Seragam putih dan abu kembali melekat di tubuh atletis Ali. Senyuman merekah saat pertama kali datang ke SMA Garuda yang bisa merahasiakan tentang pernikahan dininya, walau pihak mereka tidak menyetujui hal itu. Namun, dengan keyakinan hati yang kuat, Ali mampu meyakinkan pada mereka dengan nilai yang lebih memuaskan walau ia sendiri sadar, dirinya hanya anak pindahan dan kepala keluarga.
Baru pertama kali masuk, hampir seluruh warga SMA Garuda langsung menatap Ali dengan tatapan random. Bersekolah di sini tentu menjadi pilihan yang cukup rumit, beruntung sekolah ini mempunyai biaya spp yang tidak terlalu besar dan lumayan bisa ia bayar.
Denting dari ponselnya membuat Ali langsung berhenti melangkah lalu tersenyum melihat dari siapa pemilik pesan manis ini.
Is mine♡
Ada kelupaan, kamu sih buru-buru. Hehe, hati kamu ketinggalan nih:) eh canda, aku udah capek-capek buatin kamu sarapan, tapi kamu gak makan:(
Gerakan cepat Ali langsung membalas pesan dari Prilly. Lalu Ali menyimpan kembali ponselnya kemudian melangkah mencari kelasnya.
Dari kejauhan seseorang tersenyum misterius, lalu mengkode tangannya pada sang teman dan berkedip menggoda. "Mangsa baru dimulai," batinnya.
Di lain waktu, Prilly selonjoran di karpet berbulu bersama Aily yang masih menempel di badannya, bahkan pagi ini terhitung Aily meminta ASI padanya. Prilly mengusap rambut Aily yang lembut walau belum memanjang, gadis kecil yang dulu tak ia inginkan untuk hadir ke dunia kini mulai tumbuh seiring berjalannya waktu, tak sengaja air mata itu jatuh mengenai pipi Aily, Aily bak tahu perasaan sang ibu langsung mengusap lembut pipi Prilly.
"Mama i'm fine baby."
Prilly memejamkan mata, mengingat kejadian naas bersama dia, sudahlah dirinya bahkan tak mampu lagi menyebut nama si brengsek itu. Mendengar suara ketukan, Prilly terpaksa melepaskan pautan dari Aily secara perlahan lalu menepuk pelan paha Aily agar tidak terganggu.
Tubuh Prilly membeku melihat Shaina kembali datang, Shaina menengok di dalam lalu tersenyum miring.
"Kamu gak mau mama masuk?"
Prilly gelagapan. "Eu, silahkan masuk, Ma." Shaina menatap jijik pada karpet yang menjadi hamparan untuk duduk. Shaina mengusap karpet lalu menepuk-nepuk melihat debu masih menempel. "Kamu udah mama tawaran apartemen, tapi masih ngeyel di sini. Mama udah rawat kamu, eh dia malah bikin kamu menderita," ujar Shaina sinis.
Prilly menuangkan air putih pada Shaina, ucapan Shaina tentu menyelekit dan membekas dalam hati Prilly. "Dia laki-laki baik, Ma. Bahkan rela ninggalin keluarga dia demi aku, Ma. Dia baik banget sama aku, Ma. Jadi please, jangan rendahin Ali," bela Prilly.
Suasana semakin menegangkan bahkan Shaina tak berkata lagi. Shaina berdeham.
"Kamu kira mama mau kayak gini? Mama syok, Prilly. Mama stres mikirin nasib kamu yang ah sulit mama bayangkan, mama capek mikirin kamu yang malah sengsara sama dia. Mama nyesel udah izinin kamu nikah sama dia!" tutur Shaina. Hati Prilly kembali teriris mendengar penuturan Shaina, Shaina menyusut air matanya lalu kembali menatap Prilly.
"Sekarang kamu beresin semua baju kamu, mama gak tahan liat kamu kayak gini," ujar Shaina tegas. Prilly menatap berani pada Shaina. "Tanggung jawab kalian udah pindah ke Ali, Ma. Pokoknya aku bakalan tetep di sini sama kalian, dia suami aku, dan selamanya bakalan seperti itu," balas Prilly tegas.
"Berani kamu bela dia di depan mama kamu sendiri!!"
Shaina berdiri sama halnya dengan Prilly. "Mama udah susah-susah lahirin kamu, dan sekarang kamu malah belain orang itu." Prilly meraih tangan Shaina. "Ma, udah cukup mama terlalu ikut campur sama keluarga aku," balas Prilly.
Shaina menunjuk Prilly.
"Assalamualaikum."
Keduanya langsung melihat ke asal suara, Prilly menghampiri Ali lalu menyaliminya. Shaina mendelik lalu berjalan melewati Ali dan pergi tanpa berpamitan. Ali menarik tubuh Prilly masuk ke dalam pelukannya, walau ia belum tahu titik masalah keduanya. Namun, Ali mencoba mengerti posisi Prilly sekarang.
Biarkan dan redakan.
Jangan bertanya sebelum dia terlebih dahulu menceritakan.Prilly mengusap wajahnya gusar lalu mencoba tersenyum walau hatinya benar-benar kacau sekarang. Ali mengambil minum pada Prilly dan Prilly menerimanya dengan baik. "Gimana?"
"Gimana apanya?"
"Perasaan kamu."
"It's okay. I fine."
Ali manggut-manggut walau dirinya tahu jika Prilly bahkan tidak baik-baik saja setelah kedatangan mamanya. Ali melihat jam tangannya, hari ini ia mempunyai sesi kerja malam. Ali menarik tangan Prilly lalu mengecupnya beberapa kali.
"Gimana kalo kita jalan-jalan? Healing." Prilly menoleh. "Kamu gak capek? Pulang sekolah langsung ngajak jalan-jalan," kata Prilly ragu. Ali tersenyum seraya mengelus lembut pipi Prilly.
"Aku gak capek." Ali berdiri. "Cepet beres-beres. Aku tungguin," sambung Ali.
Ali pergi begitu saja membuat Prilly bingung harus bagaimana, dia benar-benar tahu cara bagaimana mengembalikan mood nya.
..
Berpiknik di dekat danau bukan bayangan dari Prilly. Bersama Aily yang masih terkantuk-kantuk. Dengan cemilan yang seadanya dan beberapa makanan yang Prilly bawa dari kontrakan. Ali menimang Aily yang terus-menerus menangis.
Tak terasa air mata Prilly mengalir mengingat perkataan dari Shaina. Ali menatap sendu pada Prilly yang sedari tadi hanya diam bahkan sesekali menangis dalam diam.
"Liat mama kamu, dia lagi sedih, gimana kalo kita hibur dia?" Ali langsung berlari membuat tawa Aily langsung terdengar.
"Mama liat Aily deh, pipi Aily makin chubby kayak mama," ujar Ali dengan suara anak kecil membuat Prilly tertawa renyah, Prilly mencubit pelan terlalu gemas dengan pertumbuhan Aily yang semakin cepat. "Gemes banget sih anak mama." Prilly mengecup pipi kanan Aily membuat Aily malah menangis keras.
"Loh, loh kenapa malah nangis sih?" Prilly berniat menggendong Aily. Namun, Ali berdiri. "Biar aku yang urus Aily. Kamu diem aja."
Mata Prilly berubah sendu, mengingat terlalu banyak perjuangan Ali, bahkan sampai ke detik dimana dia menikahinya di usia belasan tahun. Seharusnya ia tak menerima perjodohan itu, bahkan Prilly sadar ia sudah memisahkan ibu dan anak di waktu yang sama.
Semilir angin menerpa pori-pori Prilly suasana danau yang sangat menyegarkan, dia bahkan tahu cara mengatasi perasaannya sekarang, walau dengan healing sederhana, membawa makanan dari rumah dan makan bersama-sama di tepi datang bersama Aily yang terus mengacak segala makanan. Pelukan dari belakang membuat Prilly terjengkit, ia tersenyum saat Ali menaruh dagunya di bahunya. Prilly melirik Aily yang tengah sibuk bermain mainan genggam, bersama makanan juga.
"Sama-sama terus."
"Hm," balas Prilly dengan dehaman.
"Kalo punya perasaan, jangan dipendem. Dari dulu aku gak pernah suka kamu kayak gitu." Ali menatap Prilly dalam, dia wanita yang berhasil membuatnya bahagia dalam waktu yang sama. Prilly menoleh pada Ali, membuat kedua mata mereka langsung bertemu.
"Kamu juga."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
LIFE
Fanfictionsequel MINE -- Kisah mereka belum usai dengan akhir yang memuaskan, kisah percintaan dua insan yang terhalang restu. Dua insan yang sama-sama berjuang di usia yang masih terlalu dini dihadapkan dengan satu pernyataan, pernikahan. Antara trauma dan...