Warga Bandung yang hendak mengungsi tumpah ruah di jalanan, mengalir laksana air bah menuju bagian selatan. Segala jerih payah yang dikumpul sedikit demi sedikit luluh lantak hanya dalam satu kali kedipan dilalap si jago merah.
Kota kami, tanah kelahiran kami, tetapi kenapa kami yang harus pergi? Membawa sedikit yang kami miliki dan meninggalkan sebagian besar hanya untuk dibumihanguskan. Mungkin seperti itulah jiwa mereka merintih.
Di jalan panjang nan remang hanya mengandalkan cahaya dari langit yang tidak seberapa, akhirnya mereka yang sempat membawa lentera dan menyiapkan obor, menyalakannya.
Seorang ibu muda tampak sudah kepayahan setelah cukup jauh berjalan sambil menggendong putrinya yang kira-kira baru berusia empat tahun, ditambah dengan harus menyandang buntalan barang bawaan di punggung. Berhenti di bahu jalan dan mengelap wajah yang berpeluh.
Pemuda berpostur tubuh kecil, memiliki tahi lalat di atas bibir kiri, menghampiri. "Ibu, sendirian?" bertanya sangat sopan menggunakan bahasa daerah sembari mengangkat lentera di tangan sejajar kepala.
Alih-alih menjawab ramah, si ibu ini malah balik bertanya ketus nan sarkas, menggunakan bahasa daerah juga, "Sendirian bagaimana? Apa kamu tidak lihat begini banyak orang?"
Maksud pertanyaan si pemuda sudah pasti tidak seperti itu. Rupanya pertanyaan yang terdengar konyol darinya, telah membuat ibu yang sudah kelelahan ini tidak mampu menahan emosi.
Si pemuda tersenyum ramah. "Maksud saya, suami atau anggota kaluarga yang lain ke mana, Bu?"
Tidak disangka-sangka, wajah kesal ibu itu seketika mencebik dan detik berikutnya tangis pun pecah dan disusul tangis yang lebih keras milik putrinya.
"Waduh, kok, malah nangis, Bu. Sini biar barangnya saya bantu bawa."
Perempuan itu tidak mencegah saat si pemuda menurunkan barang bawaan dari punggung. "Bapaknya anak ini mati ditembak orang Jepang! Nenek dan kakenya hanyut waktu banjir! Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hanya anak ini satu-satunya!" setelah mengoceh, tangisnya kembali pecah.
Pemuda itu celangak-celinguk, tidak tahu harus bagaimana menenangkan si ibu dan putrinya, juga merasa tidak nyaman karena semua orang yang lewat melihat ke arahnya.
Sekelompok pengungsi menghampiri. "Ada apa ini, Kang?" salah satu bertanya sembari mengangkat lentera yang dipegangnya lebih tinggi.
Wajah pemuda bertahi lalat tampak lega karena ada orang yang mau berhenti menyapa. "Ini, Kang, Ibu ini kelelahan."
Seorang gadis berkepang dua muncul dari balik tubuh pemuda yang membawa lentera untuk menghampiri si ibu. "Ibu, sini biar putrinya saya gendong."
"Hatur nuhun, Neng." Si ibu tidak keberatan, tetapi putrinya tidak mau dan menangis semakin kencang sembari memeluk leher ibu.
"Anaknya tidak mau, ya, jangan dipaksa, Ning. Sudah tidak apa-apa kita jalan pelan-pelan saja. Kasihan juga Bu Sedah sudah kelelahan," ujar pemuda yang tadi menghampiri, yang tidak lain adalah Jati.
"Ibu Sedah kalau merasa sudah tidak sanggup lagi jalan, jangan sungkan untuk bilang, ya, Bu."
"Ibu masih kuat, Nak Singgih. Jangan khawatir."
"Ya, sudah. Sebaiknya kita lanjutkan perja---"
"Aa Jati!" suara teriakan gadis ini menginterupsi perkataan Bahrun dan membuat yang lain menjengit kaget.
Semua menoleh dan mendapati Enjum berlari-lari kecil ke arah mereka. Suasana remang-remang dan jalanan tanah tidak rata ini membuat mereka mengernyit ngeri, khawatir bila gadis itu akan tersandung dan jatuh. Khusus Yaning, wajahnya langsung memberengut. Apalagi saat Enjum dengan seenaknya bergelayut di lengan Jati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah yang Terlewatkan[LGBT|TAMAT]
Ficción histórica[FIKSI SEJARAH] [CARITA TERPILIH UNTUK READING LIST LGBTQ #RAINBROWPRIDEFIKSISEJARAH] Kisah Romansa dengan latar belakang zaman sejarah, tidak hanya terjalin di antara pria dan wanita atau pribumi dengan pribumi saja. Meskipun kesenjangan merajalel...