writing by Da
Apa yang Indira katakan ketika kami berbincang kemarin tidak berhenti menghantuiku. Perasaan yang mengganjal di dada tidak dapat dihilangkan ataupun aku bicarakan pada Sadendra tanpa risiko terdengar konyol atau suamiku itu mengibaskan tangan setelah mendengarnya. Atau yang paling buruk, berujung pada berantem dan aku tidak mau tidak bisa ikut ke reuni ini.
Sumpah, aku tidak mau lagi berbicara pada Indira mengenai hubungan kami kalau ujung-ujungnya aku menjadi parno sendiri dan tidak bisa mempercayai suamiku.
"Kamu sudah siap?" Sadendra kembali memasuki kamar. Polo shirt hitam serta jeans berwarna senada sudah melekat di tubuhnya. Rambutnya disisir rapi ke belakang dan ada yang lebih menarik perhatianku. Suamiku itu jauh lebih wangi dari biasanya.
"Kamu nyemprotin berapa liter parfum ke tubuh?" tanyaku heran.
Sadendra mengangkat tangan, menciumi pergelangan tangan tempat biasa ia menyemprotkan parfum sebelum digosokkan ke belakang telinga. "Kayak biasa, kok. Ayo, Eleena nungguin di luar." Sadendra lalu memerhatikan penampilanku. "Kamu pakai itu?"
Aku membalikkan badan, melihat bayanganku di cermin. Sack dress berwarna hitam polos sepanjang lutut dengan flatshoes agar mudah mengejar Eleena. Perhiasan yang aku kenakan hanya giwang dan cincin pernikahan sedangkan untuk rambut aku kucir ekor kuda. Tidak ingin ribet sendiri harus memegangi rambut ketika makan dan mengurangi nikmat rasanya.
"Iya, ada yang salah? Aku lama nggak pakai ini karena jarang keluar rumah." Aku melarikan telapak tangan ke sack dress. Sekali lagi memastikan kalau tidak ada yang bolong atau apa pun karena aku memang sudah tidak ingat lagi kapan terakhir memakainya.
Kepala Sadendra miring ke kanan sedikit lalu berdecak pelan. "Ya sudahlah. Kita nggak punya waktu lagi buat kamu ganti baju. Aku dan Eleena tunggu di depan, ya."
***
Kami tiba di restoran yang menjadi tempat reuni. Restoran yang berada di tengah kota tetapi begitu masuk, kesan yang didapatnya dari tempat ini sangat berbeda. Tempat makan ini terbagi menjadi dua; indoor dan outdoor. Di bagian dalam, kayu dan warna-warna cokelat dan hijau berada di mana-mana sehingga menguarkan vibes homey yang kental. Sedangkan di bagian luar, ada meja-meja makan serta pohon dan tanaman menjalar yang memberikan warna. Selain itu juga ada kolam yang dikelilingi meja-meja yang berbentuk sangkar.
Tidak ada yang temaram atau mirip seperti warung remang-remang di sini. Peletakan penerangan berwarna kuning yang hangat membuat seluruh sisi dan sudut dapat dilihat dengan jelas.
Kesan pertama yang aku tangkap setelah melihat sekeliling adalah tempat ini tempat makan keluarga. Mungkin karena acara reuni ini melibatkan keluarga sehingga restoran ini dipilih. Kecuali di bagian luar, kolam renangnya tidak memiliki pagar pembatas. Anak-anak kecil riskan untuk jatuh ke sana. Terutama untuk anak yang tidak dapat melihat air dan tidak menceburkan diri ke sana. Ini maksudnya adalah Eleena.
Mata bulat Eleena sudah seperti bola ping pong yang berbinar ketika melihat kolam yang diberikan lampu sorot itu. Mataku tidak dapat berada di satu titik untuk terlalu lama karena Eleena sudah bukan anak kecil yang dipegang tangannya lagi, dan bocah itu kini berjongkok di samping. Satu tangan berada di air, memercikkannya ke mana-mana.
Sadendra terus menerus berhenti setiap mereka melangkah. Menyapa orang lain yang tidak kukenal. Berbincang-bincang selama beberapa saat lalu kembali jalan dan lagi-lagi berhenti. Aku tidak terlalu suka berada di keramaian, bertemu dengan orang-orang yang tidak kukenal, dan menyampirkan senyum tidak henti sambil menikmati basa-basi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Picture Perfect
RomansaDalam pernikahan, kita pasti punya bayangan atau impian rumah tangga yang dijalani. Impian itu seringkali bentuk dari refleksi apa yang kita lihat selama ini. Milik Kaia, adalah kesempurnaan dalam pernikahan. Potret keluarga bahagia yang dia lihat...