Dengkuran keras yang berasal dari kucing membuat Elora membuka matanya perlahan, dia tersenyum begitu melihat Lizi mengendus-ngendus wajahnya serta menjilati ujung hidungnya membuat Elora tertawa kecil.
Didekapnya kucing berbulu tebal itu kemudian diremas-remasnya pelan wajah kucing betina itu, Lizi terlalu menggemaskan. Lizi sudah sangat terbiasa dengan Elora setiap kali merasa gemas dengannya.
"Selamat pagi, Lizi," ujar Elora, menciumi seluruh wajah Lizi.
"Ngiawww," sahut Lizi susah payah karena Elora masih menciumi wajahnya.
Seperti pagi-pagi biasanya, Elora bangkit dari kasur dan membersihkan kasurnya kemudian turun ke bawah untuk memanaskan air. Selagi menunggu air panas, dia membuka semua jendela supaya udara segar masuk lalu keluar rumah dan pergi ke sebuah sumur yang berada di samping kanan rumahnya.
Dia melirik Lizi yang duduk di sebuah kursi yang berada di depan rumah sambil menimba air untuk dia mencuci muka dan gosok gigi, serta menyiapkan air untuk dia mandi setelah sarapan nanti.
Kicauan burung membuat suasana hatinya selalu membaik, begitupula dengan suara gesekan dedaunan yang begitu tenang baginya, tidak lupa dengan suara samar-samar air terjun. Ahh, Elora jatuh cinta dengan hutan ini.
Selesai cuci muka dan gosok gigi, dia kembali masuk ke dalam. Membuat teh chamomile untuknya dan mengeluarkan beberapa roti yang baru dibuatnya dua hari yang lalu.
Elora meminum tehnya dengan hati-hati sebelum tersedak melihat Jeno datang beserta kudanya. Dia menatap tidak percaya pada pria yang kini tengah melambaikan tangan padanya dari luar.
Gadis itu membuka pintu, menatap kesal pada Jeno yang terlihat sangat tampan dengan senyuman yang membuat mata pria itu menyipit.
"Sesuai perkataanku semalam, aku kembali lagi," ucap Jeno.
"Kau datang sepagi ini? Sebaiknya kau jangan datang lagi," ujar Elora.
Jeno mengangkat sebelah alisnya, "Mengapa?"
Elora mendengus kesal, "Karena kita orang asing, jangan datang kesini lagi," jawabnya dan pergi begitu saja, ingin melanjutkan sesi sarapannya yang tertunda.
Senyum di wajah tampan itu lenyap begitu mendengar jawaban Elora, mengapa susah sekali gadis itu menerima dirinya?
"Kita bukan orang asing, Elora. Harus berapa kali kukatakan, kita bukan orang asing. Kita sudah kenalan kemarin dan tidak ada alasan kau menyebut kita orang asing," ujar Jeno dengan emosi yang berhasil dia redam, tanpa dipersilahkan dia masuk dan duduk di hadapan Elora.
"Kau sudah sarapan?" tanya gadis itu mengalihkan topik.
Jeno menggeleng. Dia diam-diam datang kesini pagi-pagi sekali jadi dia tidak sempat sarapan.
"Sebentar kubuatkan teh," ujar gadis itu dan beranjak ke dapur.
Beberapa menit kemudian teh hangat terhidang di hadapannya membuat Jeno tersenyum begitu aroma teh yang menenangkan masuk ke indra penciumannya.
Selang beberapa menit mereka sama-sama diam, menikmati sarapan masing-masing. Elora diam-diam merutuki perilakunya yang malah menawarkan Jeno sarapan, bukannya mengusir pria asing itu. Baik, tampaknya sekarang mereka bukan orang asing lagi seperti yang Jeno katakan.
"Umurmu berapa?" tanya Jeno.
"21 tahun, kau sendiri?" Elora balik bertanya.
"22 tahun," jawab Jeno.
Selanjutnya kembali hening, mereka kembali larut dalam pikiran masing-masing. Elora yang bingung mengapa sikapnya bisa seterbuka ini pada Jeno dan Jeno yang menyadari bahwa dia menyukai Elora.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVENGE | Jeno 🔞
FanfictionOn going... Elora tidak seharusnya menerima kedatangan Jeno begitu saja. Itu semua mengantarkannya kepada kondisi yang begitu menyulitkan, hingga dia sendiri bingung bagaimana cara menyelesaikannya. Hubungan kita berakhir, aku membencimu - Elora Bíf...