PROLOG

40 9 31
                                    

Sore ini, cuaca mulai mendung. Angin juga terasa kencang dan semakin ingin cepat pulang ke rumah. Padahal hari ini adalah waktuku untuk praktek-persiapan ujian esok hari.

Namun, rasanya aku malas. Entah mengapa tak ada rasa semangat dalam hidupku. Terlebih dengan masalah yang selalu saja kuhadapi-khususnya masalahan percintaanku.

Hari ini kuputuskan untuk absen dari praktek itu. Dan memilih coffee shop yang biasa menjadi langgananku di dekat jalan Braga-tempat favoritku akhir-akhir ini.

Sebenarnya aku sangat anti minum kopi, karena memiliki asam lambung. Tapi, sejak beberapa bulan yang lalu saat bertemu dengannya, aku jadi semakin sering datang ke tempat itu untuk sekedar minum dan mengerjakan tugas.

Terdengar bunyi nyaring dari lonceng kecil yang menggantung di atas, membuatnya menoleh-saat kudorong pintu kacanya.

Aku tersenyum simpul yang melihatnya sedang membuat kopi-masih sempat-sempatnya melirikku yang baru saja datang. Ia juga balas tersenyum. Aku pun segera mencari tempat duduk yang jauh dari pengunjung lain.

Begitu menemukannya, aku segera duduk dan membuka ponsel. Ku sentuh benda pipih itu dan mencari aplikasi whatsApp, lalu mengirim pesan singkat ke kontak seseorang.

[Aku akan menemuimu setengah jam lagi.]

Kataku dalam chat itu.

Satu menit kemudian, datang sosok pria yang tadi membalas senyumku itu sambil membawa buku kecil serta pulpen ditangannya.

"Mau pesan apa? Vanilla Latte lagi?" ucapnya membuatku terkekeh. Lalu mengangguk.

"Minuman aja? Makanannya enggak mau?" tanyanya membuatku menggeleng.

"Itu aja. Aku enggak lama-lama di sini. Ada janji," ucapku yang langsung dijawab pria itu dengan ber-oh ria.

"Ya udah, tunggu sebentar. Segera kubuatkan," tuturnya yang kuangguki.

Beberapa detik kemudian pria itu menghilang dari hadapanku dan kembali ke tempatnya-membuatkanku secangkir Vanilla Latte.

Aku menatap ke luar jendela kaca yang langsung menyuguhkan pemandangan jalanan Bandung yang tampak sibuk dengan lalu-lalang pejalan kaki. Ada yang mencuri perhatianku, yaitu gerombolan mahasiswa yang sedang membuat vlog tentang jalanan tersebut.

Sampai-sampai kehadiran lelaki tadi tak kusadari. Baru sadar ketika ia mengibaskan tangannya ke udara-tepat didepan wajahku. Lantas berucap, "Hei! Vanilla Latte nya udah sampai."

Aku menoleh, lalu memamerkan rentetan gigiku kearahnya. "Ah iya, maaf, enggak fokus. Terima kasih." ucapku lalu meminum pesananku itu tanpa memedulikannya.

"Kamu masih memikirkan masalah itu?"

Aku mendongakkan kepala begitu mendengar sumber pertanyaan darinya. Lalu menatap lelaki itu yang ternyata sudah duduk dikursi seberangku.

Aku membalasnya dengan tersenyum simpul.

***

Sudah setengah jam aku duduk di coffee shop, kini waktunya aku pergi untuk menemuinya. Dengan langkah berat, aku berjalan kearah plang jalanan yang bertuliskan Jln. Braga yang menjadi ikonik di daerah Bandung.

Ku tunggu hadirnya sambil duduk dibangku yang tersedia di sepanjang trotoar. Aku kembali mengeluarkan benda pipih itu dan mengirimnya chat.

[Aku udah dijalan Braga. Cepat ke sini.]

Ting.

[Lagi dijalan. Tunggu sebentar, ya.]

[Ok.]

Aku kembali memasukkan ponselku ke dalam tas, dan menunggunya sambil menatap orang-orang yang tengah berjalan santai.

Sekitar sepuluh menit kemudian, datanglah sosoknya yang turun dari motor sambil membawa kantong kresek berwarna putih. Pasti ia membawa makanan favoritku.

"Maaf, pasti nunggu lama, ya?" ucapnya sambil berjalan, lalu duduk di sampingku.

Aku menghela napas, tersenyum kecil.

"Aku bawa martabak, nih. Katanya kamu pengen semalem," ucapnya sambil menunjukkan kantong kresek itu di hadapanku.

Aku menghela napas.

"Aku enggak bisa ngobrol lama-lama. Mau pulang sebentar lagi."

Dia menganggukkan kepala. "Ok. Mau ngobrol soal apa?"

"Soal hubungan kita."

Kulihat alisnya mengernyit. Lalu menatapku bingung. "Kenapa sama hubungan kita?"

Aku tahu, ini bukanlah akhir yang bahagia. Tapi ... aku terpaksa memilih ini sebagai jalan yang terbaik. Hubungan yang sudah tak lagi sehat, dan terus menyiksa satu sama lain, akan lebih baik untuk diakhiri.

"Aku mau kita udahan." kataku dingin setelah terdiam satu menit.

Kulihat ekspresinya berubah seketika. Matanya menatapku tajam. Lalu menggeleng pelan.

"Aku enggak mau!"

"Ini harus!"

"Kenapa? Kamu enggak cinta lagi sama aku?" tanyanya membuat kedua bola mataku berkaca-kaca.

Tentu, jelas aku mencintainya. Tapi akan lebih baik untuk mengubur cinta itu.

"Lebih baik kita putus." kataku dengan suara berat.

Jujur, waktunya memangnya tidak tepat. Rasanya aku ingin menangis, tapi ini ditempat umum. Aku harus menahan itu agar tidak tumpah.

"Udah, ya. Hubungan kita berakhir di sini aja. Aku minta maaf. Dan jaga dirimu baik-baik." ucapku prau sambil mengukir senyum.

Semua akan usai di sini. Aku tidak akan menyukai lelaki manapun setelah berakhir dengannya. Bukan karena ia seistimewa itu. Melainkan, aku tak siap kembali patah setelah ketiga kalinya.

Ya, semua telah berakhir. Mungkin.

Aku bergegas pergi meninggalkan dia yang mematung dibangku dengan martabak yang masih dipengangnya. Ya, aku pergi tanpa membawa apapun yang ia berikan-Termasuk hati. Ku titipkan rasa tertinggal serta sakit itu pada jalan ini.

Braga, Bandung, 2022.

✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏

Bersambung~

Nb : nama coffee shop di Braga nanti merupakan hasil nama imajinasi penulis. Namun, ada juga yang asli dari lokasinya.

⚠️YANG SUKA YUK, LSG MASUKIN LIBRARY⚠️

Kita Dan Sepotong Hati Yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang