Nina membulatkan mata melihat handphone miliknya ada di tangan ibunya. "Kok bisa ada di Mama?"
Halimah mendelik kesal akibat Nina telah membohonginya.
"Satu jam lalu Widi datang ke rumah nyariin kamu. Katanya kamu ditelpon nggak diangkat-angkat. Pas Mama tanya mau ngapain, katanya dia mau meminjam buku tugas."
"Duh, kenapa bisa sampai lupa lagi!" pekik Nina dalam hati.
"Akhirnya Mama naik ke atas buat manggil kamu. Mama panggil-panggil kamu nggak ada nyaut. Mama pikir kamu udah tidur, ternyata kamar kamu kosong."
"Jadi, dari mana kamu?" sergah Santoso.
Nina diam. Tangannya meremas ujung rok. Sedangkan giginya menggigit sudut bibir bawah.
"Jawab Nina!" tambah Halimah.
"A-abis euh itu. Hmmm, abis ke-ketemu Ardi, Mah, Yah," jawab Nina takut.
"Mau ngapain ketemu dia?"
Nina kembali terdiam. Dirinya bingung mesti menjawab apa. Apalagi jika tahu Ardi menyuruhnya menggugurkan kandungan.
"Sekarang begini aja. Suruh pacar kamu itu yang namanya Ardi itu datang ke sini. Ketemu Ayah. Ayah tunggu besok sore. Sekarang kamu naik ke atas. Terus istirahat."
Nina mengangguk. Lalu dengan cepat meninggalkan kedua orangtuanya di bawah.
Dilemparnya tas kesembarang arah. Kemudian dihempaskannya tubuh mungil itu ke atas kasur. Hari ini Nina benar-benar lelah. Begitu banyak energi yang terkuras. Pikirannya pun begitu keras ia pergunakan untuk memikirkan masalah yang sedang ia hadapi sekarang.
Setengah jam kemudian Nina beranjak dari tempat tidurnya karena begitu sulit untuk memejamkan mata. Lalu diambilnya sebuah buku yang tersimpan di dalam laci meja belajarnya. Kemudian membuka lembar demi lembar buku tersebut, yang ternyata itu adalah sebuah buku catatan hariannya. Nina tersenyum saat membaca kembali salah satu isi buku tersebut yang bertuliskan tanggal dua puluh empat September. Itu adalah tanggal yang istimewa baginya. Di tanggal itu dirinya dilahirkan. Dan di tanggal itu juga dirinya merasakan apa yang namanya cinta.
Lima bulan yang lalu tepatnya saat Nina merayakan hari lahirnya, Ardi datang ke pesta ulangtahunnya. Mulanya seperti tamu undangan lainnya. Namun, saat selesai tiup lilin, secara diam-diam Ardi mengajak Nina menjauhi para tamu yang datang. Awalnya Nina bingung, tetapi setelah berada di tempat yang sepi, yaitu dapur, Ardi mengungkapkan perasaannya. Tanpa pikir panjang Nina langsung menerimanya.
Kemudian Nina kembali membuka lembar selanjutnya. Yaitu, catatan pada tanggal dua puluh lima September. Di mana Nina mencatat momen pertamanya datang ke sekolah dengan penuh rasa takut. Takut bertemu dengan Ardi. Takut jika seluruh sekolah tahu mengenai hubungannya dengan kapten basket tersebut. Dan ketakutan-ketakutan lainnya yang sulit dijabarkan.
Sampai tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun rasa kantuk belum juga menghampiri matanya. Karena kantuk tidak kunjung tiba, akhirnya Nina memutuskan untuk menghubungi Ardi. Menyampaikan ucapan ayahnya.
"Kok nggak diangkat? Tumben. Biasanya Ardi selalu tidur di atas jam segini."
***
Di dalam kamar, Halimah dan juga Santoso pun mengalami hal yang sama dengan Nina. Rasa kantuk yang biasanya menghampiri mereka sejak tadi, kini sampai pukul satu dini hari belum juga ada.Halimah gelisah. Begitupun Santoso. Mereka sama-sama gelisah memikirkan nasib putrinya sekarang dan seterusnya. Santoso sampai berpikir kesalahan apa yang pernah dia perbuat hingga aib sebesar ini muncul di keluarganya.
"Mah, tolong ambilkan obat Ayah. Sepertinya tekanan darah Ayah naik lagi," ucap Santoso tiba-tiba.
Ucapan Santoso seketika menarik lamunan Halimah. Pasalnya sejak tadi Halimah tengah membayangkan bagaimana ibu-ibu komplek sini mengolok-olok dirinya jika mereka tahu jika anaknya hamil diluar nikah. Lalu bagaimana depresinya Nina jika teman-temannya tahu mengenai hal ini lalu menjadi bahan bulian.
"Baik, Yah."
Halimah segera beranjak dari tempat tidurnya untuk bergegas mengambil obat yang tersimpan di dalam kontak P3K yang terletak di dapur.
"Nih, Yah. Minum dulu," ujar Halimah setibanya kembali di dalam kamar sambil menyodorkan satu butir obat yang berwarna putih juga segelas air hangat.
"Makasih ya, Mah," balas Santoso sambil meraih obat dan juga gelas tersebut dengan cepat.
Halimah pun kembali berbaring di atas tempat tidur setelah meletakkan gelas kosong di atas nakas yang berada di sebelahnya.
"Mah, apakah kita terlalu keras mendidik Nina sehingga Nina seperti ini?"
Pertanyaan itu keluar dari mulut Santoso setelah mengingat-ingat caranya mendidik Nina.
"Mama juga nggak tau, Yah. Tapi kan semua itu kita lakukan demi kebaikan Nina."
"Apa selama ini Ayah kurang memperhatikan Nina?"
Kening Halimah mengerut. "Maksud Ayah?"
"Iya. Ayah terlalu sibuk bekerja hingga waktu untuk Nina itu kurang. Eh, iya, Mah. Kita belum tanya berapa bulan usia kandungan Nina."
"Oh iya." Halimah menepuk jidatnya. "Mama juga sampai lupa menanyakan hal itu."
"Besok pagi coba kamu tanya. Ayah masih males ngomong sama Nina. Ayah belum bisa mengendalikan diri. Ayah takut malah melakukan hal yang tidak-tidak kepada Nina."
"Ya udah. Gapapa. Ayah tenangin diri dulu aja. Biar Mama yang menanyakan itu. Sekarang lebih baik Ayah tidur. Nggak baik buat kesehatan Ayah."
"Iya. Mama juga tidur."
Bersambung ....
Jangan lupa baca karya peserta Olimpus Match Battle lainnya, ya!
1. Viloise--@Chimmyolala
2. The Lucky Hunter--@Dhsers
3. Tersesat di Dunia Sihir--@Halorynsryn
4. Aku Bisa--@okaarokah6
5. Kurir On The Case --@AmiyaMiya01
6. Is It Our Fate?--@ovianra
7. Crush--@dhalsand
8. Keping Harapan--@UmaIkhFfa
9. Cinta Alam Untuk Disa--@DenMa025
10. Memutar Waktu--@dewinofitarifai
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bisa
أدب المراهقينNina 16 tahun adalah seorang ketua OSIS yang berparas cantik ini memiliki pacar rahasia yaitu seorang kapten basket bernama Ardi. Masalah mulai muncul ketika Ardi justru mengumumkan hubungan mereka. Nina marah akan hal itu karena takut diketahui ol...