Rere bukan terlahir dari orang tua berada. Dia hanyalah gadis desa dengan segala kesederhanaannya.
Merantau ke ibu kota untuk melanjutkan pendidikan sudah menjadi cita-cita nya sejak masih duduk di bangku SMP dulu.
Bayangan kesuksesan dengan segala pengorbanan yang dijalani membuat Rere merasa sangat percaya diri bahwa dirinya bisa sukses membanggakan dan mengangkat nama baik keluarga.
Namun kenyataan tak seindah bayangan. Di usia yang baru menginjak delapan belas tahun Rere harus kehilangan keperawanan karena kesalahannya sendiri.
Keadaan yang menghimpit dengan banyaknya tuntutan kebutuhan yang mendesak membuat perempuan itu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Ditambah lagi sang bapak yang waktu itu keluar masuk rumah sakit dan membutuhkan biaya yang sangat besar untuk pengobatan memaksa Rere untuk melakukan pekerjaan nista itu. Walaupun pada akhirnya Rohman menghembuskan nafas terkahir tanpa di dampingi putrinya.
Waktu itu Rere tak memiliki jalan keluar selain menjadi seorang pemuas nafsu untuk laki-laki. Satu pekerjaan yang pada akhirnya membuat perempuan itu terjebak dalam kubangan dosa.
Tak ada rasa penyesalan dalam dirinya karena merasa pekerjaan itulah yang membuat dirinya dan Bian bisa bertemu.
Pertemuan yang pada awalnya sangat dibenci karena sikap laki-laki itu yang seenaknya sendiri namun seiring berjalannya waktu membuat dirinya tergil-gila dan bersyukur dengan kehadiran laki-laki itu.
"Bunda, misalnya Acel ikut ayah ke Jakarta, Ila bakal sedih nggak ya?"
Aycel duduk di samping sang bunda yang tengah sibuk membolak-balik majalah. Perempuan itu tampak tekun dengan kegiatannya sendiri hingga tidak menyadari kedatangan sang putri yang kini sudah duduk disebelahnya menanti jawaban dengan kening berkerut dalam.
"Sedih kenapa memangnya?"
Rere meletakkan majalah dan berganti menatap sang putri dengan raut tanya. Perempuan itu lalu memegang kedua bahu Aycel saat tak mendapat respon apapun dari gadis kecil itu.
"Sayang?"
Rere memanggil Aycel dengan lembut sesaat setelah menyadari perubahan raut sang putri. Dan dugaannya benar, tak lama Aycel terisak dengan kedua tangan yang langsung mengalungi erat leher sang bunda.
Setelah cukup lama menangis Aycel melepaskan pelukan dan menatap kedua mata Rere dalam.
Ada ketakutan juga kesedihan yang tergambar di kedua bola mata milik Aycel yang berhasil Rere sadari dan ia sangat tahu bahwa saat ini putrinya tengah berada dalam rasa bersalah. Sesuatu yang seharusnya tidak putrinya rasakan.
Hidup dengan Bian yang tidak selalu ada membuat Aycel semakin paham bagaimana hubungan keluarga mereka walaupun usianya belum dewasa. Gadis kecil itu tahu bahwa mereka adalah penghancur keluarga kecil sang ayah. Desas-desus yang selama ini terdengar membuat Aycel menyadari seuatu yang seharusnya tidak diketahui anak seusianya.
Aycel juga mengerti dimana posisinya dan juga sang bunda, hal yang tentu membuat Aycel menurut saat sang ayah tak bisa terus bersama mereka.
"Ila pasti sedih karena ayah punya anak lain. Aycel juga takut nenek bakal benci Aycel sama kayak nenek benci bunda."
Rere tertegun mendengar ucapan sang putri. Tak pernah menyangka putrinya akan berfikir sedalam ini.
"Sayang, jalan hidup yang tergaris sudah menjadi takdir dan tidak bisa dirubah. Tugas kita hanya menjalani dan menerima. Bunda tahu Aycel pasti sedih berada di posisi ini tapi Aycel harus ingat ada bunda dan ayah yang selalu sayang Aycel."
Hanya itu kata-kata penenang yang Rere punya. Berharap dengan kalimat itu putrinya akan berhenti membahas hal ini karena hanya akan membuat mereka berdua terluka.
"Tapi kata bu guru, jalan hidup kita sendiri yang tentukan bunda. Dan bunda seharusnya tidak usah menikah sama ayah kalau tahu harus terbuang begini. Maaf tapi terkadang Acel hanya iri dengan teman-teman yang lain."
Rere merasakan dadanya sesak, kedua matanya memanas dan siap menumpahkan bulir-bulir bening yang berusaha ditahan.
Keresahan, ketakutan yang selama ini diabaikan akhirnya harus dirasakan.
Putri semata wayangnya, putrinya dengan Bian yang selama ini mereka syukuri kehadirannya memilih orang tuanya tidak bersama karena kerumitan hubungan mereka.
Aycel yang menjadi permata mereka, anak yang mereka sayangi sepenuh hati dan mereka rawat dengan penuh kasih sayang telah menjadi korban dari keegoisan kedua orang tuanya.
Bunyi ponsel yang terdengar nyaring membuat Aycel dengan cepat bangkit berdiri.
Gadis kecil itu mengambil ponsel di atas nakas dan mengangsurkannya pada sang bunda. Rere yang menerimanya cukup terkejut dengan sepenggal nama yang tertera di sana.
Rere memilih menjauh dari sang putri. Tidak mungkin pembicaraan ini harus putrinya dengar juga karena beberapa kali ia kecolongan dan berakhir dengan Aycel yang berhasil mencuri dengar pembicaraannya. Namun kali ini ia tidak akan membiarkannya.
"Saya akan mundur kalau mas Bian yang meminta saya mundur."
"Dengan mengorbankan perasaan anakmu?"
"Kami bahagia dengan hidup kami yang seperti ini jadi tolong berhenti menyimpulkan sesuatu yang salah."
"Saya tahu kamu berbohong. Jadi sebelum luka putrimu semakin besar, cepat akhiri hubungan kalian karena sampai kapanpun saya tidak pernah ridho dengan pernikahan kalian."
"Saya rasa pembicaraan ini tidak akan pernah ada ujungnya. Dan moho diingat bahwa sampai kapanpun saya akan tetap bertahan unuk berada di posisi ini. Saya tidak akan pergi dari mas Bian karena kami saling mencintai."
"Kamu akan menyesal, pegang kata-kata saya."
"Saya tidak takut dengan ancaman anda. Berhenti mengatur saya dan semoga harimu menyenangkan."
Rere mematikan sambungan telepon dengan kesal. Tak peduli dengan sopan santun karena darahnya terasa mendidih dengan pembicaraan mereka yang tidak pernah selesai.
Perempuan itu memejamkan kedua mata rapat, menjambak rambut kasar berharap rasa panas yang seolah membakar hati cepat sirna.
Dia kuat karena kebahagiaannya ada pada Bian dan Aycel. Dia tidak pernah menyesali pernikahan mereka apalagi menyesali kehadiran Aycel yang banyak orang sebut sebagai petaka.
Dirinya mencintai keduanya, dia bertahan untuk mereka dan tak ada alasan lain untuk menyerah selain Bian sendiri yang memintanya pergi. Namun hatinya percaya bahwa suaminya tidak akan pernah melakukannya.
Bian mencintainya dengan sangat melebihi cinta laki-laki itu pada Ayu. Bain memberikan apapun yang ia minta, rumah, perhiasan, mobil bahkan barang-barang mewah yang tentu saja tidak laki-laki itu berikan pada Ayu.
Jika sudah begini apalagi yang perlu ia takutkan karena sampai kapanpun dirinyalah yang menjadi pemegang tahta tertinggi di hati sang suami.
Bian rela meninggalkan Ila yang sedang sakit hanya untuk menepati janji menemani putri mereka bermain. Bahkan laki-laki itu memilih tinggal di rumahnya di malam perayaan anniversarry pernikahannya dengan Ayu.
Bian memberikan segalanya. Laki-laki itu masih sangat mencintainya. Lantas apalagi yang harus ia takutkan?
Jum'at barokah.
Apa kabar semuanya? Setelah berhenti cukup lama Alhamdulillah akhirnya bisa update juga.
Bagaimana part ini? Sudah merasakan kekesalan dan ingin menendang seseorang??
Jangan lupa tinggalkan jejek dan selamat membaca.
Semakin aktif kolom komentar semakin cepat update 😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan yang Ternoda (PDF/KARYA KARSA/DREAME)
Fiction généraleAyu mengira kehidupan rumah tangganya adalah fase terbaik dalam hidupnya. Memiliki mertua yang menyayanginya dengan tulus, anak yang cerdas dan suami yang sangat mencintainya membuat perempuan itu tidak lagi mengingkan apapun. Ayu hidup bahagia. Tid...