Angin malam yang dingin tidak menggangu langkah Arion, sambil menutupi wajahnya dengan tudung jaket, Arion menelusuri jalan yang sudah sepi itu. Langkahnya berhenti di salah satu gang, sudah ada yang menunggunya disana. Arion berjalan mendekati pria itu, memberikan barang yang dibawanya dengan cepat kepada pria didepannya. Pria itu memberikan uang kepada Arion lalu menepuk bahu Arion dua kali sebelum pergi.
Senjata api rakitan, itulah barang yang Arion berikan kepada pria tadi. Sebenarnya ini hanya pekerjaan sampingannya saja, Arion akan membuat senjata api rakitan jika ada yang memesan padanya. Arion menghela nafas lalu memasukkan uang yang diterimanya tadi kedalam saku jaket lalu berjalan meninggalkan gang itu.
"Dari mana lo?" Tanya Raefal saat melihat Arion baru pulang padahal sekarang sudah pukul satu malam. Arion awalnya terkejut karena Raefal masih bangun, tapi dengan cepat pemuda itu merubah raut wajahnya menjadi datar.
"Hanya jalan-jalan." Arion duduk di sebelah Raefal, pemuda itu mulai fokus pada tayangan televisi didepannya. "Arion, lo tau kan menjual senjata rakitan itu salah tapi kenapa masih lo lakuin?" Fokus Arion yang awalnya pada televisi beralih pada Raefal yang sudah menatapnya. Raefal tau betul untuk apa Arion keluar malam-malam begini, ini bukan yang pertama kalinya.
"Tau, tapi saya membuatnya jika ada yang memesan saja, itupun bisa dihitung dengan jari."
"Lo pernah mikir nggak kalau senjata-senjata yang lo buat selama ini disalahgunakan? Bisa saja senjata yang lo buat itu merenggut nyawa orang yang tidak bersalah, karena orang-orang yang membeli senjata dari lo pasti menggunakan senjata itu untuk hal-hal negatif. Arion, gue tau lo punya kemampuan untuk itu, tapi tolong pikirkan akibatnya. Kalau ibu lo masih hidup, apa beliau mau melihat putranya ini menjual senjata rakitan yang sudah jelas-jelas ilegal?"
Raefal tau sahabatnya ini membuat senjata-senjata itu untuk mengalihkan emosinya. Sejak kepergian sang ibu, Arion selalu dihantui rasa bersalah karena sampai sekarang dia masih belum mengetahui pelaku dari tabrak lari ibunya, sebenarnya Arion sudah mencari tau tentang plat mobil itu tapi mobil Range Rover yang dilihatnya malam itu seperti hilang ditelan bumi. Arion mengalihkan pikirannya dari rasa bersalah yang selalu menghantuinya dengan melakukan tindakan buruk seperti menjual senjata rakitan, tak jarang pula ia pulang dengan babak belur karena berkelahi. Ya, seperti itulah kehidupan Arion saat tujuan hidupnya sudah tidak ada lagi.
Arion tidak menjawab perkataan Raefal dan lebih memilih untuk pergi ke kamarnya meninggalkan Raefal yang menatapnya sedih.
"Arion, lo seperti tidak punya teman saja. Kenapa lo nggak pernah mau membagi masalah lo dengan kami, gue tau lo butuh tempat untuk cerita." Raefal menatap sedih pintu kamar Arion. Pemuda itu selalu menyembunyikan semua masalah yang dimilikinya, Raefal merasa Arion seperti membangun tembok pembatas diantara mereka.
Sedangkan didalam kamarnya Arion sedang menghisap batang nikotin itu lagi, menghembuskan asapnya dengan kasar. Pemuda itu juga tidak mau seperti ini, andai ibunya masih hidup sudah dipastikan telinganya akan ditarik oleh Elvina dan dia akan diberikan berjam-jam yang isinya omelan, andai saja.
Arion mengerjapkan mata, sepertinya usapan di kepalanya mengganggu tidur Arion. Pemuda itu langsung duduk saat melihat Alma sudah duduk manis di samping kasur, sejak kapan gadis itu ada di kamarnya?
"Maaf, gara-gara aku kamu jadi kebangun."
"Tak apa, kenapa pagi-pagi sudah ada disini?" Tanyanya sambil mengelus rambut Alma, entah kenapa Arion jadi suka mengelus rambut gadis itu. Alma hanya diam, dia masih terkejut dengan tindakan Arion yang mengusap rambutnya, walaupun sudah sering tapi entah kenapa hatinya masih saja berdebar-debar saat Arion melakukan hal itu.
"Alma."
"Eh? Iya, nggak kenapa-kenapa sih, cuma rindu. Mumpung aku lagi izin ke papa buat pergi sama Nala, jadi sekalian ketemu sama kamu." Arion hanya mengangguk paham, matanya tidak sengaja melirik barang bawaan Alma. "Kamu bawa apa?" Alma lantas mengangkat kantung belanjaannya lalu menyodorkan kantung itu ke hadapan Arion.
"Untuk kamu." Arion mengerutkan keningnya saat melihat isi kantung itu, satu pack permen tangkai. Gadis ini mau membuatnya sakit gigi atau gimana?
Mengerti dengan kebingungan Arion, Alma pun mulai buka suara. "Aku beliin permen tangkai untuk ganti rokok, kamu coba ganti rokoknya sama permen ini ya?" Alma tau tidak semudah itu untuk berhenti merokok, tapi tak ada salahnya mulai mengurangi konsumsi batang nikotin itu, lagipula lebih baik mengisap permen daripada rokok.
"Oke, akan saya coba. Tapi tidak janji." Arion membuka satu bungkus permen itu lalu memasukannya kedalam mulut, walaupun belum cuci muka apalagi gosok gigi, lebih enakan rokok sih menurut Arion.
"Terimakasih, sayang." Arion kembali mengusap kepala Alma sampai sebuah suara menghentikan kegiatannya itu.
"Sorry nih ganggu, tapi kita nggak bisa lama-lama disini, al." Nala sudah membuat gerakan mengetuk-ngetuk jam tangannya yang artinya mereka harus segera pergi.
"Cepet amat sih, baru juga mau pdkt." Tiba-tiba saja Ezra muncul dibelakang Nala dengan memasang wajah sedihnya yang membuat Nala ingin memukul wajah yang sialnya tampan itu.
"Pdkt sana sama pohon. Dipikir imut apa pasang wajah cemberut gitu?"
_____ _____ _____
"Raefal kemana, za?" Kedua pemuda itu sedang bersantai diruang tengah dengan keadaan kaki Ezra ada dipangkuan Arion.
"Nggak tau, dia pergi pas Alma sama Nala sampai sini. Pijitin dong Rion." Arion lantas mendorong kaki Ezra yang ada dipangkuannya hal itu membuat Ezra terjatuh dari sofa yang mereka duduki. Ezra memandang sengit Arion sambil mengusap-usap pantatnya yang ngilu karena terjatuh tadi.
"Lo ada masalah apasih sama Raefal?" Tanya Ezra sambil duduk kembali di samping Arion.
"Cuma salah paham, nanti saya luruskan."
"Ya, memang harus diluruskan kesalahpahaman ini. Lo juga, tolong berhenti lah buat senjata rakitan itu. Kalau sampai Alma tau, habis lo."Arion menepuk bahu Ezra lalu menatap pemuda itu. "Iya, saya tidak akan membuat senjata rakitan lagi. Lagipula ada hal lain yang bisa dilakukan, seperti menjadikanmu sebagai samsak, bagaimana?" Ezra lantas memukul kepala Arion, pemuda itu berdiri dihadapan Arion sambil berkacak pinggang. "Otak lo kayaknya korslet ya. Tega lo jadiin gue samsak tinju? jadi cuma segini harga persahabatan kita? Cukup tau gue." Setelah mengatakan itu Ezra pergi ke dapur untuk mengambil snack dan minuman dingin, capek dia ngomong sama Arion.
Pintu rumah itu terbuka dan menampilkan Raefal dengan belanjaannya, Arion lantas bangkit dan menolong membawa belanjaan itu ke dapur.
"Aelah, diam-diam an kayak pengantin baru lagi berantem aja." Ezra tak tahan dengan sikap canggung dua sahabatnya itu, mereka berinteraksi tanpa berbicara. Arion yang menyusun belanjaan ke dalam kulkas dan Raefal yang memberikan belanjaan pada Arion untuk disusun, apa salahnya mereka saling bicara.
Seperti sekarang, saat memasukkan telur kedalam kulkas Arion meletakkan telur itu begitu saja didalam kulkas, bukannya ditempat khusus untuk telur. Raefal yang melihat itu lantas langsung memindahkan telur itu ketempat yang seharusnya, kalau tidak, bisa pecah telurnya karena menggelinding.
"Raefal, ayo bicara."
"Iya, kalian memang perlu bicara." Ezra ingin meninggalkan dapur agar mereka bisa bicara berdua, tapi suara Raefal menghentikannya."Ezra, lo disini aja. Ini masalah kita bertiga." Raefal memang berbicara pada Ezra tapi matanya menatap Arion. Ezra menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba gatal. "Ya udah, kalau gitu kita bicaranya di ruang tengah aja."
To Be Continue . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Nuraga
General FictionIni tentang Arion melviano, lelaki penuh masalah yang tak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah setelah mengenal Alma, perempuan yang berhasil merebut hatinya. Tapi bagaimana jika mereka terpaksa berpisah, apakah Rion mampu menjalani hidupnya...