empat

35 5 6
                                    

Jangan lupa follow:)

🌻🌻🌻

Zayyan memarkirkan motornya di garasi. Di sana sudah ada mobil milik abangnya, pertanda bahwa makhluk menyebalkan itu sudah pulang lebih dulu.

Padahal selama dua hari belakangan ini zayyan hampir tidak pernah bertemu dengan Arka--abangnya, karna kesibukan anak itu dalam bekerja, membantu papa mereka mengurus perusahaan yang sudah berkembang hingga beberapa kota.

Saat memasuki rumah, mata Zayyan langsung di suguhkan dengan pemandangan Arka yang sedang nangkring di ruang keluarga dengan kaki terangkat santai di atas meja. Tak lupa tv yang menyala menayangkan sinetron azab dengan volume yang tidak bisa di katakan kecil. Beruntung mama sedang keluar, jika tidak mana berani Arka berlaku seperti itu. bisa bisa nama dia di tipe-x dari kartu keluarga saat ini juga.

Mengabaikan arka yang terlihat asik dengan kegiatannya, Zayyan melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Namum, baru saja kakinya menginjak anak tangga pertama, suara menyebalkan milik arka sudah lebih dulu terdengar.

"Gue baru aja liat azab orang yang masuk rumah gak ngucapin salam. Apalagi dia tau kalau di rumah ini ada orang yang lagi nungguin dia," Arka berujar tanpa menoleh kearah Zayyan yang masih berdiri pada anak tangga. laki-laki itu sibuk mengunyah kripik singkong yang berada dalam pangkuannya, menimbulkan suara khas yang membuat eko--kucing abu abu milik Zayyan, berlari dari bawah tangga menuju ke arah Arka.

Arka itu definisi manusia yang bulshit abis. Jadi tak perlu repot repot bagi Zayyan untuk menanyakan untuk apa laki laki itu menunggunya. Kalau pun tetap nekat menanyakan, maka persiapkan telinga untuk mendengar ocehan ocehan random yang keluar dari mulut Abang laknatnya itu. Tentunya ocehan yang sangat tidak berbobot sama sekali.

Arka berdecak kesal saat melihat zayyan sudah sampai di lantai dua. Menunjukkan kepada Arka bahwa omongan yang baru saja laki laki itu lontarkan tidak ia pedulikan sama sekali.

"Untung gue sabar, kalo enggak udah gue sleding lo. Dasar adek gak ada akhlak," akhirnya arka hanya bisa mendumel kesal kepada dirinya sendiri.

Lain halnya dengan Zayyan. Setelah berhasil masuk ke dalam kamarnya, laki laki itu langsung mengganti seragam sekolah dengan kaos hitam polos. Kemudian merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah di atas tempat tidur dengan sprei bergambar club sepak bola  dari portugal kesukaannya.

Baru saja matanya ingin terpejam, bayangan seorang gadis sedang tersenyum manis terlintas begitu saja dalam pikiran Zayyan. Gadis yang hampir satu tahun belakangan ini ia kagumi secara diam-diam. Benar-benar tidak ada yang mengetahui tentang bagaimana perasaannya kepada gadis itu. Bahkan sahabatnya sekalipun. Hanya tuhan dan diri Zayyan sendiri yang tau.

"Dia suka gak ya bukunya?" Tanya nya kepada diri sendiri.

Sesaat kemudian ia berdecak. " Pasti suka lah, kan itu buku incaran dia banget." Lanjut nya.

Ya, gadis itu adalah Nadhira. Gadis yang membuat Zayyan rela bersusah payah mencari buku yang gadis itu inginkan. Ia tak berniat lain sedikitpun, hanya karena melihat sedikit raut kecewa pada sorot mata Nadhira di salah satu toko buku pada  satu Minggu yang lalu, membuat zayyan sangat tidak rela melihatnya.

Di setiap sepertiga malamnya, Zayyan dengan lancang melangitkan nama gadis itu. Meminta kepada sang pemilik hati untuk menempatkan namanya pada tempat khusus di hati Nadhira suatu saat nanti. Saat mereka sudah di satukan dalam satu hubungan yang diridhai oleh tuhannya.

Mengingat Nadhira adalah gadis yang paham agama menjadi alasan paling kuat untuk zayyan memendam perasaannya tanpa berniat memberi tau gadis itu. Jika gadis itu bukan Nadhira, maka akan beda lagi ceritanya.

Dari Nadhira, Zayyan memahami tentang kemuliaan seorang wanita. Saat melihat bagaimana terjaganya gadis itu membuat Zayyan  menyadari bahwa Nadhira adalah gadis yang istimewa dengan segala kesederhanaan yang ia punya.

*****

Duduk di bawah pohon mangga di halaman panti sangat menangkan bagi Nadhira. Mengawasi beberapa anak panti usia 2-3 tahun yang sedang bermain di atas rumput hijau yang tumbuh di sana. Saat menengadahkan kepala, matanya langsung menangkap pemandangan burung-burung yang hinggap berjajar di atas kawat listrik. Setiap sore, burung-burung itu selalu hinggap di sana. Berkicau seolah membicarakan tentang bagaimana tabah nya anak-anak yang ada di panti ini. Hidup tanpa kasih sayang orang tua, tanpa keluarga.

Gelak tawa anak-anak terdengar sangat ringan. Terlihat tanpa beban sama sekali. Biarlah mereka tertawa sebentar lagi, sebelum umur mereka mulai dewasa dan segala kepahitan hidup datang melunturkan senyum indah itu.

Nadhira seringkali berpikir, andai saja mesin waktu itu ada, maka dia akan mempergunakannya sebaik mungkin untuk mengembalikannya pada masa kecil. Masa dimana hanya ada tawa. Tanpa ada beban-beban hidup seperti sekarang ini.

Di teras panti sana, terlihat Alvan dan Alvin yang sedang asik mengajari anak-anak melukis. Sepasang remaja kembar itu terlihat asik dengan kegiatan mereka, seolah ada pelawak handal, keduanya hampir tidak pernah berhenti tertawa. Entah apa yang lucu. Tapi melihat keduanya seperti itu membuat Nadhira ikut tersenyum tipis.

Sedang asik-asik nya memperhatikan kegiatan anak-anak panti bersama si kembar, Nadhira dikagetkan dengan tepukan halus di bahu kirinya. Saat menoleh, matanya langsung bertubrukan dengan netra coklat milik anak perempuan berambut sebahu. Nadhira dapat melihat dengan jelas, kedua netra coklat itu menyirat luka yang mendalam. Namun berbeda dengan raut wajahnya yang datar tanpa ekspresi. Nadhira tidak terlalu mengenal anak itu. Ia hanya sekedar tau bahwa dia bernama Saza, anak yang terkesan dingin dan jarang berinteraksi dengan anak-anak panti lain.

Nadhira tersenyum manis. Diusapnya kepala anak berumur 7 tahun itu dengan lembut. "Kenapa disini? gak belajar melukis bareng teman-teman?"

Saza menjawab dengan gelengan kepala. Kemudian ikut duduk di samping kiri Nadhira. Bersandar pada pohon mangga yang lumayan lebat. Pandangannya lurus kedepan, menatap kosong kearah anak-anak kecil yang sedang asik bermain.

Angin sepoi-sepoi berhembus pada sore yang sedikit temaram. Meciptakan suasana nyaman bagi para penikmatnya. Di arah barat sana, sinar-sinar kuning mulai terlihat, mengingatkan Nadhira pada waktu pulangnya. Nadhira memang sering lupa waktu pulang kalau sudah bermain ke panti ini. Karena baginya, ini merupakan tempat ternyaman yang ada di kota ini. Jika remaja-remaja lain banyak yang menghabiskan waktu untuk nongkrong di cafe-cafe, maka panti asuhan CAHAYA MENTARI merupakan tempat nongkrong favorite bagi Nadhira.

Nadhira merogoh saku rok abu-abunya. Mengambil sebuah permen lolipop yang sempat ia beli saat perjalanan dari sekolah menuju panti.

"Mau ini?" Nadhira menyodorkan permen itu ke depan Saza.

Anak itu menoleh. Ditatapnya sejenak Nadhira yang sedang tersenyum manis. Dengan  ragu, tangannya mulai terangkat untuk mengambil permen yang di sodorkan oleh Nadhira.
Lagi-lagi anak itu hanya menatap kosong kearah permen.membuat Nadhira yang melihatnya,mengerutkan kening bingung.

"Kenapa diliat aja?saza gak suka ya?"

Anak itu kembali menggeleng, kali ini dengan memperlihatkan senyum kecil pada Nadhira.

"Suka, kok." Anak itu beralih menatap langit. "Saza cuma keinget bunda kalo liat lolipop," Lanjutnya terdengar sendu.

Nadhira tertegun. Baru saja mulutnya ingin mengeluarkan suara, Saza sudah lebih dulu bangkit. Berjalan cepat masuk ke dalam panti.

Tak berniat menyusul, Nadhira lebih memilih menatap punggung anak itu yang mulai menjauh, kemudian lenyap di balik pintu masuk.

Nadhira penasaran tentang kehidupan gadis itu. Tentang asal usul gadis itu, lolipop, dan sosok ibunya.










To be continue

Gimana sama part ini?udah jelas sama perasaan zayyan kan?

Jangan lupa komen dibawah👇😘

ZAYYANA [On going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang