"Jika memungkinkan, izinkan aku tetap mengukir bayanganmu meski penakut tidak pernah kau berikan tinta."—Antara Cinta Dan Takdir—
.
.
.
.
.
.
Happy Reading!Sepulangnya dari rumah Mas Ardi aku langsung kembali ke kantor, ada banyak pekerjaan yang harus kulakukan meski kondisi hatiku sedang berantakan.
Aku menghentikan sebuah ojek, butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di kantor Ayah, karena letaknya memang di kota kabupaten, beda dengan tempat tinggal kami yang di desa terpencil di ujung kabupaten.
Ayah pernah bilang kalau pemilihan tempat tinggal yang terpencil itu sempat mendapat penolakan dari Ibu karena menurut Ibu terlalu jauh dari pusat kota dan menyulitkan memenuhi beberapa kebutuhan. Namun, semua itu terbantahkan ketika Ibu untuk pertama kalinya di ajak melihat lokasi rumah kami, Ibu jatuh cinta dengan tempatnya yang asri dan nyaman.
Setelah aku lahir, Paman yang merupakan adik Ayah satu-satunya ikut pindah ke sana, Paman memang belum menikah dan ikut bekerja di kantor Ayah, awalnya rumah Paman hanya rumah kecil di dekat rumah kami, tapi Paman tipe orang yang tekun dalam bekerja hingga mampu membangun rumah yang bahkan lebih besar dari rumah kami, sayangnya usia paman tak lama, beliau menderita penyakit gagal jantung.Kalau ingat Paman aku jadi ingat Nenek di Indramayu, sudah lama aku tidak mengunjunginya. Kakek dan Nenek dari pihak Ibu sudah lama meninggal, sedang dari pihak Ayah masih ada Nenek, harusnya aku mengunjunginya sesering mungkin. Nenek selalu menolak setiap kali Ayah dan Ibu mengajak untuk tinggal bersama kami, beliau selalu bilang tidak mau meninggalkan kenangan Kakek sendiri, benar-benar cinta sejati meskipun mereka dulu menikah karena hasil perjodohan —itu kata Ayah sih.
"Neng, udah nyampe nih." Tukang ojek itu berbalik badan, sepertinya kami sudah sampai sejak beberapa menit yang lalu, aku tidak menyadarinya.
"Baik Pak. Ongkosnya seperti biasakan, Pak?"
"Aduh, ongkosnya naik dua rebu Neng, sekarang apa-apa serba mahal."
"Iya Pak, gpp," aku menyerahkan selembar uang dua puluh ribu, "kembaliannya gak usah Pak," lanjutku lalu bergegas masuk ke kantor.
"Makasih Neng." Samar aku mendengar Bapak tukang ojek itu berteriak, aku membalikkan badan, sedikit mengulas senyum dan menganggukkan kepala.
"Syakira, nanti makan siang bareng Ayah, ya!" Ayah berseru saat aku melewati ruangannya, aku mengangguk, pasti mau di ajak makan siang di rumah makan Raflesia, maniak Bengkulu sekali.
***
Makan siang tiba
Aku dan Ayah sudah duduk manis di kursi dekat jendela rumah makan ini, yapss rumah makan Raflesia, rumah makan ini meski selalu ramai namun selalu memberi kesan nyaman dan betah."Seperti biasa!"
"Oke Bos," aku memberi hormat pada Ayah lalu beranjak ke meja pemesanan, aku memesan dua piring nasi putih dengan lauk 'Lemea' kesukaan Ayah, sebenarnya dulu aku kurang suka dengan lauk Lemea ini, namun Ayah setiap kali ke sini selalu memesan nasi putih dengan Lemea, akhirnya aku jadi menyukai si Lemea ini, benar kata orang kalau cinta ada karena terbiasa, eh kok jadi gak nyambung.
Setelah memesan makanan kami yang aku tambahkan juga dengan es teh manis aku segera berbalik menuju meja tempat kami tadi.
"Eh, maaf-maaf. Saya gak sengaja," aku menakupkan kedua tangan, saat secara tak sengaja aku menabrak seorang laki-laki dan membuat ponselnya jatuh. Aku memungut ponsel itu dan memberikan padanya dengan wajah memelas. Semoga saja ponselnya baik-baik saja.
"Lain kali hati-hati." Ucapnya lalu mengambil alih ponsel yang ku sodorkan, dia berjalan dengan langkah tergesa, meninggalkanku yang masih mematung di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Cinta dan Takdir
Romance"Cinta selalu mencari cela untuk membuat rumah bagi dua insan yang sedang merasakan hadirnya, tapi takdir juga bisa menghancurkan semua jika tak sesuai dengan jalan yang telah di tetapkan pencipta" -Syakira Rania Putri- Syakira, gadis cantik lulusan...