5. Penusukan

51 3 0
                                    

Sore hari tiba, Hasta segera mempersiapkan diri untuk datang ke kampus hari ini. Meski hari Minggu, dia mau tidak mau harus datang karena ada asistensi dengan mahasiswa yang sedang melakukan penilitian akhir. Hasta senang ada mahasiswa yang semangat berjuang untuk lulus, makanya kapan aja dia diperlukan dia rela datang meski itu weekend.

Dengan langkah santai, Hasta menulusuri koridor kampus yang sepi. Hampir mendekati laboratorium tempatnya bekerja, tiba tiba ada yang menepuk bahu Hasta.

Hasta kaget dan menoleh ke arah mahluk yang mengagetkannya. Ternyata yang menepuk adalah dosen senior partner kerja Hasta di kampus. Mahesa Wijaya, sang dosen berusia sekitar 35 tahun, berpenampilan sangat tampan dengan brewok tipis menghiasi wajahnya.

"Astaga pak Mahesa, membuat kaget saya saja." Kata Hasta sambil menepuk dadanya.

"Kamu aja yang sedang tidak fokus. Aku tadi udah manggil kamu tapi kamunya ga denger." Kata Mahesa dengan nada bicara tak formalnya.

Sebenernya, Mahesa sempat meminta Hasta untuk tidak bicara formal saat tidak ada mahasiswa atau dosen lainnya. Akan tetapi, Hasta menolak hal itu karena baginya itu tidak sopan.

"Maafkan saya pak Mahesa, saya tidak mendengar suara bapak." Jawab Hasta sambil membungkukkan badanya tanda dia sangat menyesal.

Mereka berdua berjalan beriringan menuju ke tempat yang sama. Selama mendampingi mahasiswa yang sedang penelitian, sesekali Mahesa memandangi Hasta. Ah ...... sepertinya Mahesa mulai tertarik dengan Hasta tapi dia masih ragu akan perasaannya.

Dua jam berlalu, saat ini Hasta sudah keluar dari lingkungan kampus. Hasta berjalan sendiri lalu berhenti ketika ada mobil yang berhenti di dekatnya.

"Hasta, mau aku anterin?" Mobil itu milik Mahesa.

"Tidak usah repot Pak. Maaf saya jalan kaki saja, deket kok kos saya dari kampus." Jawab Hasta menolak ajakan sang dosen.

"Beneran nih? Gak repot kok. Keburu gelap lho ini nanti kamu ada apa apa di jalan gimana?" Mahesa berusaha meyakinkan Hasta agar mau diantar olehnya.

"Terima kasih pak atas tawarannya, tapi saya jalan saja pak. Sekalian olahraga. Maaf ya pak saya jalan duluan." Hasta langsung meninggalkan Mahesa yang agak kecewa karena ajakannya ditolak.

Hasta tidak peduli perasaan sang dosen kecewa atau tidak, yang terpenting dia hanya menjaga jarak dengan lelaki manapun. Toh status dia hanya asisten dosen, jadi dia tak perlu repot repot dekat dengan lelaki itu selain urusan pekerjaan.

***

Setelah beberapa jam menjalani operasi dan melewati masa kritis, Gio sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Bu Lissa dan Gista senantiasa menemani Gio di dalam ruang perawatan VVIP rumah sakit itu.

"Ehmmm...." terdengar erangan di atas bangkar. Bu Lissa dan Gista pun menoleh ke arah Gio dan berdiri di sampingnya.

"Gio....kamu sudah sadar nak?" Bu Lissa melihat Gio mencoba membuka mata. Saat mata terbuka lebar, Gio melihat sang ibu dan Gista berada di sampingnya.

Gista memanggil dokter yang menangani sang abang. Setelah dinyatakan tidak ada yang bermasalah, mereka merasa tenang.

"Abang akhirnya sadar juga. Gista sedih banget liat abang kayak gini. Hiks." Gista tak hentinya menangis dan saat itu juga memeluk Gio.

"Doa ibu terkabulkan nak. Kamu sudah sadar sekarang" Kata bu Lissa sambil memeluk anak anaknya.

Gio melepaskan pelukan mereka, tatapannya menyapu seisi ruangan seperti mencari sesuatu. Bu Lissa dan Gista tampak heran.

"Abang cari apa?"

"Bidadari" lirih Gio. Bu Lissa dan Gista saling memandang tampak kebingungan. "Bidadari? Maksud abang apa?"

A Love For Hasta (CETAK TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang