MENIKMATINYA

1.1K 4 0
                                    

"Dek, mandi kok gak ajak-ajak?"

"Ngapain atuh A Erdi? Arman mau mandi dulu, udah ah sana!" Aku mendorong dada A Erdi.

"Dek Arman mau mandi sendirian? Gak mau emang A Erdi temenin?" Dia malah menahan pintu kamar mandi.

"Temenin?... nanti ujung-ujungnya lain."

"Eh... A Erdi udah terlanjur telanjang nih." Dengan tangan satunya lagi dia melepaskan handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya, dan menghempaskannya ke lantai. Dia selalu menggunakan cara itu untuk membujukku. Dengan tubuhnya yang berotot; dada bidang; perut sixpack; dan batang kemaluannya yang indah menggoda. Walaupun aku sudah sering melihat dia telanjang, entah mengapa gairahku selalu memuncak hebat. Kejantananku yang tertutup oleh sehelai handuk mulai bereaksi dan membesar.

"A, kamu gak sabaran. Yaudah atuh masuk!" Aku memberikan jalan untuknya.

Lelaki pemilik kejantanan perkasa itu memungut handuknya. Melangkah masuk ke kamar mandi, lalu menutup dan mengunci pintunya.

Cinta bisa datang pada siapa saja, bahkan anak majikan. Dia dengan bangga mengakui perasaannya padaku yang hanya merupakan anak dari pembantu rumah tangga. Cinta terlarang ini sudah kami jalin hampir dua tahun lamanya—dengan sekelumit rahasia yang ditutup-tutupi.

Mungkin semuanya berawal dari masa kecilku yang lahir dan bertumbuh kembang di lingkungan keluarga majikan tempat ibuku bekerja. Ibuku yang telah puluhan tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga di kediaman keluarga Van Girg—keluarga A Erdi. Menikahi tukang kebun yang sama-sama bekerja di sana.

Keluarga A Erdi membiayai dan memberikan fasilitas yang memadai untuk keluarga kecil itu. Ibu dan ayah tinggal di pondok sederhana di halaman belakang rumah. Setelah dua tahun menikah, akhirnya ibu mengandung diriku.

Ketika ibu hamil, A Erdi sudah berusia lima tahun. Setiap hari anak kecil itu selalu ditemani oleh ibuku, karena kedua orang tuanya lebih sibuk bekerja di perusahaan masing-masing. Sehingga setiap aktivitas yang ibu lakukan, A Erdi selalu mengikuti kami—ibu dan diriku yang masih di dalam kandungan.

Meskipun status anak majikan melabeli A Erdi, dia tidak pernah besar kepala dan selalu bersikap baik kepada para pekerja di lingkungan rumahnya—terutama kepada ibuku.

Aku lahir dan tumbuh besar dengan sosok A Erdi yang senantiasa menemani selayaknya seorang kakak. Dia menghibur dan memegangi botol susu untukku, membantu memapah diriku ketika aku mulai belajar berjalan. Sepulang sekolah dia mengajarkan aku cara berhitung dan membaca alfabet. Ketika aku sedikit lebih besar dia mengajarkanku cara naik sepeda roda tiga. Maka ketika aku terjatuh, dia yang membantuku berdiri dan mengobati lukaku.

Hingga suatu hari, dia menolak untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Dia beralasan tidak mau meninggalkan Bundanya yang sedang mengandung adik pertamanya. Alasan hanyalah alasan, karena hanya kepadaku dia mengatakan tidak mau meninggalkanku—saat itu kami belum memiliki hubungan spesial.

Meskipun kami tumbuh besar selayaknya adik kakak, hubungan itu perlahan sirna dan tergantikan oleh perasaan yang aneh.

Ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. A Erdi sedang menempuh perkuliahannya. Dia tinggal di salah satu rumah milik keluarganya yang berdekatan dengan lingkungan kampusnya. Dengan alasan kesepian karena menempati rumah itu seorang diri, A Erdi sering memintaku untuk mengunjunginya di sana. Maka sepulang sekolah aku selalu menyempatkan diri pergi ke sana, karena jarak dari sekolahku ke rumah itu tidak begitu jauh.

Kami menonton film atau bermain game bersama, terkadang kami juga bermain badminton dan berenang, karena berolahraga terutama berenang adalah hobi yang jadi kebanggaannya, selama di kampus dia menjadi atlet renang handal yang berprestasi sehingga memiliki bentuk fisik yang terjaga.

Suatu hari, tanpa sengaja aku melihat A Erdi di kamarnya dengan seorang pria—teman kampusnya. Mereka bertelanjang dengan posisi A Erdi yang duduk di ujung ranjang dan sahabatnya yang berjongkok sambil melumat kejantanan A Erdi.

Mereka menyadari keberadaanku yang tengah berdiri di ambang pintu sembari terkejut.

"Kau? Sedang apa kau di sana?" Dengan sedikit berteriak dia menghentikan aktivitasnya dan berlari ke arahku. "Tolong, jangan katakan hal ini pada siapapun! Terutama ayah dan Bunda. Dek Arman paham kan?"

Aku yang saat itu masih terkejut, tidak bisa mencerna perkataan yang A Erdi lontarkan—lagi pula saat itu aku masih polos untuk memahaminya.

Malam harinya, dia menjelaskan perbuatannya kepadaku, tetapi hanya sebagian kecil yang aku pahami. Dia bilang, "Aa sedang dalam tahap mencari jati diri, entah kenapa ketimbang main sama pacar Aa, Kak Dinda. Aa lebih merasa lebih bahagia berhubungan dengan Bang Dono."

Sejak saat itu aku merahasiakan orientasi seksual A Erdi. Padahal meskipun aku menceritakannya, orang tidak akan mempercayai diriku. A Erdi sama sekali tidak terlihat seperti seorang gay, dia justru dilabeli sebagai seorang playboy yang dipuja-puja para wanita.

Namun, seiring berjalannya waktu  rahasia itu entah bagaimana menggiring aku terjerumus ke dalam perasaan yang aneh, mengenai cinta dan menyukainya hingga aku berada dalam genggamannya.

Di atas tempat tidur, A Erdi melingkarkan lengannya pada tubuhku dengan begitu erat. Nafasnya menciumi pipiku sebab begitu dekatnya dia menaruh kepalanya di samping kepalaku. Dia masih terpejam, tidur dengan pulas.

"A, bangun! A ERDI!" Aku sedikit berteriak membangunkannya.

"Apa sih, dek? Jam berapa ini, emangnya jam berapa?" Suaranya serak sementara matanya belum sempat dia buka.

"Jam dua belas." Sahutku mengusap-usap pelan wajahnya.

"Ngapain?" Dia mulai membuka matanya lamban. "Kalau ini masih jam dua belas ngapain ngebangunin? Mau nambah? Kan sore tadi udah?" Dia tersenyum genit sembari menatap dengan intens.

KISAH TAMPAN (GAY STORIES)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang