Bagian 08. Trauma

16 1 0
                                    

Memory of 2009.

Siklus kehidupan gue gak jauh dari sekolah, mengaji, diperebutkan bapak dan ibu, mendengar adu mulut antara ibu dan bang hendar, serta segala emosi ibu yang gak mampu ia kontrol dengan baik sehingga kerap diluapkan pada gue atau ribut dengan saudara atau tetangganya ketika gak sengaja perasaannya tersinggung.

Ibu benar-benar menjadi sosok yang tempramental. Hal sepele aja akan menjadi besar dan berdampak keributan serta saling bermusuhan. Kayaknya setiap minggunya selalu ada aja hal yang diributkan oleh ibu dan om gue.

Entah soal ibu yang suka buang sampah sembarang, atau om yang terganggu oleh ibu yang doyan memutar musik kenceng macam orang hajatan. Disemua peristiwa itu gue lah saksinya.

Namun, gue gak bisa berbuat apa-apa selain menutup telinga lalu menangis diam-diam ditempat yang jauh dari jangkauan ibu. Gue memiliki ketakutan besar karena sering dimarahi ibu, sehingga ketika dihadapan ibu, gue selalu berusaha tegar dan kuat.

Tahun demi tahun ibu mulai terbiasa tanpa kehadiran bapak, meski jelas luka dihatinya masih sangat basah. Entah kapan kering dan sembuhnya.

Dan demi menutupi luka-luka itu, ibu kerap mengencani beberapa pria yang mempunyai ketertarikan padanya. Ibu gak pandang bulu, asalkan penampilannya cukup rapi dan mau usaha pasti akan ia pacari atau bahkan menikah.

Dimulai dari orang biasa, preman, hingga penyiar radio. Meski begitu gue gak pernah sedekat itu dengan para ayah tiri gue, bukan karena mereka jahat —malah sangat baik— tapi karena gue jarang ada dirumah. Siang sekolah dan main, malam menginap dipondok. Dan jika libur sekolah gue akan menginap dirumah bapak meski harus terjadi perang antara bapak dan ibu dulu.

Sepulang dari rumah bapak gue mendengar kabar yang sudah sangat sering gue dengar, bahwa ibu sudah bercerai lagi dengan suami barunya yang merupakan penyiar radio itu.

Gue sih nggak kaget dan gak peduli juga. Cuma bang hendar yang sempat mengomel karena malu sebab ibu selalu gonta ganti suami, tapi ibu tetaplah ibu, bukannya sadar atau menerima ibu malah ribut dengan bang hendar.

Gue gak paham kenapa ibu dan anak sulungnya itu selalu aja cekcok ketika bertemu. Meski dilihat-lihat keduanya memiliki sifat serupa, sama-sama tempramental dan keras kepala.

Bulan depan gue akan naik kelas, dan bulan ini gue disibukkan oleh ujian sehingga bapak gak bisa mengajak gue menginap karena gue harus fokus belajar.

Untungnya baik bapak dan ibu gak ada yang menuntut gue untuk begini ataupun begitu, asalkan nilai gue stabil dan bisa naik kelas itu udah cukup. Gak perlu harus jadi si juara satu atau murid teladan, cukup belajar dengan benar dan sebisanya saja sampai lulus.

Saat hari terakhir ujian gue mendapat kejutan dari alam, yaitu gempa yang cukup besar saat semua orang tengah fokus mengisi lembar jawaban. Sontak aja semua murid serta guru berhamburan keluar kelas, namun karena anak-anak itu terlalu berdesakan ingin keluar paling dulu, gak sengaja mereka mendorong guru pengawas saat itu. Kejadiannya sangat fatal sebab bu heti —itulah namanya— jatuh tersungkur setelah kepalanya menghantam tiang.

Bu heti sempat dibawa kerumah sakit namun beberapa jam kemudian dinyatakan meninggal sebab beliau memiliki penyakit darah tinggi dan jantung.

Semua murid saat itu dimarahi oleh kepala sekolah, namun gak ada yang bisa mereka lakukan selain menundukkan kepala. Dan para guru pun hanya sebatas menegur agar kejadian seperti itu gak terulang lagi, mau minta tanggung jawab pun gak bisa karena bisa dikatakan ini sebuah kecelakaan yang mana tentu saja gak disengaja.

Semua orang sama-sama panik saat itu.

Tubuh gue masih gemetar karena gempa sekaligus karena dimarahi kepala sekolah. Lalu saat tiba dirumah gue disambut oleh keputusan ibu yang bilang kalau ia akan pergi bekerja keluar kota.

Diary DepresikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang