Broken Bonds in Friendship

5 0 0
                                    

Masa MPLS dimulai, kelompok dibentuk dan teman dibuat. Aku berteman dengan seseorang yang berkekurangan, dia memiliki masalah dengan immune-nya. Tetapi aku tidak mempedulikannya, selalu aku peluk setiap menit, dia adalah anak paling baik yang pernah aku temui.

Kami bersama setiap saat, aku selalu memperhatikannya "mengapa jalannya begitu lambat?" tetapi tidak aku permasalahkan, aku temani di belakang barisan. Semua orang mendahului kami tetapi aku tidak masalah sejajar dengannya.

Aku temani dia kemana saja, aku ajak dia jalan-jalan, aku sapa setiap kami berpapasan. Itu adalah memori yang biasa saja menurutku, secara aku melakukan itu tiap hari kepada temanku yang lain.

Namun takdir membuatku berpikir bahwa kenangan itu adalah kenangan yang bahagia, karena takdir selalu memperilakukan orang sebalik dari sifatnya.

sudah beberapa minggu semenjak MPLS, aku sudah jarang mendengar kabar tentang dirinya. Kadang aku berpapasan dengannya dan menyapanya. Namun di malam yang sunyi...kudengar kabar mengejutkan tentang dirinya.

Dia meninggal di malam hari, hari sebelum aku mendengar kabar tersebut. Aku tidak bisa berkata apa-apa selain menangis sunyi. Virus dan autoimunnya menyerang secara bersamaan dan membuatnya menghembuskan nafas terakhirnya.

Ibuku mencoba mengontakku tetapi yang kuinginkan sekarang hanyalah kesunyian. Aku hanya bisa diam dan melihat teman-temanku membicarakan soal berita duka itu. Sebagian besar dari mereka berduka. Lalu aku seketika teringat foto yang kami ambil saat MPLS.

Foto itu masih kusimpan sampai sekarang. Sekarang aku merasa bersyukur aku bertemu dengannya. Sejak awal, aku merasa bahwa aku harus menemaninya, setidaknya untuk bersosialisasi. Sekarang aku tahu alasan sesungguhnya, Tuhan ingin aku mengingatnya sampai akhir hayatnya.

Beberapa temanku menanyakan kebenaran tentang berita itu dan aku menjawab "ya". Aku tidak bisa merasakan hal lain selain duka dan sesak di hatiku.

Aku masih ingat betapa kurus tubuhnya saat kupeluk, tangannya yang kecil saat kugenggam, senyumnya bagaikan bunga matahari, suaranya yang pelan memanggil namaku. Aku menangis sekali lagi. Andai masih ada waktu untuk bermain bersamanya lagi.

Kudoakan, semoga dirinya terlahir kembali dan bisa berjumpa denganku lagi, entah esok, entah bulan depan, tahun depan, bahkan sampai era baru pun aku akan menunggumu untuk membuat memori yang cukup untuk memenuhi buku kenanganku.


Information: Based on a true story from the author herself

My Original StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang