4. Andai Saja

2 2 0
                                    

"Dirimu adalah sebagian dari impian yang ingin aku miliki tanpa harus menyakiti orang lain."

—Antara Cinta dan Takdir—
.
.
.
.
.
Happy Reading!

"Assalamualaikum," ucapku pelan seraya mendorong pelan pintu rumah belakang, yah aku memutuskan untuk pulang lewat pintu belakang. Bahaya untuk kesehatan jantung jika pulang lewat pintu depan.

Tak ada jawaban, sepertinya Ibu sedang menemani Mas Ardi mengobrol di ruang tamu.

"Non Syakira, kenapa jalannya mengendap-endap begitu?"

"Eh Pocong!" Ujarku repleks tak sengaja kelepasan.

"Mana pocong Non? Biar Bibik hajar!"

"Bibik sih, bikin kaget Syakira," aku mendengus kesal, Bik Riri memang suka mengagetkanku yang memang kagetan.

"Bik, Mas Ardi mana?"

"Tu di depan, sama Ibu,"

"Bibik tahu kenapa Mas Ardi ke sini?"

"Mana Bibik tau, memangnya Bibik dukun yang bisa ngeramal,"

"Ya, gak gitu juga kali Bik,"

"Lo Syakira, kamu kapan pulang?" Suara Ibu kembali mengagetkanku, sepertinya aku harus ikut terapi mengurangi kagetan, tapi memang ada ya? Ah, bodoh amat.

"Baru aja nyampe Bu,"

"Kamu lewat pintu mana? Kok Ibu gak lihat kamu masuk?"

"Lewat pintu belakang," ucapku cengengesan

"Ya sudah, sana temui Ardi, dari tadi nuunggu kamu pulang,"

"Eh, sekarang Bu?"

"Tahun depan!" Ibu berucap seraya berjalan meninggalkan dapur.

"Bik, Syakira harus nemuin Mas Ardi sekarang?" Tanyaku pada Bik Riri.

"Mana Bibik tahu," Bik Riri mengangkat bahu lalu ikut-ikutan meninggalkan dapur menyusul Ibu,

"Dih, orang-orang rumah ini kenapa gak ada yang waras ya?"

Mau tak mau, aku harus menemui Mas Ardi, atau Ibu akan mengomel sepanjang rel kereta api, tak akan ada habisnya.

"Nah, itu Syakira udah dateng," ucap Ibu yang melihatku berjalan menuju ruang tamu, Ibu ternyata sudah kembali duduk manis di sana.

"Ibu tinggal dulu ya," belum juga aku duduk, Ibu sudah main pergi-pergi aja.

"Ada apa Mas?" ucapku pelan, seraya menjatuhkan diri di sofa tepat di depan Mas Ardi.

"Kamu gak lihat chat Mas?"

"Enggak, emang Mas chat apa?"

"Buka aja." Bagai sapi di cocok hidung aku mengikuti perintah Mas Ardi, meronggoh ponsel dalam saku lalu memeriksa pesan dari Mas Ardi. Aku ingat, tadi memang tidak membuka aplikasi hijau, terakhir hanya mengangkat panggilan dari Ibu lalu memasukkannya kembali ke dalam saku celana.

"Ira, Mas jemput di rumah tiga puluh menit lagi ya."  Isi pesan Mas Ardi yang di kirim satu jam yang lalu.

"Maaf Mas, Ira gak buka WhatsApp tadi,"

"Gpp, sekarang mandi. Baunya busuk," Mas Ardi pura-pura menutup hidung, lalu mendorong pelan tubuhku yang telah berdiri.

"Emang mau ke mana sih?"

"Udah ikut aja,"

"Yaudah, Ira siap-siap dua puluh lima menit,"

"Iya, sana cepat. Bisa lumutan nanti Mas di sini,"

Antara Cinta dan Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang