O3. Berbaikan.

37 6 0
                                    

Adena tak tahu hendak memulai dari mana bercerita mengenai kematian Mika — desakan dari mereka membuat Adena menceritakannya semua. Tak peduli apa yang akan ia terima dari mereka, ia bersiap — karena tugasnya merahasiakan sesuatu dari mereka sudah selesai.

"Kenapa kau harus berbohong padaku," Adena membuang muka, hatinya akan bertambah sakit melihat Fanny menangis dengan bertanya dengan nada seraknya.

Begitu juga Raya, ia membelakanginya mereka berdua, berusaha menepis air matanya kasar supaya terlihat baik-baik saja namun — sialnya ia lebih rapuh dari Adena dan Fanny. Ia gagal mempertahankan dirinya terlihat kuat di depan mereka.

Adena, gadis itu menenangkan mereka berdua dengan menarik kedua gadis itu dalam dekapannya sambil mengelus-elus punggung mereka dan berbisik perlahan mengucapkan kalimat penenang untuk mereka.

"Ini sebabnya aku tak ingin menceritakan kepada kalian, kalian tidak bisa mengawal emosi—"

Adena, gadis jangkung itu berhenti bicara saat sebuah tangan melingkari di lehernya, satu sisinya melingkari di pinggangnya. Ia memejamkan matanya sesaat, kemudian menatap mereka secara ganti.

"Sudah berbaikan?"

Sebuah pertanyaan dari Adena mengejutkan keduanya yang memeluk sang muda itu, menoleh sambil menatap satu sama lain kemudian tatapan itu diputuskan Fanny yang mula menenggelamkan wajahnya di keruk Adena.

Sementara Raya tersenyum kecut, ia mengeratkan genggamannya di pinggang Adena yang diam-diam meringis saat merasakan sakit dan hendak meminta gadis itu berhenti meremasnya — ia jelas tak bisa melakukannya.

Sadari dua jam ia menceritakan tentang Mika kepada mereka, dua jam itu juga Adena tak beranjak dari duduknya kini merasa pegal dan merasa kakinya akan kram sebentar lagi. Ia mendesah, "bisakah kalian melepaskan ku? Aku merasa sesak."

Keduanya pun menjauh darinya, raut mereka terlihat khawatir dan hilang setelah melihat bibir Adena terukir di sana; mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Kini, hanya dua makhluk hidup tengah menciptakan suasana hening di ruang tengah dengan hanya terdengar suara jam bergerak satu demi satu melewati garisan kecil di sana. Setelah kepergian Adena memiliki urusan lainnya, mereka berdua tak berbicara setelah gadis itu pergi.

Tak ada satupun hendak berbicara, seolah ada sesuatu menghalang mereka berbicara. Keduanya pun berada di pikiran masing-masing hingga akhirnya Fanny memutuskan untuk menatapnya.

Hela nafas terdengar frustasi, sisi lainnya gadis itu adalah teman sekamarnya, tidak seharusnya canggung begini, dia harus berbuat sesuatu. "Bagaimana— ayo, berbaikan."

Belum juga Fanny membuka mulut untuk memulai pembicaraan, justeru Raya terlebih dahulu berbicara begitu matanya menatap Fanny terdiam di sana. Raya tahu, hubungan mereka baik-baik saja hanya saja setelah mengetahui itu membuatnya merasa sesak.

"Tentu saja, ayo berbaikan." Tanpa terduga, Fanny menerima itu membuat Raya senyum lebar dan mendekat memeluk gadis itu hangat. Tak sangka hubungan mereka tadinya tidak baik, sekarang berubah beberapa detik.

Setelah berpelukan begitu lama, Raya menarik dirinya dan mendudukkan dirinya sambil menatap hangat kearah Fanny. Sungguh, wajah mendiang kekasihnya dan Fanny sangat mirip. Membuat Raya tak mampu membedakan mereka.

"Jadi …" Fanny menggantungkan kalimatnya sebelum netra gelapnya tertuju pada Raya tengah menatapnya sambil tersenyum. Hal itu membuat hati Fanny merasa aneh, detak jantungnya kian melaju apalagi bagian perutnya terasa penuh.

"Kau akan pulang?" Raya tersenyum kecil, mengingatkan beberapa hari ini ia tinggal sementara di apartemen Adena untuk menuntut sesuatu.

Tepatnya saat Fanny datang tanpa memberi tahu ia seketika terdiam melihat Raya sudah berada di hadapannya setelah membuka pintu. Kemudiannya, mereka juga serentak mendesak Adena untuk menceritakannya.

abu-abu • jinlia [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang