O2. Sebab.

41 7 2
                                    

Jarak antara keduanya kian menjauh, hubungan mereka akhirnya renggang hanya satu alasan. Fanny tentu saja mengkhawatirkan keadaan seperti ini, seperti masa lalunya dulu dengan orang yang berbeda.

Fanny khawatir tentang kesehatan Adena, gadis itu tampak saja baik-baik saja, justeru ia lebih rapuh daripadanya. Hal seperti ini bukanlah keinginan Fanny. Sulit untuknya, sudah keluar dari masa lalunya kini harus terperangkap dalam masa lalunya pula.

Fanny menatap sayu kearah Adena memandang kosong kearah komputernya, ekspresi kosong serta sendu menghancurkan hati Fanny. Fanny tak pernah merasa gembira setelah kejadian itu.

“Kak Fanny,” sapaan itu tampak tidak menyadarkan ia dari lamunannya. Terperangkap dalam bentuk pertanyaan penuh tanya dalam akalnya, tak hendak keluar dari lamunannya.

“Kak Fanny!”

Gadis itu mendongak, matanya mengunci tatapan cemas dari Raya langsung duduk mendekatinya lalu menggenggam tangannya. Hangat, sama seperti orang itu lakukan. Tidak, Fanny tak inginkan mengingat segala ia lakukan padanya. Tak ingin Raya sebagai pelariannya.

Ia tak inginkan membuat rumahnya terluka lagi. Ia ingin memperbaiki segalanya.

"Apa kamu baik-baik saja?"

Senyum tipis diberikan Raya itu bukanlah sesuatu yang ia inginkan, Raya ingin gadis itu mengutarakan isi hatinya kepadanya. Tapi dirinya hanyalah orang asing menepati rumahnya pun mempercayainya.

Senyum tipis juga muncul di bibirnya; "kak, suatu hari, dimana kakak benar-benar tak bisa menahannya, ada aku disini. Aku tak akan meninggalkan mu sendiri."

Terharu, itu yang Fanny rasakan saat ini. Egois jika ia tak merasakan sekarang, egois jika ia tidak pernah menyukai Raya. Egois jika ia ingin berbagi dengan Raya.

Ia inginkan Raya mengetahuinya.
Inginkan Raya memahaminya.

Fanny menatap Raya lemah, katakan ia sekarang menunjukkan sisi rapuhnya kepadanya, katakan bahwa kedatangan Raya benar-benar membuatnya membutuhkan rumah.

Raya seakan-akan memahaminya dan mengerti segala ia lakukan. Gadis itu merengkuh tubuhnya, mengusap serta memberikan kehangatan yang sudah lama tak dirasakan oleh Fanny.

"Sekarang, kau baik-baik saja?" Senyuman lebar terpapar pun membuat siapapun tersenyum karenanya. Mengerti melalui senyuman itu, Raya tak lagi memberi pertanyaan padanya.

Cukup saja melihat ia sedih, itu membuat Raya turut sedih. Apa yang Fanny lakukan, Raya merasakannya apa yang ia rasakan. Dan Raya semakin yakin, Fanny itu adalah rumah nya yang ia carikan selama ini.

Fanny memilih diam seraya menyandarkan kepalanya di bahu Raya yang meliriknya sebelum tangannya meraih tangan Fanny untuk genggam. Hangat dan nyaman, mereka merasakannya.

"Aku pernah berpikir, di dunia keras ini tiadanya rumah untuk aku tempati selain rumah yang ditempati manusia— nyatanya aku salah besar, aku sudah menemukannya dan hanya saja aku tak berani mengungkapnya."

"Aku pernah merasakannya, kak." Fanny duduk, kepalanya tak lagi sandar di bahunya, matanya fokus pada mata Raya yang terpapar kesedihan di sana.

"Rumah yang ku anggap itu ternyata pergi, pergi meninggalkanku dan masa lalunya."

Raya menatapnya, "mantanku memiliki masa lalu tak bisa dipisahkan, selama aku bersamanya ia terus salah menyebut namaku, tak ingat makanan kesukaan ku dan segalanya."

"Aku sempat berpikir, apa dia benar mencintaiku atau menjadikan sebagai pelariannya agar bisa melupakan masa lalunya? Setelahnya, kami bertengkar, dia mengatakan segalanya, termasuk hendak menjauhkan dirinya dariku dan mantannya."

abu-abu • jinlia [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang