1. Mission Impossible

48 8 3
                                    

Author note

1. Segala macam kesamaan nama dan tokoh hanya kebetulan
2. Cerita ini hanya fiksi belaka.
3. Selamat membaca ;)

.
Mission Impossible
.

SERAGAM lusuh dan muka babak-babak belur menghiasi mereka. Suara hantaman keras mengenai muka siswa berambut plontos. Sudah kesekian kali. Dominasi perkelahian antara dua orang siswa itu tidak terlalu seimbang. Siswa yang berada di atas tubuhnya terlihat juga tidak mau mengalah padahal lawannya sudah tak berdaya.

Melihat pemandangan mengerikan itu, tak ada satupun yang melerai mereka. Siswa lain terlihat senang dan menikmati perkelahian itu sambil meneriakkan jagoannya. Gang sempit dibelakang sekolah itu tidak membatasi pergerakan mereka.

"Ras, gue dapet info Elang ngehajar Luthfi anak sebelah di warung Bu Inah," teriak seorang siswa sambil menunjukkan ponselnya ke Laras.

"Duh gimana dong, Pak Imam bentar lagi dateng. Mati kita kalo anak kelas gak lengkap," imbuh siswi berpotongan bob di sebelahnya.

Siswi bernama Laras itu langsung bergegas berdiri. "Dim, anterin gue kesana," kata Laras pada siswa yang tadi menunjukkan ponselnya.

"Lu mau nyusul kesana? Serius?"

"Iya, Put. Titipin kelas ke Rendra, bilangin jangan sampe anak-anak ramai."

"Lu beneran mau kesana?"

Dimas pun heran dengan keputusan Laras, mengingat kemungkinan kecil untuk mereka membawa Elang dari sana. Yang akan mereka bawa itu, Elang- salah satu anak badung sekolahnya.

"Daripada kelas ini dihukum Pak Imam, pilih mana? Mumpung Pak Imam masih di DinDik, kita punya waktu."

"Iya sih," Putri yang mau tak mau mengiyakan pendapat Laras. "Ya udah sana, buruan anterin gih!"

Mereka berdua berlari sambil mengendap-endap agar tidak ketahuan pergi arah belakang sekolah mereka. Sialnya, sekolah mereka terlalu luas untuk misi buru-buru ini. Suara terengah dan jantung yang berpacu membuat adrenalin mereka semakin tinggi. Hingga mereka menemukan pagar yang membatasi sekolah mereka dengan pemukiman warga.

Dimas berjalan ke arah sisi kanan gerbang, tak jauh dari sana ada celah yang lumayan besar untuk dilewati satu orang.

"Kok lu bisa tau, Dim?"

"Apa sih yang gak Dimas tau," timpal Dimas, sombong. Baiklah Laras akui Dimas ini memang gudang informasi terup to date dan terlengkap. Dari gosip anak hits sekolah sampai tukang fotocopian depan sekolah ia tahu. Bisa kali Dimas jadi admin lambe turah.

"Udah yuk, keburu Pak Imam dateng."

Mereka melanjutkan pencarian mereka hingga menemukan warung sederhana yang sudah dihiasi sekumpulan anak dengan seragam berantakan di depannya.

"Wah kalo gini gimana misahinnya?" Dimas berdiri mematung melihat keadaan di depan mereka dan sorak sorai diantaranya. "Bisa bonyok gue."

Laras yang melihat bagaimana kacaunya keadaan, cepat-cepat memutar otaknya. Seperti kata Dimas kalau ia menggunakan kekuatan jelas tidak mungkin, yang ada ia ikut babak belur. Laras bukan seorang yang diam-diam punya bakat berkelahi macam tokoh utama novel-novel. Sedang menggunakan ajakan persuasif maupun permohonan apalagi, lawannya bukan anak yang bisa dinasehati baik-baik. Pertempuran panas itu seperti kobaran api yang tidak sembarangan bisa dijinakan. Oh betul! Api!

"Ini bersih kan, Bu? Saya pinjam ya bu."

"Bersih si neng, eh tapi mau dibawa kemana?" teriak Bu Inah melihat Nuansa mengambil sesuatu dari warungnya.

Laras berjalan memecah keramaian dengan wajah tegas. Seakan tidak takut atau mungkin lebih bisa dibilang nekat.

"Eh Ras, lu mau ngapain bawa begitu-"

BYUR

Sebelum kata-kata Dimas selesai, guyuran air dari ember lebih dulu menyelesaikan pertengkaran di depannya. Sedang Laras dengan santai berdiri di sebelah mereka, tanpa takut mengganggu aktivitas Elang yang siap melayangkan bogem mentah ke wajah Luthfi.

"Ikut gue, gue butuh lo."

.

Elang yang digandeng oleh perempuan tak dikenalnya hanya pasrah. Ia bingung karena kejadiannya sangat cepat. Kepalanya juga enggan berpikir mungkin karena habis diguyur air satu ember?

Perempuan berambut lurus panjang di depannya dari tadi  berjalan tergesa-gesa dengan kaki kecilnya. Elang bisa mengukur tinggi perempuan itu mungkin berjarak kurang lebih 20 cm dengannya.

Oke jadi Elang dibawa kembali ke kelas. Ini pertama kalinya ia masuk kelas karena bolos tiga hari pertama.

Kelas itu sangat ramai, beberapa anak asik bermain game online di belakang sambil berteriak. Ada yang berlarian kesana kemari sambil bercanda dengan lainnya. Adapula yang sedang berdandan heboh di kelas. Sedang di depan kelas ada anak perempuan berpotongan Bob pendek mencoba menenangkan temen lainnya sambil mengetuk-ngetuk papan tulis.

Pandangan Elang masih mengamati teman sekelasnya satu per satu hingga ia mendapati tatapan yang sedari tadi mengarah padanya. Seorang siswa berambut cepak yang duduk di depan tiga bangku kosong menatapnya tidak percaya.

"Sial," batin Elang setelah tahu siapa pemilik mata yang menatap tidak percaya itu. Sedetik dengan itu Elang menghempaskan genggaman Laras. Elang pergi tanpa beban meninggalkan kelas.

Sebelum punggung Elang menghilang, Laras berlari menghadang. "Lo gak bisa keluar dari sini. Kita semua bisa dihukum kalo lo bolos."

"Gue males."

"Lo gak bisa keluar gitu aja."

Tidak langsung menimpali, Elang malah berusaha menegaskan dominasinya dengan mencondongkan badan ke arah Laras. Badan Elang yang jauh lebih besar benar-benar mengintimidasi. Laras mendapat tatapan tajam dan menyeramkan dari Elang hanya bisa terdiam. Elang terlihat jengkel dan tidak mau diganggu. Alarm di tubuh Laras memperingatkan untuk tidak terlibat lebih jauh dan membiarkan Elang keluar.

Air muka Laras terlihat sangat masam, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Usahanya sia-sia. Sudah dibilang yang Laras bawa adalah Elang, masih saja ia berekspektasi terlalu tinggi. "Kemana para berandal di belakang?"

"Rizki sama teman-temannya pergi gitu aja, pas tahu Pak Imam masih rapat. Gue gak berani nyegat. Lo tahu sendiri mereka gimana," jelas Putri.

Amarah Laras sudah ada di ubun-ubun. Kelas yang ia tinggal sangat kacau. Elang yang sudah capek- capek ia bawa kabur begitu saja. Tiga berandalan yang diketuai Rizky lainnya pun kabur. Laras malah mendapati Rendra yang duduk termenung di kursinya.

"Pada bisa diem gak sih! Anjing!"

Mendengar teriakan Laras seketika semua anak terdiam. Kemudian kembali pada posisi mereka. Teriakan menggelegar yang dapat dipastikan terdengar sampai kelas sebelah.

"Laras! Apa-apaan kamu! Berkata kasar seperti di hutan saja!"

Tak lama setelah teriakan Laras, seseorang berseragam khaki memasuki kelas. Seorang guru senior dengan wajah garang berambut sedikit botak. Beliau tak lain adalah Pak Imam, guru matematika super duper killer.

"Bapak bisa mendengar kegaduhan kalian! Bukannya belajar malah main-main! Sebagai hukuman hari ini kita latihan soal, bagi siswa bernilai tujuh puluh lima ke bawah akan remidial hingga nilai kalian memenuhi. Kemudian kerjakan latihan soal bagian pertama pada buku cetak halaman 15-18 dikumpulkan besok pagi maksimal jam 10.00. Jika ada yang tidak mengerjakan, akan Bapak hukum satu kelas."

Sontak anak-anak badung itu berteriak kecewa. Mereka mengeluh dengan tugas yang Pak Imam berikan. Sudah latihan soal hari ini, mereka juga harus mengerjakan soal matematika sampai tiga lembar. Meledak yang ada otak mereka.

"Tidak ada tapi-tapian, atau Bapak jadikan dua kali lipat tugas kalian?" ancam Pak Imam. Serta merta mereka terdiam, tidak protes lagi. "Dan Laras, temui saya di ruang guru setelah pelajaran selesai."

.

What We Liked Those DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang