Bab 1.2: Dad's Worries

18 13 18
                                    

Sudah beberapa saat terlewati sejak matahari terbenam di desa Corinne. Anak-anak yang bermain dari petang hingga kini sudah pulang ke rumah mereka masing-masing bersama dengan orang tua mereka yang juga telah selesai bekerja.

Begitu juga dengan kegiatan Clare hari ini.

Setelah selesai mengayunkan pedangnya berkali-kali, Clare pun terbaring di atas rerumputan lembut dengan posisi tubuh yang meregang ke luar.

Nafasnya luar biasa berat. Tubuh serta pakaiannya basah kuyup akibat keringat latihannya. Rasa nyeri yang berbeda daripada saat latihan sebelumnya kembali muncul, membawa rasa nostalgia dari saat dia pertama kali berlatih berpedang.

Sementara dia biarkan tubuhnya beristirahat sejenak, dia memfokuskan pandangannya ke langit malam.

"...."

Tak ada kata-kata yang bisa dia ucapkan untuk mengungkapkan perasaannya saat ini. Meskipun begitu, terpesona dapat dilihat pada wajahnya yang tersenyum kecil.

Pada kanvas ungu gelap, bintang-bintang berhamburan, menghiasi dua bulan yang berbeda warna satu sama lain, merah dan biru, seolah-olah memperindah kedua objek utama dalam sebuah lukisan.

Akan tetapi, di lubuk hatinya, Clare tidak bisa menghilangkan rasa cemasnya terhadap tes penerimaan ksatria yang akan diadakan sebentar lagi. Karena tes tersebut adalah tes ksatria, maka kemampuan yang paling dinilai bukanlah kecakapan sihir, tapi kecakapan dalam berpedang serta daya tahan.

Mengetahui hal itu, Clare terus berpikir kalau dirinya masih kurang dibandingkan dengan kedua temannya. Dia ingat kalau Arthur mengatakan sesuatu tentang William yang sudah bisa menggunakan aura. Di antara trio mereka hanya Clare yang belum bisa mengaktifkan aura.

"Kerja bagus, Clare!" ucapan selamat keluar dari mulut William. Wajahnya muncul tepat di tengah-tengah pemandangan langit malam. "Nih minum," tuturnya sambil meletakkan cangkir kayu yang penuh berisikan dengan air.

Jujur saja, Clare jarang mendengar William mengatakan sesuatu yang baik kepada orang lain apa lagi melakukan kebaikan seperti ini sehingga dia merasa bahwa ada yang aneh dengan William.

Clare pun menoleh ke samping, melihat William yang mengambil duduk tepat di sampingnya.

"Tumben baik? Lagi sakit? Bukannya tadi pagi kau ingin menghajarku sampai babak belur?"

"Gundulmu sakit! Lagi pula Itu kan cuma tadi pagi!" William berusaha membela diri. "A-aku hanya frustasi karena tidak bisa mengalahkan Arthur setelah dia dengan sengaja menahan dirinya untuk menggunakan satu tangan melawanku," terusnya menjelaskan. Kepala dia angkat untuk melihat ke atas, sepertinya dia mencoba untuk menyapu emosinya yang masih melekat di hati dengan keindahan malam.

'Yah, bahkan aku pun tidak akan bisa mengalahkan Arthur kalaupun dia hanya menggunakan kakinya untuk bertarung....

-Aku iri dengan bakatnya.' Clare tersenyum pahit.

"Ngomong-ngomong, mana Arthur?" tanya Clare dengan penasaran. "Biasanya dia akan memberikan kabar kalau dia tidak bisa berkumpul atau pulang lebih dulu dari kita."

"Ah ... katanya ada hal yang ingin dia cari. Saat kutanya apa? Dia cuma menyuruhku untuk menemanimu setelah kamu selesai latihan," William menjawab.

"Oh, begitu." Meskipun disembunyikan, nada suara Clare terdengar sedikit kecewa.

Clare pun bangkit dan kemudian duduk dari posisi tidurnya. Dia meraih cangkir yang berdiri tegak di atas rumput kemudian meneguk habis air yang ada di dalam gelas tersebut. "Terima kasih atas minumnya." dia menyerahkan kembali cangkir tersebut kepada William.

Seven Destiny: Rise of HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang