Rokok

125 36 6
                                    

"Eh mau nyoba dong, Ran?"

Randy mengernyit kebingungan, menatap Karen lalu tembakau yang dia lipit dijarinya bergantian. "Apaan anjir?"

"Rokok, mau."

"Ngaco, enggak."

Karen mencibir, sebenernya dia bingung banget sama double standart ya, kenapa rokok hanya digeneralisasi fungsinya untuk laki-laki, sedang jika ada perempuan yang merokok, bakal dipandang beda lagi. 

"Nggak boleh Karen. Bahaya."

"Kalau tau bahaya kenapa lo juga nggak jauhin rokok?"

"Ya beda lah."

"Beda apanya? Lo laki gakpapa, gue cewek gak boleh? Gitu?"

"Iya."

"Why?"

"There's no why." Randy berbicara serius. "Jangan nyobain vaping juga. Gak ada bagusnya buat paru-paru lo."

"Terus lo gak sayang sama paru-paru lo?"

"Gue sayang lo. Makanya minta lo buat gak usah macem-macem."

"Really?" Karenia tertawa, tiba-tiba tergelak mendengar ucapan Randy yang tak pernah berarti apa-apa. "Bullshit berat omongan lo."




Saat hari dimana mereka kerja kelompok dan Randy bilang, dia tidak mirip dengan siapapun, Karenia tidak pernah percaya.

Karen tau ada sesuatu yang Randy figurkan padanya.

Namun apa daya hati yang tertipu perasaan? Apa yang harus Karenia lakukan ketika tau yang sebenernya terjadi?


"Ren."

Randy menarik kedua tangannya, membuat Karenia menghadap benar-benar ke arahnya. Keduanya bertatapan dengan emosi yang sebetulnya sudah sama-sama ditahan.

Akan selalu ada yang berbeda dari masing-masing perlakuan keduanya.

Dan memiliki arti yang selalu sulit didefinisikan.

Baik Randy maupun Karen maju untuk membuat kecupan. Persetan dengan semua yang sedang terjadi sekarang. Mereka terbawa suasana.


"Sorry."

"Siapa Kanaya?"

Randy membelalakkan mata dan semuanya Karenia tangkap.

"Tau darimana?"

"Answer."

Randy langsung diam. Tertunduk. Pengecut.



"For every love confession you made, is for her kan?"

"Ren... enggak. I really do. I love you."

"Liar."

"Ren."

"Ternyata, bener kata lo di pertemuan awal kita. Muka kita mirip. Rambutnya juga. I've seen her."

"..."

"Jahat ya lo Ran. Setahun lo giniin gue, gak pernah mau mulai status, tapi gue aja yang terlalu naif. Seneng yaa lo udah bego-begoin gue?"

"Astaga Ren. Gue sayang sama lo. Gak percaya?"

"Gak, until you tell me about her."

"She's passed away, did you know that?"



Dengan itu Karenia langsung terdiam. Sediam-diamnya dia, tidak pernah mematung seperti ini.





"Kanaya cinta pertama gue, kita ketemu smp, sampe sma ternyata dia pergi duluan. She just wonderful woman, dan lo juga gitu. Pertama liat lo, gue mengenang lo sebagai Karenia temen SD gue. Tapi makin kenal lo, bagi gue lo dan Kanaya mirip. Hanya itu. But after all, I see you as yourself Ren. Gak pernah ada kepikiran gue buat nyama-nyamain lo sama Kanaya karna kalian udah jelas beda orang. Udah jelas juga gue cinta sama lo, gak mungkin balik lagi ke Naya karna orangnya udah gak ada."

"Dan kalau orangnya masih ada?"

"Ya kenyataannya dia gak pernah ada lagi kan?" Randy terasa frustasi. "Sorry Ren, I apologize for anything. Aku minta maaf."

Karenia kembali tertawa. "I can understand, a first love for a man, I can understand."

"Gue sayang sama lo Karenia."

"No you're not."

"Kenapa bisa mikir gitu sih? Setahun ini lo gak ngeliat apapun yang gue lakuin buat lo?"

"Ya justru karna udah setahun ini kita bareng, gue gak bisa liat itu!"



"..."

"..."

Randy dan Karen diam saling menatap, diam saling meramu amarah dan sedih yang gamblang. Mereka mencinta namun tak tersampaikan. Banyak ragu dan takut, banyak bingung dan diam, yang mana jika betulan harusnya tidak begitu kan?

Like, someone I know says,

Love is kind of madness, it won't give any confusion.

If you're confused then you're not believe there's love there. Kalau kamu bingung tentang perasaanmu, berarti kamu memang gak cinta dia. Kecil atau besar perasaannya, cintanya tak pernah ada.






"Karenia please..."

"Do you love me, Ran?"

"..."

KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang