2. Pengakuan

1 1 0
                                    

"Jatuh cinta kadang membuat kita berspekulasi bahwa semua sikapnya adalah bentuk dari rasa cintanya."

—Antara Cinta dan Takdir —



Pagi ini, seperti biasa sehabis sholat subuh aku langsung menuju ke dapur untuk membantu Ibu dan Bibik membuat sarapan.

"Nah, ini ada non Syakira Bu, minta dia saja yang anterin sarapan buat Den Ardi."

Bik Riri, yang merupakan pembantu yang sudah bekerja hampir lebih dari dua puluh tahun itu berucap pelan, sembari asyik menyiapkan piring dan sendok. Sepertinya hari ini sarapan disiapkan lebih awal atau malah aku yang sebenarnya terlambat datang ke dapur. Tapi saat ini, itu sudah tidak penting, yang terpenting adalah bagaimana caranya mengantar makanan Mas Ardi, aku merasa gugup.

"Kebetulan yang bagus sayang. Kamu tolong antar sarapan ini untuk Ardi ya, sepertinya Rani tak pulang kemarin, Ardi pasti gak sempat masak, diakan harus berangkat ke kantor."

Ibu menyerahkan sepiring nasi goreng ke tanganku, aku jelas tak bisa menolak permintaan Ibu. Yah, Ibu dan Ayah sudah menganggap Mas Ardi sama seperti anaknya sendiri, dan bahkan menekankan padaku kalau aku harus menganggap Mas Ardi sama seperti aku menganggap Mas Syakir, Kakak laki-lakiku yang meninggal lima tahun yang lalu.

Ayah dan Ibu sudah pernah membicarakan ini dengan Mas Ardi, bahwa mereka sudah menganggap Mas Ardi seperti anaknya sendiri, Ayah dan Ibu merasa kalau Tuhan sengaja mengirim Mas Ardi sebagai pengganti Mas Syakir. Ayah bahkan bilang kalau alasan dia memilih Mas Ardi untuk membeli rumah Paman adalah karena melihat Mas Ardi yang seumuran dengan Mas Syakir dan menilai sikap dan perilaku Mas Ardi ketika pertama kali datang ke rumah mengingatkannya akan Mas Syakir.
Mas Ardi sendiri bilang kalau dia tidak keberatan akan hal itu, bahkan merasa sangat senang, karena bisa memiliki keluarga utuh di tempat ini. Mas Ardi juga sempat bilang kalau aku seumuran dengan adiknya.

"Assalamualaikum, Mas Ardi," aku mengucap salam ketika telah sampai di depan rumah Mas Ardi.

"Waalaikumsallam, iya sebentar," aku kaget sekaligus  yakin kalau yang menjawab salamku barusan bukan Mas Ardi, melainkan Mbak Rani istrinya Mas Ardi.
Ibu sepertinya salah informasi, toh Mbak Rani pulang sesuai dengan jadwalnya. Ah ya, Mbak Rani memang tak menetap di rumah ini, Mbak Rani pernah cerita waktu awal mereka pindah ke sini bahwa bisnis butik miliknya di Kota sedang pesat-pesatnya, jadi tidak mungkin untuk di tinggal sepenuhnya dengan karyawan. Biasanya Mbak Rani hanya pulang di hari senin dan selasa saja, selebihnya Mbak Rani tinggal di rumah mereka di kota.

"Ohk ada Syakira, masuk aja sini."

"Eh Mbak Rani, nih Syakira cuma mau nganter nasi goreng buat sarapan Mas Ardi, tadi Ibu menyangka kalau Mbak belum pulang dari Kota, jadi Syakira hanya bawa satu piring." Ujarku merasa bersalah.

"Ohk gpp, ayo masuk dulu, kita ngobrol-ngobrol."

Mbak Rani bersikeras, aku akhirnya mengangguk setuju, kehabisan stok alasan untuk menolak. Sudah lama sekali aku tidak masuk kerumah ini, terhitung aku hanya pernah dua kali masuk kesini sejak Mas Ardi dan istrinya resmi membeli, pertama mengantar Mas Ardi melihat-lihat rumah, dan yang kedua sekarang.
Habis mengobrol satu dua hal, aku pamit pulang. Aku juga tak bertemu Mas Ardi tadi di rumah, mungkin sudah berangkat ke kantor, tapi itu tidak penting yang terpenting adalah bagaimana menyelsaikan masalah ini. Aku tak yakin, tapi terlanjur mencintai Mas Ardi membuatku nekat.

***
"Tumben Lo, ngajak ketemuan hari kamis, biasanya hanya punya waktu hari sabtu atau minggu?"

Mita selalu begitu, bukannya mengucap salam ketika baru tiba, eh malah langsung nyosor bertanya. Hari ini aku memang mengajaknya untuk bertemu di kafe biasa, ada yang harus kuceritakan padanya, semoga saja dia tidak bereaksi berlebihan. Yah, semoga saja.

Antara Cinta dan Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang