BAB 1

3.8K 504 20
                                    

Written by: Dadodados

Tidak semua hal akan berakhir bahagia. Entah itu mimpi-mimpi yang harus padam sebelum dapat digapai, atau hubungan yang ternyata tidak memiliki akhir bahagia. Atau keduanya secara bersamaan dan mengacaukan hidupmu bak tornado. Kau terjebak di tengah kekacauan itu dan tidak dapat melakukan apa-apa sampai duniamu luluh lantak.

Namun, hal itu tidak bagiku. Beberapa mimpiku mungkin memang padam, tapi mimpi lain muncul dan menggantikannya. Mimpi dalam bentuk bocah yang baru memasuki SD di tahun ini dan juga pria yang delapan tahun lalu aku nikahi. Orang-orang bilang sesuatu yang mati akan digantikan dengan yang baru dan lebih baik. Aku rasa itu benar. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku nantinya jika tidak ada mereka berdua. Atau aku kehilangan salah satu dari mereka. Pikiran itu saja sudah membuatku bergidik ngeri.

"Pagi, Sayang." Suamiku memasuki dapur dan mendaratkan kecupan di bibir.

"Selamat pagi Bapak Sadendra Putra," godaku karena tahu kalau dia tidak suka dipanggil nama panjangnya. Katanya seperti sedang dalam masalah, tapi melihatnya manyun adalah kegiatan favoritku.

"Kaia, berapa kali aku mesti bilang kalau aku lebih suka dipanggil mas?" Sadendra menggigit pipiku dengan bibir dan aku terkikik. "Nasi goreng kampung," ucap suamiku girang dan melupakan kekesalannya. Ini adalah menu favoritnya untuk sarapan.

"Nasi goreng lagi?" tanya suara dari belakang kami. Nadanya sangat kontras dengan Sadendra.

Kami berdua menoleh. Seragam putih merah sudah melekat ditubuh Eleena, anak kami, hanya rambut panjangnya yang masih tergerai karena biasanya aku yang mengikat atau mengepangnya. Wajahnya seperti malaikat, hingga bocah itu nantinya memutuskan untuk melempar lingkaran halo di atas kepala dan menggantikannya dengan dua buah tanduk berwarna merah yang menempel di rambut. She is a bundle of joy and a bundle of madness at the same time.

Aku memindahkan nasi ke atas tiga piring dan memberi tambahan telur dadar dan potongan timun yang sudah kusiapkan sebelumnya. Sadendra tanpa disuruh sudah membawa dua piring ke meja makan dan aku membawa sisanya serta satu botol jus.

"Aku mau makan roti aja, Ma." Eleena mencibirkan bibirnya. Dia tampak tidak bernafsu sama sekali dengan nasi goreng yang masih mengebul di atas dinner plate-nya.

"Ini buat bekal sekolah aja gimana? Mama bikinin roti tawar untuk sarapan, tapi harus habis." Setelah menjadi ibu, aku paham betul seni tawar-menawar sangat dibutuhkan jika ingin anakmu melakukan hal yang kau mau. Membiarkannya memiliki pilihan yang dimau, sekaligus membatasinya. Soft approach adalah kuncinya, meskipun tidak selalu berhasil. Ayolah, anak mana yang bisa diakali dengan hal yang sama lebih dari tiga kali? Mereka akan menangkap polamu dan mencari cara untuk mematahkannya.

Satu anggukkan kepala dari Eleena membuat meja makan di pagi hari ini menjadi gambaran bagaimana keluarga harmonis di televisi. Penuh dengan pembicaraan hangat yang bikin perasaanku sangat baik dan godaan yang ditimpali dengan rengutan dan pihak lainnya yang tertawa atau menegur karena mendapat pelototan dari si korban.

"Aku berangkat dulu." Sadendra memperbaiki letak dasi satin berwarna biru tua yang dipadupadankan dengan kemeja biru langit serta pantalon berwarna yang sama dengan dasi. Tubuhnya sedikit berbeda dengan dulu, perut Sadendra sedikit menonjol, tetapi wajah tampan dengan mata tegas dan tulang hidung tinggi tidak pernah berubah. Well, mungkin ditambah dengan sedikit garis-garis kerutan yang muncul di dekat mata ketika pria itu tersenyum.

"Hati-hati di jalan," kataku lalu memberikan ciuman di pipi sebelum Sadendra mendaratkan kecupan lama di kepala Eleena yang membuat bocah itu jengkel.

Eleena membawa piring kotor miliknya dan juga Sadendra ke dishwasher setelah membersihkannya sedikit. "Eleena, makannya cepat. Kamu nanti telat," teriakku lalu mendengar langkah kaki kecil yang berderap cepat dan berhenti di belakang.

Almost Picture PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang