03. Meledak

6 1 0
                                    

Ayam mulai berkokok mengawali pagi. Seperti biasa, hanya Naila yang tenggelam dengan kejadian semalam. Kedua orang tuanya? Tak ada respon, bersikap seperti tak pernah ada kejadian apapun.

Naila tersenyum getir menuruni anak tangga, ia langsung berpamitan hendak ke sekolah.

"Bun, Yah, Naila pamit, ya. Assalamu'alaikum."

Tanpa memandang kedua wajah orang tuanya, Naila segera memakai sepatu tak berharap balasan dari mereka.

"Nai, bunda kemarin sibuk jadi tak sempat membaca pesanmu."

Naila tertunduk, bola matanya sudah mulai berkaca-kaca. Ia sudah tahu akan begini alasannya.

"Tak masalah, Bun. Pekerjaan Bunda lebih penting, naila sekolah dulu."

Naila menatap langit supaya air matanya tak jatuh lagi, pipinya masih sedikit bengkak. Semoga saja temannya tak ada yang menyadari perbedaan dirinya.

Isi pikirannya penuh, tubuhnya terasa sangat lelah. Ingin rasanya ia berteriak dihadapan Ayahnya, mengeluarkan apa yang ia rasakan tiap kali pria itu membentaknya, bahkan sampai memukulinya. Naila bisa tertawa keras kala mendengar sebuah kutipan 'Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya' dia tak mendapatkan cinta dari Ayahnya, bolehkah ia iri pada teman-temannya yang selalu membanggakan kasih sayang Ayahnya? Bolehkah ia iri melihat anak kecil yang bermanja-manja pada Ayahnya? Naila tak bisa memilih siapa orang tuanya, tapi mengapa ia harus menanggung rasa sakit ini.

"Yah ... sakit rasanya tatkala mendengar perkataan menyakitkan yang kau ucapkan terang-terangan di hadapanku." Gumam Naila.

***

Seorang pria menghentikan motor kala menangkap gadis yang sedang menangis di kursi taman. Gadis itu mengenakan seragam, apakah ia dibully oleh temannya? Atau masalah lain?.

"Temannya Fatimah, 'kan?"

Naila mengangkat kepalanya kala merasa ada seseorang yang memanggil dirinya, pupil matanya membulat tetika sadar di hadapannya kini seseorang yang ia kagumi.

Sadar pipinya masih basah, Naila segera menunduk guna menghapusnya seraya berdiri dari kursi taman. Ia bingung harus bersikap bagaimana di depan Gus Yazid.

"I-iya Gus, ada apa ya?"

"Kenapa harus gugup naila, padahal biasanya berani di depan cowok. Huh!" rutuk Naila dalam hati.

"Kamu nangis? Dibully?"

Naila mengerjapkan matanya beberapa kali kemudian menatap pria yang lebih tinggi darinya. Kedua matanya bertemu, waktu terasa melambat Naila yang terhanyut dalam tatapan mata Yazid kini mematung. Yazid memalingkan wajahnya, Naila mendengar pria itu beristighfar beberapa kali.

"Ga dibully ko, Gus, hehe. Saya pamit mau lanjut ke sekolah dulu, Assalamu'alaikum."

Naila bergegas pergi, rasanya ia ingin menghilang dari bumi saat ini juga karena sangat malu. Naila merasa wajahnya kini sudah memerah karena tatapan tadi.

"Saya tak tahu masalahmu apa, tapi yakinlah Allah tak pernah memberi ujian selain hamba itu mampu melewati ujiannya."

Langkah Naila berhenti.

"Hhah ... Ujian itu sangat berat sampai rasanya aku ingin sekali menyerah. Aku sering merasa Allah tak adil pada hidupku, kenapa harus aku? Aku tak minta dilahirkan ke dunia, aku tak bisa memilih siapa orang tuaku, rasanya lelah terus berpura-pura baik-baik saja di hadapan semua orang. Tahu apa Gus dengan masalahku? Kita tak saling mengenal." Jawab Naila tanpa membalikkan tubuhnya yang mulai bergetar.

Yazid terdiam, ia mencerna perkataan gadis itu. Ia telah berbuat salah, ia telah menyentuh sesuatu yang harusnya tak disentuh. Yazid tahu betul perasaan putus asa itu, seperti ia berada diujung jurang dan semua orang rasanya mendorong dirinya untuk masuk ke dalam jurang itu. Tak ada seorangpun berpihak pada gadis itu, ia selalu salah apapun yang ia buat.

"Saat tak ada bahu untukmu bersandar, percayalah masih ada lantai untuk bersujud. Kau takkan kecewa jika mengadukan keluh kesahmu kepada-Nya."

Naila melanjutkan langkahnya, ia merasa bersalah berkata seperti tadi pada Gus Yazid. Naila paham tentang apa yang dimaksudkan Gus Yazid untuknya, karena emosinya yang belum stabil justru melampiaskan kemarahan pada pria itu.

"Padahal aku duduk di taman agar perasaanku membaik, sekarang malah makin buruk. Walaupun ada perasaan lega yang entah datang darimana." gumamnya pelan.

Naila menaruh tasnya di atas meja, ia bersyukur tak terlambat masuk kelas. Naila sadar dirinya mampu bertahan sampai akhir, ia tak boleh menyerah. Setiap badai pasti akan berhenti, dan saat badai itu berhenti sebuah pelangi akan datang untuk memberikan sebuah kebahagiaan.

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebuah HarapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang