Angin berembus cukup kencang, dahan serta ranting menari bersamanya dan debu pun mengudara. Beberapa lembar kertas melayang-layang seturut arah angin membawa.
Ujung jarit dan kebaya yang membalut tubuh sintal seorang gadis berambut panjang dikepang dua, melambai-lambai tak luput dari terpaan sang bayu. Meski ayunan kakinya tidak lebar, tetapi pasti dan percaya diri.
Bibir merah merona mengukir senyum tipis saat matanya mengerling sesuatu yang dia pegang di tangan kanan---dibungkus kain putih motif kotak-kotak biru tua.
Bibirnya semakin lebar tertarik ke samping ketika rumah yang hendak dia tuju sudah terlihat. Meskipun sama-sama dibangun dari kayu papan dan anyaman bambu, tetapi rumah itu terlihat paling bagus dan seperti menjadi satu-satunya rumah yang berdiri kukuh.
Sepertinya, dua tiang penyangga teras terbuat dari balok kayu jati berukuran cukup besar yang jadi penyebab. Karena rumah lain yang ada di sekitar, kebanyakan hanya menggunakan bambu sehingga terkesan rapuh.
Di saat siang begini, biasanya rumah itu ramai karena ada beberapa pemuda pejuang yang sering datang untuk ikut makan. Mereka akan menggunakan kesempatan berkumpul, untuk membahas apa saja yang berkaitan dengan penjajah dan situasi Kota Bandung saat ini.
Kini, yang masih menjadi bahan obrolan panas adalah tentang ultimatum yang memerintahkan supaya Kota Bandung dikosongkan.
"Inggris belgedes! Seenaknya mengusir kita dari tanah kelahiran kita sendiri! Eaah!" Suara gebrakan meja menyertai kemarahan yang terlontar dari mulut seorang pemuda berambut keriting, bermata bulat---tanpa melebarkan mata pun bola mata sudah terlihat melotot.
Bersamanya ada dua pemuda lain, yang satu berambut gondrong dan berkumis sedang berdiri menyandar di tiang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tanpa ekspresi cukup berarti, selain kesan angker alami karena kumis dan rambut rimbun.
Sedangkan pemuda satunya berwajah manis, rambut lurus belah tengah, memiliki tatapan sayu, dan kulit sangat putih bila dibandingkan kedua temannya yang kecoklatan. Kesan lembut dan penyabar bisa dirasakan saat dia berbicara,
"Daripada marah-marah tidak jelas, lebih baik kita pikirkan bagaimana cara memberi pelajaran pada orang-orang kulit putih yang sombong itu," bahkan saat nada marah membungkus kata-katanya, tetap saja terdengar halus dengan suara serak-serak basah.
Kedua teman menatap penuh arti. Si keriting yang berada di hadapannya---terpisah meja---mencondongkon diri dan berujar, "Kulitmu juga putih ... apa kau lupa, Jat?"
"Jauhkan wajahmu dariku, Run." Jati menolak wajah Bahrun.
"Setelah peristiwa perobekan bendera Walanda, situasi semakin menegang, mereka juga semakin sewenang-wenang." Si gondrong memisahkan diri dari tiang rumah yang telah menjadi tempat bersandar kira-kira selama lima belas menit lamanya, lalu bergabung dengan yang lain. "Kamu masih belum mau cerita, sebenarnya apa yang terjadi waktu itu?" Menatap Jati, berharap mendapatkan jawaban, tetapi sia-sia. Jati malah hanya menghela napas lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Seperti yang telah diperkirakan oleh para serdadu Belanda itu, Jati Siman adalah contoh nyata korban pelecehan yang tidak berani buka mulut. Bahkan karena merasa diri sudah tidak pantas untuk sang kekasih, Jati nekat memutuskan hubungan. Namun saat ditanya apa alasannya, dia malah bisu, membuat semuanya tetap menjadi misteri.
"Punten," suara lembut memberi salam, mengalihkan perhatian mereka---serempak menoleh ke arah pintu.
"Mangga," Singgih, si gondrong membalas.
Bahrun, si keriting tersenyum lebar. "Kamu masak apa, Ning?" tanyanya antusias.
"Aa-aa, makanan sudah siap!" Seorang gadis berambut pendek---potongan pria---muncul dari satu-satunya pintu yang ada di seberang ruangan membawa dua mangkuk lalu meletakkan di meja. Senyum lebar menciptakan lekukan curam di kedua pipinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/319599074-288-k687130.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah yang Terlewatkan[LGBT|TAMAT]
Historical Fiction[FIKSI SEJARAH] [CARITA TERPILIH UNTUK READING LIST LGBTQ #RAINBROWPRIDEFIKSISEJARAH] Kisah Romansa dengan latar belakang zaman sejarah, tidak hanya terjalin di antara pria dan wanita atau pribumi dengan pribumi saja. Meskipun kesenjangan merajalel...