5. Kenyataan

1 1 0
                                    

"Dari sekian juta orang di dunia ini, kenapa harus kamu yang berhasil mencuri hatiku?"

—Antara Cinta dan Takdir—
.
.
.
.
.
.

Pukul 16:10 WIB, sudah waktunya untuk pulang. Aku membereskan beberapa berkas yang tercecer dan menyimpannya di dalam laci. Aku tidak mau jika besok harus grasak-grusuk mencari dokumen hanya karena aku lupa tempat menyimpannya.

"Syakira,"

"Iya Ayah," aku lekas menutup laci, tumben Ayah yang menjemput ke dalam ruanganku, biasanya akulah yang akan mangkal di dalam ruangan Ayah. Hanya dengan begitu beliau mau segera pulang, jika tidak beliau bisa pulang hingga larut malam. Benar-benar gila kerja.

"Kau mau pulang sekarang, Nak?"

"Iya Ayah, ini udah siap kok," aku berdiri, menyusul Ayah yang masih berdiri di depan pintu.

"Tapi Ayah gak bisa ngantar, ya,"

"Lah, Ayah belum pulang?"

"Ayah masih ada meeting lima belas menit lagi, kamu pulangnya bareng Ardi ya,"

"Ayah pulang malam?" Selidikku,

"Iya Sayang, makanya kamu pulang duluan ya,"

"Ayah, Ayah kenapa sih harus kerja sampai malam. Biar Syakira ngomong sama Pak Rijal agar tidak meng-acc meeting sore ataupun malam. Itu tidak baik untuk kesehatan Ayah,"

"Iya Sayang, Ayah ngerti. Tapi ini darurat, harus Ayah langsung yang turun tangan,"

"Baiklah, tapi ini yang terakhir,"

"Iya-iya. Yasudah ayo temui Ardi, kamu akan pulang bareng dia,"

"Syakira bisa pulang sendiri Ayah. Lagian Mas Ardi ngapain disini sih?"

"Ardi tadi nganterin pesanan Ayah,"

"Bubuk kopi dari Bengkulu?"

"Iya yang itu, katanya staf yang di tugaskan ke Bengkulu baru masuk kerja tadi pagi. Jadi baru bisa di antar sore ini,"

"Kok sore, kenapa gak tadi pagi?"

"Ayah gak tau Syakira, mungkin ada meeting tadi, jadi baru sempat sore ini,"

"Lagian, Ayah kenapa sih pake acara pesan kopi sama stafnya Mas Ardi,"

"Bubuk kopi dari Bengkulu itu enak Sayang, makanya Ayah pesan. Kamu gak akan tau deh rasanya, kamukan gak suka kopi,"

"Setau Syakira Ayah juga gak suka kopi tuh, sukanya sama teh hijau. Kenapa sekarang berubah?'

"Itu karena Bubuk kopi dari Bengkulu itu beda, apalagi yang dari desa Danau Liang, bahkan kopinya sudah terkenal hingga ke luar negeri,"

"Iyakah?"

"Nanti kamu cobain deh. Nah itu Ardi, sana pulang," Terlihat Mas Ardi sedang menyandarkan diri pada mobil miliknya di parkiran, aku akan mengutuk mobil itu jika suasana di dalamnya nanti kaku,

"Syakira duluan ya, Yah," aku mencium tangan Ayah,

"Ardi juga ya, Om," tiba-tiba sebuah tangan juga ikut terulur. Tangan Mas Ardi.

"Kamu itu sudah berulang kali Om bilang, panggil Om Ayah saja, sama kayak Syakira. Kamu taukan, Om sudah menganggap kamu seperti anak sendiri, kamu seumuran sama anak sulung Om. Om berasa Syakir ada lagi, buat jagain nih bocah," Ayah menunjukku, seraya satu tangan mengusap air mata. Ayah benar-benar telah menganggap Mas Ardi sebagai anaknya.

"Saya lagi belajar Om, eh Ayah," Mas Ardi terkekeh, Ayah juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua, aku ingin melihat mereka mengobrol bersama, melihat mereka pergi memancing bersama atau bermain bola bersama. Aku ingin melihatnya.

Antara Cinta dan Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang