7. Viral

0 0 0
                                    


"Aku tau, menghadapi masalah ini seperti sedang mengukir nama di atas batu. Sulit, tapi bukan bearti tidak mungkin,"
.
.
.
—Antara Cinta Dan Takdir—
.
.
.
.
Happy Reading!


Ayah dan Ibu tampak syok mendengar penjelasanku. Desti dan Mita mencoba ikut meyakinkan kalau aku dalam foto tersebut tidak seperti yang mereka bayangkan. Meski terlihat tak begitu berhasil, tapi setidaknya bisa membuatku sedikit bernafas lega karena tak perlu menyembunyikan apapun.

"Baiklah, kami pamit pulang dulu ya Tante, Om. Lain kali kami akan main ke sini lagi." Setelah urusan menjelaskan ini selesai Mita dan Desti pamit untuk pulang, masih ada hal yang harus mereka urus, katanya.

"Kalian hati-hati, ya." Ibu menerima uluran tangan Desti dan Mita, begitu juga dengan Ayah.

Tersisa hanya aku, Ayah dan Ibu. Aku ragu untuk memulai pembicaraan setelah tadi sempat bersitegang.

"Kamu istirahatlah, Ayah akan bicara dengan Ardi."

"Jangan Yah, jangan katakan apapun dulu sama Mas Ardi."

"Kenapa?"

"Biar Syakira yang akan menjelaskannya nanti."

"Kamu yakin?"

"Iya Ayah."

"Kalau begitu, kurangi pertemuanmu dulu dengan Ardi, setidaknya hingga gosip ini reda." Ibu angkat suara, terdengar nada kecewa dalam suara itu.

"Baik Bu. Syakira pamit ke kamar dulu, Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam."

***
Hari sudah beranjak malam, aku keluar menuju dapur untuk mengambil minum, samar terdengar percakapan Ayah dan Ibu dari kamar. Awalnya aku tak ambil pusing, memilih untuk tetap melanjutkan langkah kaki menuju dapur, namun sekembalinya dari dapur aku mendengar Ibu menyebut nama Mas Ardi, jiwa kepoku jadi meronta. Jadilah aku akhirnya menguping.

"Bukankah Syakira sudah meminta Ayah untuk tidak memberi tau Ardi dulu masalah ini?"

"Ayah tidak memberi tau Ardi, Ayah hanya meminta Ardi untuk mengurangi intensitas pertemuannya dengan Syakira."

"Ardi tak bertanya kenapa Ayah sampai melakukan itu?"

"Bertanya, Ayah hanya bilang kalau Ayah gak suka dia ketemu terus sama Syakira."

"Ayah bilang seperti itu?  Kalau Ardi tersinggung nanti gimana? Kan Ayah tau, Ibu sudah menganggap Ardi sama seperti Syakir, kalau Ardi gak datang ke sini lagi, Ibu kehilangan Syakir untuk kedua kalinya."

"Ibu tenang ya, Ardi tidak akan berpikiran yang macam-macam tentang kita, Ayah yakin Ardi bijak dalam menanggapi sesuatu, dia pasti mengerti."

"Mengerti bagaimana maksud Ayah? Ardi pasti tersinggung Ayah."

"Sudah jangan menangis, Ardi tidak akan tersinggung, percaya sama Ayah, ya."

Pelan, aku mundur dan kembali ke kamar, aku tidak bisa berpikir jernih sekarang. Di satu sisi, masalah ini mungkin bisa berakhir dengan kami tidak bertemu dulu, tapi di sisi lain, aku pasti akan sangat merindukan Mas Ardi.

***
Hari ini selasa, berarti Mbak Rani ada di rumah. Aku akan minta izin Ayah untuk telat datang ke kantor, aku akan ke rumah Mas Ardi. Aku berencana ke rumah Mas Ardi pukul setengah delapan pagi, jam segitu aku yakin Mas Ardi sudah berangkat ke kantor, aku harus menanyakan sesuatu ke Mbak Rani sekaligus juga menjelaskan permasalahan ini.

Setelah meminta izin Ayah untuk terlambat ke kantor dengan alasan ada rapat kecil di asosiasi 'Anak Hebat' cabang desaku aku kembali ke kamar menunggu waktu yang telah kurencanakan tiba. Sebenarnya sedikit sulit mendapatkan izin Ayah jika masih jam kantor, tapi untuk asosiasi sepertinya memang sedikit mendapatkan kelonggaran.

Aku berjalan gontai menuju kamar, akan sulit menjalani hari dengan berpura-pura baik-baik saja.

Jika jatuh cinta sesulit ini, lalu kenapa orang sering sekali berganti pasangan, apa mereka tidak akan sulit melupakan dan menambah orang baru dalam kehidupan mereka, ah memikirkannya membuatku pusing.

Jam tujuh lewat dua puluh lima menit aku berangkat ke rumah Mas Ardi, aku menyisakan lima menit untuk sampai di rumah Mas Ardi.
Di depan rumah Mas Ardi sedang ramai, ada kerumunan Ibu-Ibu yang sedang memilih sayur, yah tukang sayur sedang lewat sepertinya.
Aku menunggu hingga beberapa menit, namun Ibu-Ibu itu sepertinya keasyikan memilih sayuran serta mengobrol ria, akan lama jika seperti ini.

Mau tak mau aku harus melewati kerumunan itu, atau aku akan berdiri di sini sampai dengan waktu yang tak bisa ditebak.

"Eh Rani, sepertinya si Syakira jadi pelakor deh dalam rumah tangga kamu, saya sering lihat dia pulang berdua dengan si Ardi." Aku menghentikan langkah, mendengar salah satu Ibu-Ibu itu menyebut namaku, bergegas aku mencari tempat bersembunyi.

Sebuah pohon besar aku jadikan pilihan, ternyata di sana ada Mbak Rani yang juga sedang memilih sayuran, semoga Mbak Rani tidak terpancing, bukankah ini yang dia inginkan.

"Iya, saya juga sering lihat mereka jalan berdua. Kasihan ya kamu Rani, kamu sibuk ngurusin bisnis kamu di Kota, eh suami kamu malah enak-enakan selingkuh." Salah satu Ibu yang kalau tidak salah bernama Eka ikut menyahut, berita ini benar-benar sudah menyebar luas.

"Iya ya, kita pikir Syakira itu orang baik-baik, eh ternyata malah jadi pelakor."

"Mungkin karena gak laku-laku jadinya suami orang ikut di embat."

"Iya, padahal dia gak jelek-jelek amat dan berpendidikan pula."

"Malah demen sama suami orang ya!"

"Amit-amit dah, jagain tu baik-baik suami kita. Takut di embat juga sama dia."

"Iya Ibu-Ibu, saya juga gak nyangka Syakira tega ngelakuin itu sama saya. Saya sudah melihat foto mereka berdua kemarin, di tunjukin sama salah satu staff Mas Ardi pas saya ngantar makan siang buat Mas Ardi. Padahal saya sudah nganggap Syakira kayak adik saya sendiri, gak nyangka dia nusuk saya dari belakang." Mbak Rani angkat suara. Astaga, Mbak Rani tega mengatakan itu, andai saja aku tidak mendengarnya sendiri aku tidak akan pernah percaya. Mbak Rani, kenapa kau tak percaya padaku dan malah ikut memberi minyak pada masalah ini.

"Sabar aja ya Rani, kamu harus rebut kembali tu suami kamu, jangan sampai kalah sama pelakor, kita semua dukung kamu."

"Saya akan melayangkan gugatan cerai ke Mas Ardi Bu, gak tahan saya di perlakukan seperti ini, mending pisah aja."

"Lah, kenapa pisah? Nanti kamu di cap kalah sama pelakor."

"Mungkin ini yang terbaik Bu, saya gak sanggup di selingkuhin terus-menerus sama Mas Ardi."

"Lah, si Ardi sudah sering toh selingkuhnya?"

"Iya Bu, ini yang ke tiga kalinya. Rumah tangga kami memang tidak sehat Bu, saya capek." Mbak Rani terlihat menghapus air matanya. Dia pasti berbohong, bagaimana mungkin Mas Ardi pernah selingkuh.

"Kalau gitu mending minta cerai aja dari pada pertahanin laki kayak gitu, kamu kan cantik, pasti banyak yang ngantri buat jadi suami kamu."

"Iya Bu. Saya permisi duluan ya Ibu-Ibu, mau masak." Mbak Rani bergegas meninggalkan kerumunan Ibu-Ibu yang masih heboh membahas permasalahan kami.

Aku masih terpaku di balik pohon besar yang dengan jelas bisa menangkap pembicaraan Ibu-Ibu yang dikenal memang suka bergosip itu. Aku sekarang juga jadi bahan gosipan mereka, ternyata begini rasanya dituduh sebagai pelakor.

Aku memang mencintai Mas Ardi, bahkan berkeinginan memilikinya. Tapi apa harus sebagai pelakor? Tidak adakah cara lain?
Bahkan rencana awal tidak seperti ini, hanya merebut hati Mas Ardi dan membuatnya menceraikan Mbak Rani, bukan memviralkan diri sebagai pelakor. Semua ini gara-gara foto itu, jika saja foto itu tidak menyebar, semua tidak akan seperti ini.

"Ini resikonya Syakira, kau harus menanggungnya karena kau telah menyanggupinya di awal," aku berucap pelan pada diriku sendiri seraya mengelus dada.
Semoga saja mesalah ini tidak membuatku menyerah mendapatkan Mas Ardi, atau aku akan menjadi orang yang ingkar janji, meski si peminta janji telah menghianatiku.

Antara Cinta dan Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang