BAB 2: DEPATURE I

16 4 4
                                    

WARNING!!!

Baca secara perlahan dan jangan terburu-buru kayak sedang dikejar setan.
*
*
*
*
*
*
*
------------

Pagi-pagi buta Clare sudah mengemas pakaian yang diperlukan serta botol minum ke dalam sebuah kantung kulit bertali, -yang juga bisa disebut sebagai tas. Tas itu kemudian dia sandang pada bahu kanannya.

Setelah itu, Clare bergegas menuju ke satu-satunya kandang kuda yang ada di desa. Tak begitu jauh dari rumahnya, hanya beberapa puluh meter saja. Tentu saja, sebelum ke sana dia menghabiskan sarapan yang telah disiapkan oleh papanya terlebih dahulu. Jika tidak, maka kemungkinan besar ketika beberapa saat perjalanannya ke kota baru dimulai, dia akan kelaparan sehingga akan mengganggu perjalanan.

Clare benar-benar menikmati sarapannya. Seporsi daging panggang yang diberi bumbu serta segelas air yang menyegarkan tenggorokan. Sungguh sarapan yang mengenyangkan perut.

Hati Clare bersemangat, membuatnya mempercepat langkah kakinya, dari yang semula berjalan cepat menjadi berlari kecil. Faktanya, Clare tidak sabar berangkat untuk mengikuti tes penerimaan ksatria.

Papanya, yang mengikuti di belakang, melihat tingkah Clare yang seperti anak kecil.

"-Hati-hati! Nanti kamu terjatuh."

Sang papa mengingatkan anaknya.

Terus mengikuti jejak langkah Clare, sang papa pun tiba di depan kandang kuda. Walaupun sudah dapat diduga, dia berjumpa dengan tiga orang yang hampir seumuran dengannya. Kedua orang tua William, Annie dan Herliam, keluarga Hanson; lalu ada juga ayah Arthur, Meilin Lawford. Ketiga orang ini adalah temannya sejak kecil, layaknya Clare, William, dan Arthur.

"Arthur! Will!" Sambil bersahut, Clare berlari ke kedua temannya yang sedang merapikan barang bawaan mereka ke atas gerobak kayu.

"Clare!"
"Clare!"

Keduanya membalas serentak.

Mereka mungkin juga tidak sabar untuk segera berangkat. Meskipun begitu, ketegangan ataupun kesenangan tak terlihat di wajah mereka. Ekspresi mereka terlihat seperti biasa dengan wajah mereka yang tampan.

Clare bisa berkata dengan yakin bahwa Arthur dan William sama seperti dirinya, namun setelah melihat kedua wajah temannya itu dia jadi bingung.

"Ada apa ini? Wajah kalian terlihat biasa saja, apa kalian ga senang atau merasa deg-degan gitu?"

William yang mendengar pertanyaan itu menunjukkan reaksi, "-Hmph." dengan sudut mulutnya yang dinaikkan, seakan-akan memandang rendah Clare. Tentu saja Clare merasa terganggu dengan sikap William.

Arthur dengan cepat menjawab pertanyaan Clare sebelum perkelahian antara Clare dengan William terjadi. "Ini ide William. Katanya, kita harus menjaga ekspresi kita seperti biasa sebagai sebuah latihan karena hal itu bagus untuk membuat musuh kesulitan dalam membaca gerakan kita...." jelas Arthur.

"-Karena menurutku itu adalah ide bagus, maka kami melakukan hal ini sejak tadi, sebelum kamu datang." sambungnya.

"Paling tidak kalian bisa mengatakannya terlebih dahulu sebelum menyapaku. Kini aku merasa konyol di depan William."

"Sudah, sudah. Siapa juga yang bilang kamu konyol? Oke, ayo cepat masukkan barangmu ke dalam kereta. Cuma punyamu saja yang belum," ucap William dari atas kereta sambil berusaha menahan senyuman tawa.

Clare merasa semakin terganggu. Dia kesal dan tangannya ingin sekali menonjok muka yang mengganggunya itu. Akan tetapi, Clare berpikir bahwa permasalahan ini akan terus berlanjut sebelum salah satu dari kedua pihak menyerah.

'Huuft.... Tenangkan dirimu, Clare Terraguard. Sebagai pemilik kepribadian yang lebih dewasa, kamu akan membiarkannya bersenang-senang dengan tingkah kekanak-kanakanya sendiri,' pungkas batin Clare.

Clare pun dengan cepat meletakkan tasnya kemudian memanjat ke atas kereta dan mengambil tempat duduk tepat di tepi kanan bagian depan. Dia menghentakkan punggungnya ketika bersandar, mencoba mengetes apakah kereta tua ini sanggup menahan tekanan atau tidak.

Meskipun kayu yang menyusun kereta ini terlihat kusam dan lapuk, namun siapapun pengrajin yang membuat kereta ini sangatlah luar biasa sebab tak ada tanda-tanda bahwa kereta tua ini akan roboh ketika dimuati oleh muatan berat.

"Hei! Clare, jangan merusak kereta ini dengan sengaja," tegur William. "Apa kamu ingin kita melewati jadwal tes gara-gara harus bikin kereta baru?"

Clare melirik tajam muka William. Dia tidak ada maksud buruk. Meskipun dia tidak ingin mengakuinya, tapi alasan yang dikatakan William padanya dapat diterima. "-Terserah aku lah, humph!" Clare menyilangkan tangannya di depan dada. "Kalau kau takut keretanya roboh, ga usah naik kereta dengan kami. Jalan kaki aja sono."

"Ap-"

"Sudah lah kalian. Setiap hari selalu aja bertengkar. Coba sekali saja kalian tenang, ga malu apa sama orang tua kalian?" ucap Arthur. "Duduk dengan tenang dan tolong jangan merepotkan pikiran papa Clare gegara tingkah laku kalian, oke?"

Sementara Clare dan kawan-kawan sedang disibukkan dengan posisi duduk serta letak barang mereka, para orang tua telah selesai mengaitkan kereta kayu tanpa atap ke kuda.

"Yosh! Dengan ini kau tak perlu khawatir kalau keretanya akan lepas dari kuda," jelas Herliam pada papa Clare.

"Terima kasih, Liam. Aku ga tau banyak hal kalau di luar hal berburu."

"Tapi kau masih bisa merawat anakmu, kan?" Herliam tertawa sambil menepuk punggung papa Clare. "Tentu saja harus begitu. Ayah macam apa yang tidak bisa merawat anaknya dengan becus!"

"Hahaha.... Ya.... Begitulah." Sebagai respon, tawa canggung dikeluarkan oleh papa Clare.

"Evan, di perjalanan nanti tolong hati-hati, ya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Dengar-dengar kabar, penyebab pedagang yang biasanya selalu ke desa tak lagi muncul karena dia diserang monster liar dari hutan," peringat Annie pada papa Clare dengan ekspresi khawatir.

"Jangan khawatir! Apa kamu lupa siapa aku? Tentu saja aku akan mengantarkan Clare dan anak kalian selamat sampai tujuan. Kalau ada monster, biar pedangku yang mengusirnya!"

"Apa kau yakin bukan anak-anak kita yang bakal mengusir monsternya?" nada suara Herliam bercanda.

"Haha.... Yah.... Bisa jadi." Evan surut. Dia mengusap kepala belakangnya.

"Pa! Kapan kita akan berangkat?" seru Clare. Mungkin karena pembicaraan para orang tua terlalu lama atau karena Arthur baru selesai berpamitan dengan ayahnya. Atau bisa jadi sebab Clare semakin tidak sabaran.

"Ya, nak! Ini kita mau berangkat lagi." Evan menyelesaikan obrolan lalu bergegas menunggangi kuda abu-abu.

"Tidak ada barang yang ketinggalan, kan?" tanya Evan pada anak-anak.

"Tidak."
"Tidak ada."
"Tidak."

Ketiga remaja di kereta, belakang kuda, menjawab serentak.

Setelah mendengar konfirmasi itu, Evan menarik tali pengekang kuda dan membuat kuda yang ditungganginya berjalan. Awalnya sedikit bergoyang, tapi setelah beberapa saat gerakan kuda maupun kereta pun menjadi stabil.

Perjalanan dimulai.

Angin berhembus pelan, membawa aroma hutan yang dilewati kepada para pengelana yang telah meninggalkan desa mereka.

Tapak kuda serta roda dari sebuah kereta kayu membekas pada jalan setapak yang akan menuntun mereka menuju jalan utama. Ketika dinding tinggi terlihat, saat itu lah mereka akan sampai di tujuan.

-Tapi itu untuk cerita yang akan datang.

Clare, William, dan Arthur melambaikan tangan mereka sebagai ucapan, "sampai jumpa lagi", pada orang-orang di desa sekaligus desa itu sendiri. Ketiganya terus melihat ke belakang sampai seluruh desa hilang di ujung jalan.

------------

Part 2 akan dirilis dua hari lagi~~~

Salam author, muach! :*

Seven Destiny: Rise of HeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang