Yang Raisa lihat, kehidupan Agra baik-baik saja.
Cowok itu hidup nyaman.
Tanpa kekurangan.
Tapi hari ini, Raisa ditampar kenyataan. Bahwasanya, tak ada manusia yang selamanya akan baik-baik saja.
Raisa tak mampu membendung tangisnya, tatkala melihat sosok cowok yang selalu ia suka. Sosok cowok yang selalu mengumbar tawa itu kini berjongkok di samping brankar ibunya.
Menggenggam erat tangan tak bernyawa itu sambil menggumam kalimat-kalimat yang menyayat hati Raisa.
"Mama ... Mama bilang mau jalan-jalan ke pantai bareng Agra."
Dan isakkan itu terdengar.
"Mama ingkar janji."
Agra menggenggam tangan Bunga erat, memandangi wajah mamanya yang kini sudah memucat. Mata yang dulu memancarkan sorot penuh harap itu kini sudah terpejam. Bibir yang senantisa tersenyum memberi semangat itu kini terkatup rapat. Agra mencium punggung tangan yang dingin itu.
"Mama kenapa jahat sama Agra?"
"Mama ninggalin Agra sendiri," lirih Agra yang membuat hati Raisa berdenyut nyeri mendengarnya.
"Agra takut, Ma ...."
"Gra ...," panggil Raisa begitu pelan. Gadis itu mendekat, menarik tubuh Agra untuk berdiri. Mengusap air mata di pipi Agra, lantas merengkuh tubuh rapuhnya. "Kamu enggak sendiri," bisik Raisa.
Bahkan rasanya, suara Raisa hampir hilang tenggelam di dalam kesedihan dan isak tangisnya.
"Jangan takut. Kamu enggak sendiri, Gra. Masih ada aku," kata Raisa menenangkan. Jemari dingin gadis itu mengusap belakang kepala Agra.
"Ikhlasin ya?"
"Bagaimana aku bisa ikhlas, Sa?"
"Mama kamu udah bahagia, Gra. Di sana, di dekat Tuhan."
Raisa mampu mengusap air mata Agra. Namun, air matanya sendiri kini sudah mengaliri pipi.
"Gra ... enggak papa untuk lemah. Enggak papa untuk nangis, enggak papa untuk bersedih," kata Raisa. "Itu manusiawi."
• • • •
Raisa terdiam. Termangu di sofa ruang tengah rumahnya.
Setelah pemakaman mamanya Agra. Cowok itu bilang dia ingin menenangkan diri, lantas menyuruh Raisa pulang duluan. Raisa menurut, karena terkadang kesendirian mampu mendatangkan ketenangan.
Tapi tidak.
Karena harusnya, Raisa menemani cowok itu.
Raisa menyesali keputusannya. Karena bagaimanapun juga, cowok itu bisa saja melakukan hal nekat.
Bagaimana kalau Agraㅡ
Raisa menggelengkan kepalanya pelan. Menghilangkan pikiran buruk yang merasuk ke dalam sudut-sudut otaknya.
Dentum sepatu pantofel dengan lantai menggema dari arah garasi. Raisa menoleh, dengan keadaan kacau. Mungkin sekarang, dirinya sudah terlihat seperti korban pelecehan.
Gadis itu memandang lurus ke arah Ara. Ibunya itu, kali ini tak pulang petang.
Raisa memandangi Ara dari atas sampai bawah. Rambut Ara yang pagi tadi rapi, kini helai-helai kecil rambutnya sudah tak beraturan. Bajunya yang halus, kini sudah terlihat kusut.
Harusnya, dulu ... Raisa sadar.
Bukan hanya dirinya yang lelah dengan keluarga yang hanya nama. Keluarga yang tak mampu menjadi rumah.
Ara menghentikan langkah. Menatap putrinya yang mematung di sofa, dengan mata yang sembab.
Bahkan karena itu, Raisa kini mampu melihat lingkar hitam di balik kaca mata yang Ara kenakan.
Raisa kini sadar, ibunya juga lelah.
Gadis itu bangkit, lantas berlari menghampiri sosok yang berdiri itu. Sosok yang kalau tak ada, hidup Raisa akan hancur tanpa arah mau kemana.
Langkah Raisa berhenti satu meter dari sang ibunda.
Ara hanya mengangkat satu alis.
Raisa hanya diam.
"Kamu kenapa?" Dan saat pertanyaan itu terlontar dari Ara, Raisa tak mampu lagi menahan genangan air matanya di pelupuk mata. Gadis itu melangkah mendekat, langsung memeluk Ara erat seolah jika ia tak memeluknya erat, Ara akan menghilang dan tak akan kembali.
"Bunda ... maafin Raisa," rengek gadis itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang ibunda. "Raisa sayang sama Bunda."
• • • •
Raisa menatap pantulan dirinya di cermin. Gadis itu meraih cream wajah, lantas memakaikannya pada bagian di bawah mata yang terlihat sembab.
Tok! Tok! Tok!
"Bentar!" Raisa bangkit, meninggalkan meja rias untuk membukakan pintu. "Ada apa, Bun?" tanya Raisa saat mendapati Ara berdiri di luar kamar.
"Di bawah. Ada paket," kata Ara sedikit tersenyum. Hubungan mereka sekarang jauh lebih baik, saat siang tadi putrinya itu menangis-nangis meminta maaf kepadanya.
Tapi nyatanya, di sini Ara juga salah.
Ia terlalu memusingkan pekerjaan, terlalu memikirkan bahwa dirinya tak bekerja tak akan ada biaya untuk membiayai sekolah Raisa. Sampai ia lupa, bahwa Raisa hanyalah gadis SMA yang masih membutuhkan sosok ibu di sampingnya.
Raisa mengangguk. Gadis itu mengambil cardigan untuk menutupi kaos pendek yang ia kenakan, lantas turun untuk melihat paket apa yang di maksud. Karena seingatnya, ia tak memesan sesuatu.
"Atas nama Mbak Raisa Maharani?" tanya kurir saat Raisa sampai pintu rumah.
"Iya benar."
Kurir itu tersenyum ramah. "Ada paket buat, Mbak," katanya menyerahkan sekotak kardus berukuran sedang.
Raisa mengernyit. "Maaf, Mas. Dari siapa ya?"
"Waduh, Mbak. Orangnya mau namanya di rahasiain, Mbak."
Raisa tersenyum paksa. "Yaudah, Mas. Terima kasih," kata gadis itu lantas memberikan tanda tangannya.
Tanpa ia sadari, sendari tadi ada yang mengawasinya dari kejauhan. Seorang cowok yang yang mengagumi tawa Raisa sejak lama.
Saat Raisa kembali masuk ke dalam rumahnya. Cowok itu tersenyum sepat, menaikkan tudung hoodie yang ia kenakan, dan akhirnya melangkah pergi.
Dengan pikiran, jika Tuhan mengizinkan ... di kehidupan selanjutnya, ia ingin bisa hidup dengan Raisa.
Dengan bahagia.
YOU ARE READING
Agra, Rasa, dan Raisa (End)
Fiksi Remaja[CERITA SUDAH TAMAT] Bukan kisah istimewa, hanya kisah sederhana antara Agra dan Raisa di masa SMA. Hanya kisah klasik anak remaja yang terbalut akan tawa, luka, juga rahasia. . "Bahagia, Sa. Terima kasih untuk segalanya." ㅡ Alputra Agra Anggara . ©...