***
Dua tahun lalu resmi aku dipersuntingmu. Oleh mu, ya, oleh mu yang aku sebut kini suami ku.
Masih kuingat jelas dengan lantang dan yakin kamu mengucapkan ijab kabul di hadapan Ayahku. Sampai sekarang setiap melihat wajahmu aku masih tidak percaya, apa benar kamu itu sudah menjadi suamiku? Terkadang disaat matamu terpicing lelap dalam tidur, aku malah terbangun dan memandangimu berkali-kali. Benar, benar kamu sudah menjadi suamiku.
"Hayo, kenapa liatin mas tidur?" tegur Mas Fathan yang ternyata sedang pura-pura tidur itu.
"Ih kenapa mas belum tidur sih, "
Aku menutup wajahku malu dengan selimut. Meskipun sudah dua tahun bersama rasanya masih malu saja terpergok melihat wajah suami sendiri. Memang sedari dulu hanya dia lah yang berhasil membuat pipiku bersemu merah hanya karena melihatnya dari jauh. Konon lagi bila sedekat ini?
"Kamu suka liatin mas diem-diem ya?"
"... "
Akhirnya aku mengintip dari balik selimut hangat ini. Aku menganggukkan kepala tandanya mengiyakan pertanyaan Mas Fathan tadi. Kemudian selimut yang menutupi diriku ini tersingkap dan memperlihatkan aku yang bersembunyi di dalamnya. Aku dihadiahi kecupan manis di dahi oleh Mas Fathan.
"Makasih ya mas..." sebut ku untuk yang kesekian kalinya hari ini.
Ya, aku gemar mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah dilakukan padaku. Entah kenapa aku ingin membiasakan itu padanya.
"Iya sayang, udah yuk tidur lagi ya... "
Kembali aku dibawanya ke dalam peluknya. Tangannya tidak lupa juga ikut mengelus kepalaku. Bersyukurnya aku dikirimkan suami yang sangat penyayang sepertinya. Entah kata apa lagi yang bisa kugambarkan untuk mas Fathan.
"Mas sayang sama Erin kan?" tanyaku dengan tetap memejamkan mata.
"Sayang sekali. "
Kurasakan Mas Fathan sedikit bergerak mencari posisi nyamannya. Lalu kurasakan kecupan lagi di kepala sebelum diakhiri dengan dengkuran nya tanda dia sudah terlelap.
Sejauh ini kami tidak pernah bertengkar sekali pun. Kami lantas baik-baik saja. Terkadang ada kerikil kecil yang membuat kami tersandung namun bisa kami selesaikan dengan kepala dingin.
Hanya saja sering kali aku bertengkar dengan pikiran dan hatiku sendiri. Sampai saat ini rasanya belum cukup menjadi istri yang baik dan bisa membahagiakan suaminya.
"Semoga Erin tidak mengecewakan mas ya. Juga, tidak mengecewakan Ibu serta Bapak."
Kata-kata itu sering kali aku ucapkan terkadang ketika melihat suamiku terlelap tidur. Sesekali juga aku ucapkan ketika kami sedang bersama. Terkadang aku takut sekali dia tinggalkan. Apalagi sebelumnya aku lah yang pertama menyukainya.
Sekitar 3 tahun lalu aku berani menyatakan rasa suka pada Mas Fathan setelah sekian lama kami hanya berteman layaknya senior dan junior kampus. Mungkin Allah mendengar doa-doaku yang sering kali menyebutnya agar peka akan perasaanku. Ternyata Allah begitu baik perasaanku pun berbalas juga.
Hingga disini lah aku berada. Menjadi istri sahnya.
***
Sebagai perantau, suami dan mertua adalah sanak family yang aku punya. Tidak banyak yang aku kenal disini. Hanya beberapa teman satu kerjaan dan tidak lebih. Awal mulanya aku memutuskan kesini dikarenakan aku tahu awalnya Mas Fathan adalah pemuda asli kota Jogja yang tempo lalu mendapat tawaran beasiswa di kotaku.
Dikarenakan jarak rumah kami dan mertua yang tidak terlalu jauh memungkinan kami untuk bisa berkunjung kapan saja. Terkadang jika Ibu mertuaku memasak tidak segan-segan mengantar makanan ke rumah dikarenakan Ibu mertuaku itu tau bahwasanya anaknya dan aku setiap harinya sibuk.
Sekali lagi aku mengucapkan syukur untuk itu.
"Bude mau minum apa? Teh atau mau sirup aja?" tanyaku sembari meletakan sepiring gorengan pisang yang tadi aku dan mas Fathan bawa.
Tidak lama kami sampai di rumah mertua ternyata Bude datang dengan anaknya yang kecil sudah beranjak remaja itu. Kebetulan rumah bude yang tidak terlalu jauh pula dari sini yang mereka singgahi dua minggu sekali.
"Ndak usah Erin, ini air putih saja sudah cukup. Fathan dimana? kok ndak keliatan?"
"Ikut dengan Ayahnya melihat mesinnya kok ndak mau menyala lagi," sambung Ibu mertuaku itu. Aku pun ikut mengiyakan saja.
Seperti biasa kami berbincang-bincang membicarakan apa yang terjadi belakangan ini. Kebanyakan aku hanya ikut tersenyum dan tertawa saja sesekali menyeletuk.
"Gimana Erin? Sudah ada tanda-tanda belum?" tanya Bude kali ini.
"Hm... belum rezeki lagi Bude,"
"Jangan ditunda-tunda terus ya Erin, mertuamu ini pasti ingin sekali punya cucu segera. Dari ibu-ibu disini yang belum punya cucu hanya mertuamu ini rin..."
Ini adalah perkataan yang rasanya ingin aku hindari saja. Kebanyakan yang mengenalku pasti mengatakan hal yang sama. Rasanya menulusuk masuk ke dalam sukma tiba-tiba.
"Semoga rezekinya disegerakan ya kan bude, Erin dan Mas Fathan juga sedang menunggu kabar baiknya" ucapku membalas perkataan bude lagi.
"Nanti kalau cucunya Ibu sudah ada tinggalnya disini saja, supaya bisa Ibu jagain selagi kalian bekerja, ya ndak Lis?" sambung mertuaku itu.
"Iya benar, lagipula supaya ada teman mertuamu ini Rin. Selama ini di rumah hanya berdua dengan Ayahnya Fathan."
Tanganku saling bertaut berusaha menahan sakit yang kurasakan. Aku tidak pernah siap bila membahas ini. Jika ditanya aku ingin meminta apa, aku ingin meminta diberi keturunan segera. Aku ingin membahagiakan semua orang, terutama suamiku sendiri. Tentu mereka menantikan kehamilanku. Hanya saja mereka tidak pernah mengatakan apapun.
Semoga ya semoga rezeki dari Allah itu segera datang. Ya Allah, mohon berikan lah hamba kesempatan untuk menjaga titipanmu itu. Sesungguhnya hamba sangat menantikannya.
"Bantu doa ya bude, semoga tahun ini rezekinya Erin dan Mas Fathan."
Perihal inilah awal dari semuanya. Semua kecemasan dan kesedihanku yang tidak bisa aku bendung.
Maaf Aku Tak Sempurna...
***
Hi, Salam kenal semuanya. Terima kasih bagi yang sudah membaca bagian pertama ini. Semoga ada yang suka ya. Setelah sekian lama aku tidak menulis kini mau coba menulis lagi. Mohon bantuan dan dukungannya ya supaya aku semangat untuk menulis lagi.
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Aku Tak Sempurna
RomanceMaafkan aku dengan segala kurangku yang membuatmu harus mencintaiku apa adanya. Apa kamu masih akan tetap mencintaiku bila aku tidak bisa membuatmu bahagia? Copyright ©2022 by Desi Alfaraby, All Rights Reserved.