OO. Persinggahan sementara.

189 14 1
                                    

Cuba bayangkan dalam hidup kita ini, banyak dugaan untuk kita menjalani kehidupan sebagai manusia yang menginjak di atas bumi ini.

Fanny juga salah satunya, menjalani kehidupan dengan penuh dugaan.

Tetapi ia tidak pernah menyalahkan takdir.

Fanny tahu kalau itu ada sebabnya mengapa ia diperlakukan begitu.

Karena dia akan bersama dengan orang amat ia cintai suatu saat nanti.

Fanny tengah sibuk menyesap minuman yang sangat terkenal baru-baru ini di seberang sana — tak jauh dari kampusnya.

Tengah sibuk mempersiapkan tugasnya, lebih baik ia mengistirahatkan otaknya dengan meminum yang disarankan oleh teman sekampusnya.

Matanya fokus pada figur tengah berjalan padanya, dengan seutas senyum manis di bibirnya membuat Fanny ikut serta tersenyum.

“Maaf, aku bisa duduk di sini? Tak ada tempat kosong lagi,” ucapnya sambil menggaruk tengkuknya.

Fanny pun memindai sekitarnya dan benar, tiada lagi tempat kosong selain di depannya.

“Tentu saja,” katanya,
“duduklah.”

“Terima kasih,” jawabnya sambil menarik kursi yang merapat pada meja itu dan mendudukkan dirinya pada kursi.

Keheningan pun di antara mereka, Fanny — orangnya sangat ramah tetapi tidak bersahabat dengan keheningan.

Itu membuatnya gelisah dan merasa dirinya melakukan kesalahan.

“Omong-omong namaku Raya,” katanya sambil menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga lalu kemudian menatap wajah Fanny gemas.

“Namaku Fanny, salam kenal Raya.”

Raya terkekeh,
“salam kenal juga, Fanny.”

Fanny melipat bibirnya sambil memikirkan keras untuk membuat sebuah pembukaan pembicaraan antara mereka.

“Kamu ... masih kuliah?”

Raya menaikkan pandangnya, mengangguk sebagai jawabannya.

“Ya, kamu juga?”

Kali ini Fanny mengangguk sambil senyum, “ya, aku kuliah di sana.”

Raya memutarkan tubuhnya untuk melihat apa yang ditunjukkan oleh Fanny lalu mengangguk paham.

Raya, gadis itu pula tergelak kecil, “kita sama kampus.”

Fanny melebar, menatap tak percaya dengan kalimat Raya, “benarkah? Kenapa aku tak melihatmu di sana?”

Raya senyum, “aku suka ke perpustakaan, untuk mencari ketenangan di sana.”

Bibir tipisnya membulat paham, pantas saja ia tak menemukan gadis itu di mana-mana tempat, karena dia mudah teringat dengan hal-hal kecil.

Raya kembali menatap benda pipih di tangannya kemudian menyesap kopinya untuk kali terakhir sebelum bangun dari kursi.

“Maaf ya, aku pergi duluan.”

“Tak apa-apa, pergilah.”

Raya senyum bersalah, “lain waktu kita bertemu lagi ya, Fanny.”

Fanny mengangguk, tersenyum pias hingga matanya melengkung ke atas.

Memperlihatkan senyuman paling manisnya di mata Raya yang tertegun melihatnya.

“Kamu memiliki senyuman mematikan.”

Fanny tergelak mendengarnya, padahal itu adalah perkara biasa baginya.

“Kamu bisa saja, Raya.”

Raya senyum, melambaikan tangannya ke arahnya, “aku pergi ya.”

abu-abu • jinlia [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang