written by: Aku-
"Aku udah bilang belum kalau weekend aku mau reuni SMA?"
Kegiatanku memasukkan piring-piring kotor ke dalam dishwasher terhenti sesaat, tetapi aku kemudian menyelesaikannya. Sekarang, aku berbalik menatap Sadendra yang sedang berdiri di depan dispenser, menunggu gelasnya terisi.
"Minggu ini? Literally besok Jumat, dan Sabtu-nya?"
Kepalanya mengangguk.
"Kenapa baru bilang sekarang?"
"Seingetku udah bilang," jawanya sebelum menenggak air putih dari gelas. "Kamu ada acara?"
Aku mengangguk. "Aku juga baru mau bilang kamu, aku pengen ikutan kelas memasak."
Keningnya mengerut. "Kelas masak? Tumben?"
"Nggak ada salahnya dong, upgrade skill masakku. Lagian kamu kan kadang-kadang suka komentar makananku."
Dia tertawa pelan. "Komentar bukan berarti aku nggak mau makan, kan? Aku tetap suka makananmu. Gimana kalau kelas masakmu di minggu depan?"
"Okay."
Tak ada masalah berarti sebenarnya. Maksudku, seharusnya. Nanti aku tinggal bilang ke Indira untuk mencarikan jadwal lagi di minggu depan. Semoga aku masih kebagian slot.
Karena bagaimana pun, aku yakin Chef Hiroki memiliki banyak penggemar.
Asumsinya, kelasnya pasti akan selalu ramai.
"Ohya, Mas, aku harus ikut reuni kamu ini?"
Sadendra yang sudah akan berjalan meninggalkan dapur menghentikan langkah dan menoleh kembali. "Gimana kamu aja, kalau ikut ayo, kalau kamu nggak nyaman ya nggak apa-apa."
Aku berpikir sejenak.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama dia akan reuni dengan teman-temannya selama kami bersama. Aku juga ... kalau tidak salah pernah ikut sekali atau dua kali dan semuanya berjalan baik.
Tunggu dulu ... "Reuni apa, Mas?"
"SMA."
"Kayaknya belum pernah, ya, aku ikut?"
Kepalanya mengangguk. "Aku juga sebenernya agak males sih, tapi nggak enak, dipaksa anak-anak yang dulunya deket pas SMA. Jadi, yaa, seenggaknya aku dateng walau nggak lama."
"Aku pikirin dulu deh, Mas. Besok aku kasih tau ikut enggak."
Ia tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah selesai dengan semua urusan perdapuran—sebenarnya tidak selesai. Jika kamu menjadi seorang istri dan ibu, tidak ada yang namanya pekerjaan rumah itu 'selesai'. Semuanya akan bersambung sampai hari akhir dunia.
Pada intinya, akhirnya aku memilih untuk bersiap mengantar Eleena ke sekolah. Anak gadisku ini memang unik, tidak boleh telat sama sekali. Jangankan telat, kami harus sampai di sekolah sebelum jam masuk.
Jadi, daripada mendengar ocehannya yang panjang, aku memilih untuk memangkas semua pekerjaanku dan mendahulukannya. Untuk sekolah, aku iyakan saja. Tetapi untuk hal-hal lain seperti bermain, aku rela berdebat.
Aku ladeni.
"Aku berangkat dulu, Sayang," pamit Sadendra, mencium keningku, kemudian beralih ke anak semata wayang kami. "Semangat sekolahnya, jangan nakal ke Mama dan temen-temen, oke?"
Eleena mengangguk patuh. "Hati-hati, Papa!"
Papanya sudah berangkat. Sekarang giliranku mengantar anak kami sekolah. "Pake sabuk pengamannya dulu ...." seruku riang sambil membantunya. "Eleena pagi ini suasana hatinya kayak mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Picture Perfect
RomanceDalam pernikahan, kita pasti punya bayangan atau impian rumah tangga yang dijalani. Impian itu seringkali bentuk dari refleksi apa yang kita lihat selama ini. Milik Kaia, adalah kesempurnaan dalam pernikahan. Potret keluarga bahagia yang dia lihat...