8. Lemah, Letih, Lesu

121 20 1
                                    

Dini hari kisaran pukul tiga, Hubert meninggalkan rumah peninggalan pedagang Belanda, yang istrinya sangat menyukai keheningan sampai-sampai meminta dibangunkan rumah di atas bukit dan bertetangga dengan pepohonan. Baik Hubert maupun Louis mengetahui bahwa dulu yang tinggal di rumah itu hanya istri, anak, dan beberapa pelayan saja, sedangkan si pedagang sendiri pergi keliling negri.

Setelah dibebaskan dari kamp tawanan, Louis dan Hubert sering mengunjungi rumah itu, bahkan sudah menjadikannya sebagai markas. Mereka membersihkan sisa-sia bukti bahwa tentara Jepang juga pernah menggunakan rumah itu sebagai markas.

Hubert berhenti melangkah dan menyandar ke pohon besar untuk melepas lelah. Saat kemari, dia adalah korban penculikan oleh dua serdadu yang diperintahkan Jansen untuk membuang Louis. Jadi walaupun harus tengkurap di lantai mobil dan dijadikan tumpuan kaki Louis, setidaknya dia tidak perlu susah-susah berjalan kaki.

Dengan mengendarai mobil saja, dari markas ke sini butuh waktu satu hingga satu setengah jam lewat jalan besar yang masih alami, penuh bebatuan dan tidak rata. Ya, setidaknya sudah cukup lumayan bisa dilalui dengan mobil. Sekarang, Hubert memilih menerabas hutan untuk antisipasi kemungkinan Jansen telah menyadari ketidakhadiranya dan mengutus orang untuk menangkapnya.

Hubert mendengkus, miris pada diri sendiri. Semalam telah terjadi gencatan senjata besar-besaran dan dia malah berada di tempat aman, seperti prajurit pengecut yang lari dari medan perang.

Baru saja dia berniat hendak beranjak, tiba-tiba terdengar suara gemeresik dari arah kanan disertai deru napas ngos-ngosan dan ....

"Argh, sialan! Di mana aku ini?"

Hubert kembali merapatkan diri pada pohon besar, bergeming, menggenggam erat-erat senter yang ada di tangan kanan.

Dari bahasa dan aksen, suara itu jelas milik pribumi. Sepertinya dia tersesat. Hentakan kakinya tidak beraturan, Hubert menduga orang itu sudah sangat kelelahan. Embusan napas ngos-ngosan semakin terdengar jelas seiring gemeresik dedaunan kering yang terinjak-injak. Orang itu rupanya berjalan ke arah Hubert, lebih tepatnya ke arah pohon yang digunakan Hubert untuk bersandar.

Bahu Hubert menjengit saat benturan pada sisi lain pohon terasa tembus sampai ke dadanya. Bila orang itu terdengar menghambur-hamburkan napas, Hubert justru sebaliknya, hampir tidak berani bernapas. Suara benda dibanting kembali membuat Hubert menjengit---kali ini seluruh tubuhnya.

"Sialan! Air habis pula! Semuanya habis! Kompeni laknat!" Setelah marah-marah, pria itu tiba-tiba terisak dan merintih menggunakan bahasa daerah, "Apa aku akan mati di sini? Ya, Allah, aku tidak mau mati di sini."

Hubert memahami apa yang diucap oleh orang itu. Hatinya terenyuh, tanpa sadar tangan kirinya menyentuh botol air minum yang tergantung di pinggang.

Sudah sejak lama, Hubert dan Louis sering berkeluh kesah tentang penindasan yang dilakukan oleh orang-orang dari bangsanya terhadap pribumi. Namun, apa boleh buat, mereka hanya bawahan yang diharuskan taat pada perintah atasan.

Suara mengecap dan meneguk, menyadarkan Hubert dari keterpakuan. Orang itu berusaha membasahi tenggorokan dengan air ludah. Hati Hubert semakin tak tega.

Hubert menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan debaran jantung, berharap orang itu tidak akan tiba-tiba menyerang dengan senjata saat dia menyapa. Dia sampai ikut-ikutan menelan ludah karena tiba-tiba tenggorokan terasa kering dan setelah itu, tanpa sadar berdeham.

"Siapa itu?"

Hubert merasakan jantungnya bagai luruh ke perut, matanya membeliak, dan alih-alih mengatur napas dia malah menahan napas lagi.

Sensasi yang sama juga dirasakan pria itu. Dalam keremangan yang hampir menyentuh pekat, kepala bersurai ikal dan diikat kain merah putih, menyandar rapat ke pohon. Memejamkan pendengaran, mata bergerak-gerak berusaha lebih jauh menembus remang untuk menyelisik.

Sebelum-sebelumnya dia berpikir, berhadapan dengan penjahat atau serdadu musuh jauh lebih menakutkan dibandingkan hantu. Namun, sekarang dia merasakan yang sebaliknya---berharap bertemu musuh daripada bertemu makhluk halus.

"Ya, Allah ...." Selanjutnya dia ucapkan di dalam hati, segala macam ayat suci pengusir setan yang dihafal.

Dalam situasi yang begini menegangkan, Hubert bisa merasakan bahwa orang itu lebih ketakutan dibandingkan dirinya. Oleh karena itu, dia memberanikan diri bersuara, "Kamu haus? Aku punya air kalau mau ...."

Orang itu terpaku. Suara kompeni. Jangan-jangan hantu kompeni. Dia mendekap diri erat-erat karena bulu kuduknya meremang.

"Hei, kamu haus, 'kan? Aku punya air ...."

Memberanikan diri, pria itu bertanya, "Ka-kamu manusia, 'kan? Bu-bukan han ... han-tu?"

Hubert seketika menghela napas Lega. Pertanyaan itu, bagi dia yang tidak percaya dengan eksistensi makhluk gaib, terdengar sangat konyol. Tanpa ragu, Hubert menyalakan senter dan ....

"Ya, Allah, Ya, Robbi, MasyaAllah!" Tubuhnya terlonjak dan serta-merta menjauh dari pohon.

Hubert juga menjauh dari pohon, memutarinya untuk menemui orang itu. Setelah saling berhadapan, alih-alih senang karena bertemu sesama manusia, orang itu justru berteriak histeris dan akhirnya ambruk, pingsan.

"Argh! Malah pingsan. Bagaimana ini?" Hubert menyorotkan senter ke tubuh pria itu. Kalau aku tidak segera kembali, Jansen pasti mengutus orang untuk mencariku dan tempat ini akan menjadi target pencarian. Tapi, aku tidak mungkin meninggalkan orang ini di sini.

Tengah bimbang, Hubert teringat pada rumah yang belum jauh dia tinggalkan. Tidak akan makan banyak waktu bila dia kembali untuk menitipkan orang pingsan ini pada Restu. Setelah itu, dia akan berusaha secepat mungkin kembali ke markas dan memberikan laporan apa saja yang masuk akal untuk mencegah Jansen memeriksa daerah ini.
____________

Angin berembus cukup kencang, membuat si jago merah semakin liar berkobar. Bandung telah menjadi lautan bara, entah ada yang tersisa atau tidak. Siapa yang tahu?

Obor dan lentera sudah mulai redup, sedikit minyak tanah yang sempat dibawa oleh Singgih pun sudah habis. Rombongan Jati bertambah si ibu dengan putrinya dan Tofiq, bergerak bagai merayap memisahkan diri dari para pengungsi lain. Bu Sedah yang katanya sangat mengenal jalan, menjadi pemandu meski kondisi sudah sangat kepayahan. Singgih dan Yaning selalu berada di kedua sisi, memegangi lengannya.

Enjum yang tadi terus menempel pada Jati, pada akhirnya malah dekat dengan Tofiq. Gadis itu ternyata cukup peka akan situasi. Meskipun tidak tahu penyebab Tofiq tampak begitu terpuruk, Enjum tidak segan mengajak pemuda itu mengobrol. Terus mengoceh tentang hal-hal tidak penting, membuat Tofiq bosan setengah mati hingga melupakan kesedihan dan menyadari bahwa, Enjum sebenarnya sedang berusaha menghibur.

Sekarang keduanya terlihat akrab dan Tofiq tampak menikmati segala ocehan Enjum yang campur aduk. Terkadang tentang para kompeni, peperangan, asmara, nasib mereka, bahkan tentang masakan juga.

Jati berjalan berdampingan dengan si ibu dan Bahrun. Bocah usia empat tahun, putri si ibu tidur nyenyak dalam gendongan Jati. Setelah sangat jauh berjalan, kini mereka semua mengatupkan mulut rapat-rapat.

Semakin lama, langkah pun semakin tidak bertenaga. Saat sinar matahari mulai merekah di ambang fajar, mereka pun terkejut dengan kenyataan bahwa si penguasa siang itu muncul dari arah yang mereka tuju.

"Ternyata kita tidak ke selatan?" Jati mengedar pandangan ke sekitar yang seluruhnya pepohonan.

"Bu Sedah, kenapa membawa kami kemari, bukannya ke arah selatan?" Bahrun yang rupanya masih kesal, bertanya dengan nada ketus.

"Di balik bukit depan sana, kita akan mendapatkan tempat yang sangat nyaman sebagai tempat tinggal."

"Jadi, kita keluar dari Bandung hanya untuk mengambil jalan memutar dan akhirnya kembali masuk Bandung di sisi yang berbeda?" Ditilik dari cara berbicara yang berapi-api dan raut wajah masam, sepertinya si ibu merasa tidak puas pada Bu Sedah.

"Kalian tidak perlu khawatir, kita akan melewati hutan di balik bukit untuk sampai ke sana. Aman, tidak akan ada yang melihat.

Mereka hanya mampu saling bertukar pandang. Energi yang hampir terkuras habis membuat mereka malas berdebat.

[0]

Kisah yang Terlewatkan[LGBT|TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang