1# Memulai

228 51 3
                                    

-.-.

Retina mata hazel menatap sendu pada kontrakan yang terlihat kecil, berdempetan dengan kontrakan lain dan juga berada di gang yang bahkan terlihat sangat kotor dan rawan banjir. Tangan kekar itu meraih tangan mungilnya membawa ia masuk ke dalam, bau lembab seketika tercium membuat Illya yang berada di gendongannya batuk-batuk.

"Gak ada kontrakan lain?"

Seketika retina tajam bertemu dengan retina hazel. Dia  mengelus pipi chubby istrinya dengan lembab. Usahanya mencari kontrakan untuk keluarga kecilnya berakhir di sini, kontrakan yang murah dan dekat dengan sekolah serta berbagai tempat pekerjaan lumayan dekat dari sini.

Ali mengambil koper milik Prilly dan meletakkannya di kamar yang kecil. "Gue cuma punya uang buat nyewa kontrakan yang ini, yaaa.. walaupun murah, tapi cukup buat kita bertiga tinggal di sini," balas Ali seraya tersenyum miris. Prilly meraih tangan Ali. "Mending kita tinggal di rumah aku aja, atau kita bisa pake apartemen aku, Li. Di sini gak-------"

"Gak higenis? Oke, besok aku bakalan bersih-bersih sudut ruangan semua sampe lantaipun kinclong." Ali memotong perkataan Prilly. "Ohya satu lagi, aku gak akan mau pake aset lo, Prill. Aku bakalan buktiin sama mereka kalo aku bisa hidupin keluarga aku sendiri," sambung Ali lalu melenggang pergi.


Prilly mengusap peluh, lebih-lebih kontrakan ini panas tidak ada kipas angin. Prilly duduk di kursi yang tampak tua, memikirkan nasibnya yang harus menikah dan mempunyai anak di usia belia. Tak sadar air matanya meluncur, Prilly langsung menghapus air mata ini, bagaimanapun tanggung jawab Ali lebih besar dari pada dirinya, dia bahkan rela menjadi tulang punggung keluarga demi membuktikan jika dia bisa menghidupi keluarganya.

Obrolan bersama papa terus terngiang-ngiang dibenak Prilly, dari kamar yang megah sampai ke kontrakan kecil dan kumuh seperti ini tentu menjadi pertentangan dengan mama dan papa.

"Kami besarkan kamu dengan kekayaan, Illy. Dan dia malah bawa kamu jatuh miskin, jangan karena cinta bodoh kalian, kamu mau tinggal di sana, Illy."

"Bukannya ini keinginan kalian? Harus menikah dengan lelaki pilihan kalian, bahkan kalian setuju dengan pernikahan ini bahkan tanpa restu sekalipun!"

Prilly menangis di hadapan mama dan papanya, jujur saja mereka benar-benar menolak Ali membawanya pergi dari rumah ini. "Lebih baik kamu tinggal di sini bersama kami, Illy. Kamu bisa bawa suami kamu buat tinggal di sini, di sini hidup kalian akan terjamin, bahkan tanpa bekerja pun, kalian bisa menikmati masa sekolah kalian dengan tenang," ujar Hermawan. Shaina mengusap lembut pundak Prilly. "Mama gak akan tega liat kamu harus tersiksa sama dia," sambung Shaina.

"Maaf, Ma, Pa. Aku gak bisa, tanggung jawab Papa udah pindah ke pundak Ali. Bagaimanapun kalian juga yang mempertemukan kami, sewajarnya kalian harus membiarkan kami memulai dari nol," tutur Prilly.

Prilly terjengkit saat Ali membuatnya kaget, Ali berjongkok dihadapannya. Ali tahu bagaimana perasaan Prilly saat ini, hancur harus menikah tanpa restu sama sekali bahkan diusia muda seperti ini. Prilly mengusap lembut rambut Ali yang lumayan gondrong. "Gaji bulan ini bakalan cukup beli ini-itu, Prill. Kita beli peralatan buat makan dulu, dan sekarang maaf aku belum bisa beli kasur buat kita," ujar Ali.

Prilly melepas tangan Ali yang menggenggam tangannya. "Kalo gitu gimana sama Aily? Aku fine-fine aja tanpa apapun, tapi ini Aily Li? Kamu kira dia bakalan nyaman tanpa apapun kebutuhan dia," balas Prilly tak terima. Ali menarik nafasnya, sudah resiko yang ia lakukan sekarang, nasi sudah menjadi bubur, keadaan tidak akan membalikkan masalah. Bahkan ia sendiri harus rela kerja sana-sini untuk menghidupi Prilly.

Dari dibiayai sekarang menjadi membiayai.

