte biasa Haechan kunjungi ketika ia akan pulang menggunakan bis. Ia mengedip dan mendekat ke arah selebaran tersebut. Matanya menyipit sebelum pekikan kecil terdengar. Lapangan pekerjaan!

Haechan tampak mengusap usap dagunya beberapa kali, kalau dipikir pikir keluarganya sangat butuh pemasokan uang. Masa iya bunda sama abangnya kerja banting tulang, Haechan rebahan rebahan aja dirumah. Engga enak juga sebenarnya kalau dilihat. Ibu Haechan itu kerjanya jadi pegawai di toko kain yang sebulanya engga seberapa, sedangkan abangnya masih bekerja paruh waktu di kedai begitu sama jadi dosen serabutan di universitas tertentu.

Si gembul akhirnya membulatkan tekad untuk ikut banting tulang!

Ia cabut selebaran itu dari tembok, kemudian berlari kecil ke halte menunggu bisnya datang. Urusan belakangan nanti diperbolehkan atau tidak! Haechan punya jurus jaran goyangnya tersendiri buat meluluhkan abang dan ibunda.

Haechan sudah segar dengan kaos kasual hitam yang membalut tubuhnya serta celana jeans sedikit ketat hingga lekukan kakinya terlihat. Ia turun kebawah menghampiri sepasang anak dan bunda yang sudah siap dengan makan malam dihadapanya. Haechan sempat bergidik ngeri melihat tatapan kakaknya pada Haechan. Serius! Kalau kata Haechan sudah seperti ingin menelanjangi. Ingin sekali ia colok mata abangnya itu dengan mixer!

"Apa, sih, abang? Mau aku culek?!" Ancam Haechan galak pada Hendry dengan mata membulat lucu.

Hendry mendengus kemudian melambaikan tanganya, mengisyaratkan Haechan agar duduk di kursi sebelahnya, "sini sini!" Bukanya menakutkan tapi malah gemas kalau kata si Hendry mah.

Si beruang menurut, duduk manis dikursi sebelah kakaknya dan mulai mengambil piring beserta nasi dengan lauknya. Tidak mempedulikan kakaknya yang menghela nafas panjang melihat tingkah adiknya.

"Adek mau kemana?", tanya sang bunda lembut.

Haechan menatap bundanya sambil mempoutkan bibir dengan mata berbinar binar lucu, "Haechan mau keluar, bunda. Engga pulang malam, kok! Janji!", keluar jurus jurus jaran goyang si Haechan.

Ibunda hanya bisa menghela nafas, kalau begini gimana bisa nolak? Iyakan? Anaknya kelewat gemas. Cicak negro di atas lemari pendingin saja sampai mimisan dan mengkis mengkis lihat kegemasan anaknya. Sang ibu mengulas senyum, "Beneran, loh, ya! Jangan pulang malam. Jangan jauh jauh juga, dek. Kalau ada apa apa telfon bunda atau kakak, ya? Uangnya sudah ada?"

Haechan mengangguk antusias hingga surainya bergerak gerak, "iya bundaaa. Uangnya adek masih ada, kok. Dari jualan novel kemarin masih sisa, cukup buat adek."

"Jangan buat boros uangmu, ngerti? Cari duit susah, dek. Dijaga ya?"

Kepala beruang kembali mengangguk mendengar petuah si abang, "iya abang, siap!" Tak lupa tangan gempal Haechan diposisikan pada ujung pelipis, hormat ala ala pak polisi.

Makan malam selesai, Haechan segera mengambil jaket dan tas bahu miliknya. Berpamitan kepada bunda dan Hendry sebelum berangkat menuju halte.

Kalau ditanya kenapa engga naik motor saja, Haechan tuh engga bisa naik motor. Padahalkan ya sudah gede. Dulu pernah coba belajar sama kakeknya saat kakek si gembul itu masih hidup, eh, si Haechanya trauma. Soalnya pertama kali ngegas si Haechan langsung nubruk pagar tetangga. Jadinya sampai sekarang, si Haechan itu engga mau belajar naik motor.

Kepala beruang celingak celinguk dari pintu depan kedai yang tadi tertera diselembaran. Perlahan ia masuk dan menghampiri kakak kakak yang berada di meja kasir, "permisi?"

Haechan disambut dengan senyuman, "iya, kak? Ada yang bisa dibantu?"

Haechan mengangguk kecil kemudian menunjukan selebaran yang ia bawa, melihat itu mbak mbak di kasir yang mengangguk anggukan kepalanya, "mau jadi penyanyi kedai, ya? Langsung aja kak, ini lurus terus belok kanan. Nanti ada pintu cat hitam, nah itu ruangan bapak bos. "

[MarkHyuck]  - Antara.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang