Terlebih dari banyaknya kebetulan dan asumsiku soal reunian Sadendra dengan teman-temannya, kurasa semuanya masih baik-baik saja.
Sudah seharusnya memang baik-baik saja.
Apa maksudmu, Kaia?
Aku menertawakan diriku sendiri karena sempat memikirkan hal yang tidak-tidak. Semua karena omongan Indira yang sedikit-banyak mempengaruhiku. Memberi setitik rasa takut dan pernyataan 'gimana kalau ...'.
Sekarang, dengan yakin, aku akan mengatakan bahwa ketakutan Indira adalah konyol.
Tidak ada kejadian aneh yang membuatku sampai harus membenarkan kalimatnya.
Sadendra masih sama.
Dia tetap menjadi suami yang baik dan manis.
Menjadi ayah yang dibanggakan oleh anak gadis kami.
Sisanya, ya dia seperti manusia normal lainnya yang kadang kala juga menyebalkan.
Aku baru pulang ke rumah setelah menjemput Eleena dari sekolah.
Sembari menunggunya selesai mengganti pakaian, aku di dapur menyiapkan snack untuknya. Ada muffin kesukaannya, kutambah dengan buah-buahan segar. Kami sudah membuat perjanjian, kalau dia boleh memakan apa yang dia inginkan artinya dia juga harus mau menerima makanan yang kurekomendasikan.
Sebagai anak yang cerdas, aku tahu dia jelas paham bagaimana sebuah perjanjian dijalankan. Kami tidak boleh saling merugikan.
Gadis kecilku berjalan mendekat dengan pakaian rumahan.
Ya, siapa yang akan menyangka, bayi yang dulunya sekecil itu sekarang sudah bisa meminta untuk mengurus beberapa keperluannya sendiri. Eleena, merasa dia sudah tumbuh menjadi big girl sehingga mampu untuk menjaga dirinya dengan baik.
Beberapa diantaranya adalah: mandi (kadang-kadang aku masih mengambil alih), memilih jenis pakaian untuk di rumah atau main, memilih buku bacaan, request menu makan, dan playlist saat di perjalanan menuju sekolahnya.
Anakku benar-benar sudah besar.
Terkadang, hal itu membuatku sedih entah untuk alasan apa.
Semacam ... ketidakrelaan karena dia harus cepat sekali besar, di sisi lain aku bangga dan terharu menyaksikan pertumbuhannya yang sangat baik. Aku tidak tahu bagaimana ke depannya, tetapi jujur saja, aku dan Sadendra belum pernah membicarakan tentang anak kedua dengan sungguh-sungguh.
Kami seolah-olah sudah merasa sangat cukup dengan kehadiran Eleena dan terlalu fokus akan perkembangannya.
"Mama, mana muffin aku?" Ia menengadahkan kedua tangannya, menatap berbinar.
Aku memintanya untuk duduk di kursi sebelahku. Begitu melihatnya langsung menurut, aku memberikan apa yang dia mau. Salah satu momen lumayan baik untuk bernegosiasi dengannya adalah saat ia tengah menikmati makanannya.
Jadi, aku mulai dengan salah satu tujuanku hari ini. "Abis ini, minum air putih, terus bobok siang, okay?"
Ia tak menjawab, masih fokus dengan makanan yang di pegang.
Aku bilang momen yang lumayan baik, okay? Bukan berarti terbaik. So, harapannya memang tidak seratus persen.
Tak masalah, aku masih punya banyak tenaga untuk melakukannya lagi. "Eleena, kamu dengar Mama ngomong?"
"Iya iya," katanya dengan anggukan ceria, tetapi wajahnya tak diarahkan ke aku sama sekali.
"Terus jawabannya?"
Kali ini, barulah dia menatapku. "Mama, kali ini enggak, please?" ucapnya dengan intonasi dan ekspresi penuh permohonan.
Aku tidak akan terkecoh kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost Picture Perfect
RomanceDalam pernikahan, kita pasti punya bayangan atau impian rumah tangga yang dijalani. Impian itu seringkali bentuk dari refleksi apa yang kita lihat selama ini. Milik Kaia, adalah kesempurnaan dalam pernikahan. Potret keluarga bahagia yang dia lihat...