04 |• Tengah Malam •|

56 15 0
                                    

Setiap malam adalah waktu paling tenang. Hampir semua aktivitas makhluk hidup berhenti sejenak. Memang tak semua, tapi setidaknya mereka berkurang seperkian persen dari siang hari.

Entah itu beristirahat setelah menjalani hari, mononton drama diam diam, mengunci diri dalam kamar sambil bermain ponsel, dan sebagainya. Setidaknya mereka memilih berdiam diri dalam rumah dan tak membuat keributan.

Meskipun begitu, masih ada saja mereka yang melanggar prinsip malam yang berarti istirahat. Terutama aku.

Bagiku, malam adalah waktu untuk menjalankan rencana. Kami akan memulai kegiatan harian dan menyelesaikan sebelum di matahari terbit. Tak heran, jam waktu istirahat berubah seperti binatang nokturnal.

Dan kali ini, keaktifan malam hari terpancing dalam jiwaku. Setelah membuka mata selama setengah hari, seharusnya tubuhku butuh tidur. Tetapi kebiasaan membuat alam sadar memaksa bangun, menolak istirahat. Lebih hebatnya lagi, ditengah mencari ketenangan agar dapat mendapatkan kembali rasa kantuk, ada pembawa masalah yang mengacau rencananya.

"Aku berbicara padamu. Apa kau baik baik saja?"

Pemuda didepanku terus mengajak bicara. Ini sangat mengganggu meski aku tak benci.

Setelah dia yang setidaknya memberi dorongan kecil padaku, dia juga yang membantu layaknya orang sekedar lewat. Tapi daripada seorang bermuka dua, pemuda ini bukan tipe seperti itu.

Apa yang bisa dia dapatkan dari pertunjukan ini?

Tentu saja tak ada. Namun lain halnya jika orang ini adalah kenalan Langit.

"Apa kau mengenalku? Jika memang aku mengenalmu, tak masalah kita bisa bersendau gurau bersama seperti biasa. Tapi apakah ini disebut candaan juga?"

"Tak perlu begitu formal, santai saja denganku. Memangnya perlu alasan bagi seseorang membantu orang?"

Karena dia berkata demikian maka tak masalah menerima bantuannya. Tapi aku tak pernah berpikir membiarkan hal ini berlalu begitu saja.

Jadi, mengesampingkan punggung tanganku yang sakit. Sedikit mengejek orang ini penting, anggap saja sebagai balasan coba menilaiku.

"Di rumah sakit mencelakai pasien adalah hal yang tidak benarkan. Mungkin akan berbeda jika pasien sesama pasien, sayangnya aku tak ingin bertengkar antar pesien layaknya pasien RSJ. Secara terbuka bisa kau lihat, aku sehat. Namun jika kau merasa tidak nyaman, dokter disini tersedia 24 jam."

Dengan cara ini, pandangan matanya sedikit lebih tinggi. Karena tinggi kami kurang lebih sama, mengangkat kerah bajunya membuat banyak tenaga. Apalagi dengan keadaan ini, kekuatanku tak dapat digunakan secara maksimal.

Mendengar ucapanku, mulutnya berkedip samar, ia kemudian menggapai tanganku, secara paksa melepas genggaman. "Ha, Langit, kau lupa siapa aku? Apa aku begitu menyeramkan seperti mimpi burukmu hingga kau menghapusku sebagai perlindungan diri?"

Sebelumnya aku memusingkan diri bagaimana cara mencari petunjuk sesuai yang diminta Langit. Lagipula mana mungkin melindungi orang jika kau bahkan tak tahu siapa musuhnya. Itu malah semakin merepotkan.

Dan disini. Tanpa perlu berjarak satu sampai dua hari, ada seseorang yang kemungkinan terkait kejadian itu dan bersedia membocorkannya.

"Jadi orang itu memang kau?"

Dengan bertanya seperti ini, jawabannya akan memberitahu apakah Langit mengenalnya atau tidak. Orang itu memanggil Langit seolah mengenal, tapi  kenapa ingatan itu yang lebih ia tekankan?

Apalagi mengingat Langit sampai sepengecut ini, pasti dampak kejadian itu sangat besar.

Orang asing didepanku pasti bukan kenalan, tapi dialah yang mengenalku. Dan Langit bertemu dengannya saat kejadian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mulai Sekarang Panggil Aku LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang