2. Kisah Louis dan Restu

226 34 4
                                    

Arogansi Sekutu dan serdadu Belanda membuat rakyat Bandung marah. Alih-alih gentar, semangat juang mereka justru seperti dibakar. Jiwa nasionalisme sangat tinggi, tidak takut mati demi kebebasan negri.

Setelah hampir selama empat bulan ketegangan terus meningkat, karena masyarakat Bandung begitu gigih dan totalitas dalam mempertahankan hak. Akhirnya hari ini, Kamis, 21 Maret 1946, kota Bandung dihujani ribuan kertas yang dihamburkan oleh pesawat angkut milik Inggris dari udara.

Kertas-kertas tersebut merupakan ultimatum kedua. Isinya adalah perintah agar para ekstrimis Indonesia harus mengosongkan Bandung selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946, jam 24.00 dan mundur sejauh 11 km dari tanda kilometer nol.

______

Beberapa kertas yang telah menjadi satu dalam bentuk gumpalan mendarat tepat di wajah tampan Louis. Berdiri menyandar di dinding dekat jendela dengan tangan terlipat di dada, mata hijau kecokelatan menatap lekat pada pemuda di hadapannya yang sedang murka.

"Apa-apaan itu, huh? Kenapa kami yang harus pergi dari tanah kelahiran kami sendiri?" Iris cokelat gelap berkilat-kilat, setiap sudut di garis wajah tegas.

Louis mengangkat bahu tak acuh dan bibirnya mencibir. "Itu bukan kemauan kami. Lagi pula kamu tidak perlu pergi. Tetap di sini bersamaku," ujarnya enteng dengan pelafalan yang tidak fasih. Kaki jenjang melangkah menghampiri pemuda yang, seperti hampir meledak saking marahnya.

Telapak tangan Louis yang besar membingkai rahang kokoh si pemuda. Perbedaan tinggi badan yang cukup jauh, membuat Louis harus menunduk dan memaksa pemuda itu mendongak.

"Kau pikir aku bodoh?" Pemuda itu melotot. "Kalian berkomplot ... dan jangan berpikir aku bahagia bersamu? Jangan lupa, Tuan Louis. Aku ini hanya tawanan. Mana ada orang ditawan baha---" Kata-kata selanjutnya teredam di dalam mulut Louis.

Pria Belanda itu menciumnya dalam-dalam dan kelopak mata si pemuda refleks terpejam---membuktikan bahwa dia sudah terbiasa dengan hal semacam ini.

"Kamu bohong, Restu." Louis menatap lembut. "Aku tahu kamu suka---ya, walaupun awalnya tidak," Louis segera meralat ucapan karena begitu mata Restu kembali terbuka, tatapannya semakin nanar.

Ya, begitulah. Setelah cukup lama bersama dan Louis juga memperlakukan Restu dengan baik, bahkan terang-terangan mengatakan bahwa menyukainya, mungkin perasaan suka itu juga telah tumbuh di hati Restu.

Akan tetapi, pemuda usia 20 tahun ini selalu menyangkal dan tetap memosisikan diri sebagai tawanan. Cinta mungkin telah tumbuh, tetapi akar benci sepertinya masih jauh lebih kuat mencengkeram.

"Jika seluruh warga kota ini harus pergi, itu berarti aku juga harus pergi. Kau tidak bisa mencegah---"

"Tidak boleh!" Tatapan yang sesaat lalu lembut seketika berubah nanar. "Jangan coba-coba melarikan diri. Ingat, aku bisa melakukan apa saja pada perempuan tua itu ...."

Ludah yang Restu telan terasa padat menyakiti tenggorokan. Perempuan tua yang Louis maksud adalah salah satu penghuni di rumah terpencil tempat dia disekap ini. Bila tidak ada perempuan itu, melarikan diri adalah hal yang sangat mudah bagi Restu. Louis selalu mengancam akan menyakiti perempuan tersebut bila Restu berbuat macam-macam.

Sebenarnya, Restu tidak banyak tahu tentang Louis atau bisa dikatakan dia tidak tahu apa-apa. Hanya saja, sepertinya Louis cukup leluasa bertindak sesuka hati dan juga disegani oleh rekan-rekannya.

"Tetap di sini ... jangan menentangku, jangan membuat aku marah lagi," setiap kata diucapkan penuh penekanan. Tatapan tajam mengunci iris cokelat gelap Restu, mengirimkan sinyal intimidasi.

Restu tidak gentar. Balas menatap tajam menantang, seulas senyum tipis tersungging miring di sudut bibir kiri. "Kalau begitu lepaskan Bu Sedah."

"Tidak bisa!"

Kisah yang Terlewatkan[LGBT|TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang