..
"Gak harus nyiksa diri, 'kan Na?!"
Nana menunduk malu saat Ali terus-menerus mengomelinya untuk tidak melakukan hal gegabah yang dapat membahayakan dirinya sendiri. Ali mengoles luka pada tangan Nana yang tampak memanjang dan luka itu lumayan dalam akibat Nana menyileti tangannya sendiri.
Setelah selesai, Ali membantu Nana untuk kembali sofa, kondisi Apartemen Nana tentu kacau. Barang-barang berserakan dimana-mana dan juga orang tua Nana yang entah kemana perginya.
"Jangan gini terus!"
"Gue cuma capek sama keadaan."
Dengan ragu, Ali menarik tubuh ringkih Nana ke dalam pelukannya, seketika itupun tangisan Nana pecah. "Tumpahin segalanya, Na. Kalo itu bikin lo tenang."
Nana memukul-mukul dada Ali. "Gue udah kehilangan semuanya, Rey. Gue udah kehilangan lo! Gue udah kehilangan adek gue, gue gak mau kehilangan Mami gue juga, Rey. Gue selalu berusaha baik, tapi kenapa Tuhan gak adil sama gue? I'm tired, I want everything to be like the beginning, a situation that makes me feel like a queen again!" seru Nana.
Sekuat mungkin Nana meminta, semua itu takkan terjadi, bahkan Ali sendiri sudah menjadi milik orang lain, adiknya sudah tenang di alam sana, dan perpisahan orang tuanya sudah di depan mata.
Dering ponsel menghancurkan suasana, Nana melirik ponsel Ali, ia beringsut lalu menghapus air matanya sendiri.
"Prilly sudah telepon lo."
Ali langsung menangkupkan ponselnya. "Keadaan lo gimana kalo gue tinggal? Gue gak akan biarin lo dengan keadaan kayak gini, Na," ujar Ali.
"Sebagaimanapun gue biarin lo di sini, di sana lebih penting dari gue, Rey. Gue cuma mantan pacar lo, sedangkan dia? Cewek yang lo pilih sebagai istri lo. Gak seharusnya gue kayak gini sama lo, gak seharusnya gua minta lo dateng ke Apartemen, gue emang terlalu gila!"
Hati Ali melemah seketika, mengingat dirinya masih mempunyai keluarga kecil yang seharusnya ia jaga. Ali menghapus air mata Nana, berusaha menenangkan pikiran Nana yang sedang kalang kabut menghadapi permasalahan keluarga yang masih belum usai.
..
"Tumben pulang jam segini?"
Baru saja kaki kanannya memasuki kontrakan, celetukan dari Prilly membuat Ali mendengus nafas kesal, bukannya dikasih minuman yang menyegarkan, Prilly malah melempar sebuah pertanyaaan klasik. Prilly mengambil tas sekolah Ali lalu menyampirkannya pada kursi mini, ia terheran-heran tentunya mendapati Ali pulang lebih awal bahkan pulang jam tiga siang seperti pulang anak sekolah pada umumnya.
"Hari ini aku gak kerja dulu, Prill. Capek!"
Prilly mengangguk mengerti lalu mengambil seragam Ali. Melihat seragam putih abu, rasanya Prilly ingin mengulang masa-masa terindah sebelum semuanya merenggut kebahagiaan yang ia punya. Prilly menghirup aroma Ali. Namun, ini bukan parfume yang sering Ali pakai, bahkan Ali satu parfume dengannya.
Benar, ini parfume yang berbeda. Prilly membolak-balikkan seragam Ali, di sana terdapat bercak darah yang kentara walaupun kecil. Tanpa berpikir lama, Prilly langsung bergegas ke kamar menyusul Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIFE
Fanfictionsequel MINE -- Kisah mereka belum usai dengan akhir yang memuaskan, kisah percintaan dua insan yang terhalang restu. Dua insan yang sama-sama berjuang di usia yang masih terlalu dini dihadapkan dengan satu pernyataan, pernikahan. Antara trauma dan...