Memory of 2012.
Setelah segala kekonyolan yang terjadi, gue merasa bersalah pada ary. Namun gak bisa dipungkiri bahwa gue juga enggan berpacaran sebenarnya, gue bahkan gak paham apa yang terjadi pada gue sehingga malam itu gue mau-mau aja nerima perasaan ary, padahal sebelumnya gue sama sekali gak ada rasa pada lelaki itu.
Yang gue sukai siapa, yang nembak gue siapa. Konyol.
Teman-teman gue juga heboh meledeki gue setiap hari, ada pula yang menyayangkan pasal putusnya dua sejoli yang baru jadian selama 12 jam ini.
Ary jelas marah, lelaki itu selalu menghindar ketika melihat eksistensi gue disekitarnya. Biasanya gue akan bermain dengan ary dan temannya yang lain, berpetualang disawah mencari belalang ataupun buah cecendet yang kerap tumbuh liar disawah kering. Tapi sekarang udah nggak lagi.
Begitu banyak kenangan bersama ary sebagai teman yang mungkin mulai saat ini gue gak akan memiliki kenangan baru yang seru bersama ary. Sangat disayangkan memang.
Beberapa hari setelah putus dengan ary, gue menemukan tambatan hati yang baru. Saat itu salah satu tetangga gue tengah mengadakan acara hajatan khitanan anak semata wayangnya —yang katanya bukan anak kandung melainkan anak pulung sebab sang istri mandul.
Seperti biasa gue dan teman-teman gue kelayapan main kesana kemari, sampai ketika gue main dirumah tetangga yang tengah hajatan itu gue melihat seorang anak lelaki seusia gue tengah duduk bermain dengan anak yang sudah dikhitan itu, yang merupakan sepupunya sendiri.
Melihat parasnya yang rupawan, kulit putih bersihnya, gue langsung kesemsem detik itu juga. Sehingga ketika teman-teman gue mengajak gue untuk jajan gue lebih memilih tetap disana memerhatikan anak lelaki itu dari jarak beberapa puluh meter.
"Ngeliatin apa sih yer?" Seilla bertanya.
"Itu siapa sih sel?" Gue bertanya balik seraya mengedikkan bahu kearah anak lelaki itu berada.
Seilla mengikuti arah pandang gue, "dia? Ahya namanya. Kenapa emang?"
Gue tersenyum tipis saat mengetahui nama anak lelaki itu, kemudian gue menggeleng pelan. "Gak papa, nanya aja."
Seilla memicing curiga, "lo suka sama dia?" Tanyanya.
"Hah? Nggaklah."
Seilla tersenyum meledek, "alah ngaku aja kali. Lo suka kan sama dia? Mau gue kenalin gak? Rumahnya dikampung sebelah tuh deket tempat kita ngaji."
"Nggak ih, orang nanya doang." Elak gue.
"Bohong!" Tuding seilla.
Gue tetap mengelak namun sialnya seilla malah makin gencar meledek gue sampai gak segan-segan meneriaki nama anak lelaki itu hingga si empunya nama menoleh.
"Ahya!"
"Seilla!" Sentak gue.
"Ck, diem."
Merasa namanya dipanggil ahya segera mendekat dengan raut bingung, "kenapa sel?" Tanyanya.
"Ada yang mau kenalan nih, namanya yera." Tanpa dosa seilla menunjuk gue yang mati-matian menahan malu seraya membuang muka ketika ahya menatap gue.
"Oh." Namun, tanggapan ahya sangat mengecewakan hanya sebatas kata 'oh' saja jawabannya, dia langsung kembali ketempatnya semula.
Hati gue bagaikan dijatuhkan dari ketinggian sehingga membuatnya hancur berkeping-keping, sementara seilla hanya menyengir canggung.
Cih, sok ganteng. Pasti gedenya jadi bajingan.
"Dia jomblo kok yer." Bisiknya menghibur.
Melihat dari responnya saja gue tau kalau ahya jelas ogah kenal sama gue, lagipula apa yang gue harapkan dari fisiknya yang sangat jauh dari kata cantik ini? Mendapatkan pacar seperti ahya? Haha itu terlalu mustahil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Depresiku
Non-Fiction"Hanya sebuah cerita untuk ku kenang saat tua nanti"