Ternyata bukan hal yang mudah untuknya lakukan sekarang, mengingat Prilly yang sama sekali belum terbiasa hidup sederhana jauh dari kata megah. Dan mencoba menyayangi Aily sebagai anak sambungnya membuat Ali tak henti-henti pusing memikirkan semua itu.

"Aku bakalan  sekuat mungkin, kamu  doain ya?"

"Hm."

Ali beranjak lalu berbenah menghamparkan karpet yang sementara waktu harus dipakai untuk Aily. Prilly berdiri tak kala melihat di depan sudah ada mama dan papa tengah menunggu, buru-buru Prilly langsung menarik Ali keluar membuat Ali terheran-heran.

"Saya sudah sarankan kamu untuk tinggal di apartemen, kenapa harus di gang sempit kayak gini? Kamu mau anak dan cucu saya sakit?" cetus Shaina membuat Ali tersenyum pilu. "Sebentar lagi bawahan saya akan bawakan keperluan kalian, jangan ditolak! Bagaimanapun anak saya tidak harus tergantung dengan gaji anak bau kencur kayak kamu, bahkan saya tebak untuk membeli keperluan pun masih harus berpikir-pikir," lanjut Shaina merendahkan Ali.

Prilly benar-benar tak enak dengan ucapan sang mama, bahkan dia tak segan merendahkan Ali.

"Ma!"

"Kenapa? Ucapan mama bener, 'kan? Mama menyesal sudah mengizinkan kamu untuk menikah sama laki-laki ini, mama sudah besarkan kamu dengan harta yang melimpah dan sekarang dia dengan seenaknya bawa kamu jatuh miskin." Prilly memijit pelipisnya yang terasa berdenyut, pusing harus memikirkan setiap masalah yang terjadi di dalam hidupnya. "Mending kalian pergi, aku sama Ali baru saja sampe ke kontrakan, Ma. Dan kami juga belum beres-beres, maaf bukannya aku gak sopan, tapi aku harap kalian mengerti perasaan aku sekarang," tutur Prilly berusaha meredakan keadaan.

Ali menarik pundak Prilly untuk mendekat. "Saya akan berjanji akan membahagiakan anak dan cucu, Om. Bahkan dengan cara sederhanapun, saya bahkan rela meninggalkan kekayaan saya demi mereka," kata Ali tegas bahkan wajahnya terlihat sangat serius.

Shaina membuang muka lalu menarik Hermawan untuk segera pergi dari kawasan ini. Prilly menatap Ali, bagaimanapun Ali terlalu banyak mengorbankan semuanya, keluarga, sekolah, bahkan di saat teman-temannya tengah menikmati setiap jerih orang tuanya, Ali malah memilih meninggalkan semua itu dan membuktikan kepada mereka semua.

Tanpa berkata apa lagi, Ali langsung masuk ke dalam. Termenung melihat keadaan kontrakan yang masih kosong belum ada peralatan apapun. Prilly memeluk Ali dari belakang, mencoba mengerti keadaan Ali, mencoba memahami jika Ali juga membutuhkan sandaran dan nasihat bukan kritikan pedas dari mulut yang memandang Ali rendah.

"Maafin keluarga aku."

Ali berbalik lalu memeluk Prilly. Matanya tak pernah bisa berbohong, bagaimanapun keadaannya sedang sulit bahkan tak pernah terbayangkan di dalam hidupnya harus mengalami masa sulit.

"Maaf."

"Kata maaf gak akan merubah semuanya. Aku tau kamu cukup capek denger kritikan keluarga aku tentang kamu, aku mengerti sekarang, kenapa banyak pernikahan dini yang gak akan bertahan lama, karena mereka kurang mengerti bagaimana menjadi sandaran dan bahu. Aku harap kita gak akan seperti itu, kita akan berusaha mendapat restu dari Bunda kamu, aku harap Bunda kamu bisa terima aku, it's my dream," tutur Prilly. Ali mengelus punggung Prilly, bagaimanapun posisinya bukan lagi seorang anak yang meminta uang pada orang tua, ada keluarga kecil yang harus Ali perjuangkan, bahkan ia harus bisa menjadi bahu untuk Prilly sandarkan.

"I hope so. Don't be sad, later the sweetness will disappear."

Prilly tertawa renyah lalu mencubit pinggang Ali. Ia mengusap air matanya lalu kembali tertawa saat Ali malah bertingkah aneh. Keduanya sama tertawa lepas seperti tak ada beban. Ali mencubit pipi chubby Prilly gemas lalu berkata. "Gue janji bakalan jadi obat ampuh buat ngilangin trauma lo, Prill," tutur Ali manis.

Prilly tersenyum manis lalu berjinjit mengecup pipi Ali.

"Terima kasih udah jadi obat ampuh buat aku."
































Bersambung

LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang