5. Derita Louis

124 23 5
                                    

Sepulang mengantar Restu dan Ibu Sedah sampai di perbatasan, Louis langsung menghadap sang paman untuk melapor. Berdiri tegak dengan dada sedikit membusung, Louis terlihat begitu tegar. Namun, air mukanya yang muram tidak bisa menipu pria dewasa berkumis lebat yang ada di hadapannya.

"Kamu jatuh cinta pada pria berkulit cokelat itu, huh? Aku tidak mempermasalahkan orientasi sexualmu, juga tidak peduli berapa banyak pemuda pribuma yang kamu lecehkan. Tapi aku peduli pada pilihan jodohmu."

Louis menatap tajam sampai lupa berkedip. "Aku belum pernah melakukan sebelumnya---"

"Dan sekali melakukan langsung suka sampai-sampai bermimpi bisa hidup bahagia bersamanya. Begitu, 'kan?!"

"Ya, tentu saja begitu!" jawaban lugas nan tajam, setajam tatapannya yang seakan ingin mengoyak mulut sang paman yang kerap kali tersenyum miring.

"Kamu mulai berani menentangku!" Gerakan tangannya yang hendak menampar Louis begitu cepat, tetapi pria yang lebih muda itu mampu lebih cepat menangkap.

"Aku sudah muak! Seperti halnya Paman mengetahui semua yang aku lakukan, aku juga tahu apa yang Paman lakukan. Paman menghina pribumi berkulit cokelat, tetapi tetap bisa menikmati para perempuan itu saat butuh, 'kan?"

Sang paman mengumpat dalam bahasa Belanda sembari mengentakkan tangan sekuat tenaga hingga terlepas dari cengkeraman Louis.

Kemudian membuat sang keponakan meringis dan mengaduh saat tinjunya bersarang di ulu hati tanpa bisa dihindari, hingga Louis terhuyung mundur dan merasakan pusing luar biasa kala punggung menghantam dinding.

"Lancang! Sekarang juga kembali ke tempat dan bersiap maju ke medan---"

"Aku menyerah!" Louis kembali tegak, dagu terangkat angkuh menantang, rahang mengetat, dan tatapan lurus ke depan.

"Apa kamu bilang?" Sang paman menghampiri dan berdiri sama tinggi saling berhadapan sangat dekat, sampai-sampai bisa saling merasakan sapuan napas satu sama lain. "Menyerah? Kamu bilang menyerah? Dasar pecundang tidak berguna!"

Louis memejamkan mata rapat-rapat saat air ludah sang paman menghujani wajahnya. Kedua tinjunya mengepal erat hingga kuku terasa menancap di kulit. Telinganya berdenging dan sakit.

"Aku perintahkan ... sekarang juga kembali---"

"Paman Jansen sudah mendengar keputusanku---"

Tamparan keras kembali menambah memar di pipi Louis. "Memutuskan, huh?! Kamu pikir kamu siapa?! Siapa yang memberi kamu hak untuk memutuskan?!"

Iris hazel yang sedari tadi selalu menatap lurus ke depan melewati pucuk kepala sang paman, akhirnya menyerah dan memberi pria paruh baya itu atensi.

"Mulai detik ini, aku adalah manusia merdeka. Tidak akan tunduk pada perintah siapa pun meski orang itu Anda, Tuan Jansen." Tidak ada keraguan sama sekali dalam ucapannya. Tekadnya sudah bulat, sebualat iris hazel-nya yang menatap lekat tanpa berkedip.

Tangan pamannya sudah terayun, tetapi sebelum berhasil mencapai sasaran sudah ditangkap oleh Louis. "Kalaupun akan turun ke medan perang, aku akan ada di pihak mereka untuk mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya."

"Louis!" Jansen berteriak sekuat tenaga tepat di depan wajah Louis. "Hanya untuk pemuda itu kamu rela merendahkan harga diri dan berkhianat!"

Louis hanya terpaku. Dia tidak peduli paman menyebutnya apa, tetapi dia jadi berpikir dan bertanya pada diri sendiri.

Sebenarnya apa yang mendasari keputusannya ini? Karena rasa cintanya pada Restu? Untuk menghindari kemungkinan bertemu di medan perang? Atau karena tulus dari hati nurani menyadari bahwa selama ini tindakannya salah?

Kisah yang Terlewatkan[LGBT|TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang