Segelas teh hijau hangat memang cocok untuk tubuh yang kedinginan di tengah udara malam. Bulan purnama begitu besar, bayangannya terpantul sempurna di air, gelombang-gelombang kecil dari ikan-ikan menggerakkan bayangan di air danau yang tenang itu.
Yin kembali menyesap teh hijaunya, ia benar-benar lega begitu merasa pikirannya tak lagi ramai akan godaan dewa iblis itu.
Ia hampir tak punya waktu untuk merenungkan kenangannya di Cadia Riverlands, kenangannya tentang gadis macan yang lucu. Jujur, ia merindukannya, bagaimana keadaannya di sana? Bagaimana keadaan Cadia Riverlands? Apakah gadis itu berhasil memenangkan pertarungan dengan Black Dragon?
Senyuman dan tawa gadis itu kembali muncul di pikirannya setelah Lieh tersegel. Namun Yin sama sekali tidak terganggu, justru ia menyukainya dan ingin cepat-cepat melenyapkan Lieh agar ia bisa kembali kepadanya.
"Aku tidak tahu kau juga merindukanku atau tidak, Wanwan, aku tahu kau pasti marah ketika berkunjung ke rumahku dan hanya tertinggal sepucuk surat saja." Yin menghela napasnya. "Mungkin kau juga tidak tahu bagaimana perasaanku selama ini kepadamu." Ia menunduk.
"Mungkin hanya bergumam 'Yin idiot, kenapa kau pergi tidak pamit dulu' ahahaha." Yin tertawa masam, berbicara mengeluarkan segala kata-kata yang terpendam sejak lama. Tentu mengingatnya membuat kesedihan yang mendalam, Yin tidak punya waktu untuk menangisi hidupnya karena Lieh bisa saja mengambil alih tubuhnya. Masa kecilnya sudah sangat menyedihkan dibuang oleh orangtuanya dan hanya dirawat oleh Xian Ho, pemilik perguruan kungfu yang tidak terlalu terkenal, namun walau begitu ia hampir tak pernah mendapatkan kasih sayang yang tulus dari orang-orang di dalamnya, hanya Wanwan satu-satunya matahari dalam hidupnya, apakah perasaan ini disebut dengan pertemanan? Yin tidak berpikir demikian.
Yin menyeruput kembali tehnya, mencium aroma yang menenangkan itu.
"Sudah merasa lebih tenang?" Melissa tiba-tiba muncul di samping wajahnya.
Beruntunglah teh milik Yin tidak tumpah karena terlalu terkejut. "Astaga kukira aku melihat hantu."
Melissa langsung meninju lengan Yin, "enak saja kau bilang aku Hantu, aku ini zombie! wleeee." ia memasang wajah konyolnya.
"Hiii mengerikan, aku takut digigit." Yin bergeser dan memasang wajah pura-pura jijik.
Melissa hanya tertawa ringan. "Sepertinya pria di sebelahku ini sedang merindukan pujaan hatinya, bukan begitu?"
"Itu salah satunya." Yin meneguk habis tehnya yang mulai mendingin. "Tepatnya, aku merindukan daerah asalku," lanjutnya.
"Ceritakan," pinta Melissa.
"Kau ingin aku bercerita apa?" tanya Yin.
"Semuanya." Melissa tersenyum, "aku tahu kau menahannya karena Lieh."
"Aku juga ingin dengar."
Yin dan Melissa langsung menoleh ke arah kiri Yin, ternyata Julian sudah duduk di sana selama beberapa menit tanpa mereka sadari.
"Sejak kapan kau di situ?" tanya Melissa.
"Sejak tadi," jawab Julian.
"Baiklah, kalian ingin dengar aku mendongeng?" tanya Yin.
Julian dan Melissa mengangguk.
"Janji tidak tidur?" ledek Yin.
"Suaramu tidak cocok menjadi pendongeng, aku tidak akan tidur," jawab Melissa.
"Oke. Seperti yang kalian tahu, aku tidak punya orang tua." Yin bersandar di pohon yang ada di belakangnya. "Lebih tepatnya, ayah angkatku bilang aku dibuang saat usiaku masih satu tahun," lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forsaken Light
FanfictionSetelah Julian bergabung mereka memutuskan untuk tinggal sementara di Barren Land, markas pemburu iblis profesional yang dipimpin langsung oleh Benedetta. Menyusun rencana untuk bangkit kembali sambil memulihkan diri. Mereka merencanakan sebuah pemb...