3. Youngblood

18 2 0
                                    

Aktifitas telah memadati ruangan itu. Pertanda puncak hari sedang dilalui di tengah terik matahari yang seakan berada tepat di kepala. Sama halnya di ruang guru itu, didapati ekspresi Laras cukup prihatin melihat wali kelasnya yang sedang memijat pelipisnya berkali-kali.

Beberapa siswa mondar-mandir ikut memadati ruangan. Sedang beberapa guru sedang mengistirahatkan diri setelah bekerja. Adapula yang sedang menerima konsultasi di jam istirahat. Tapi Kartika masih terpaku di tempat duduk dengan pikirannya.

Setelah bergelut cukup lama di kepala akhirnya Kartika bersuara. Didahului hembusan napas yang dibuang dengan sangat dalam, entah sedang membuang apa.

"Ya sudah kalau begitu. Nanti ibu coba bicara ke Pak Imam mengenai tugas kalian yang tidak lengkap. Semoga Pak Imam, bisa memahami perihal ini. Ibu akan datang lagi setelah kelas terakhir untuk perwalian."

"Baik, Bu."

Kemudian Laras melihat Kartika tersenyum simpul, "Terimakasih Laras, kamu sudah bekerja dengan baik mengurusi kekacauan ini, di luar ini memang sudah bukan tanggung jawab kamu. Kamu boleh balik ke kelas."

Setelah mengiyakan perintah wali kelasnya, Laras pamit untuk undur diri. Sudah hampir dua puluh menit ia berdiri di ruang itu.

"Eh, sebentar Ras. Apa Elang masih belum berangkat ?"

"Iya, Bu."

Jawaban Laras buru-buru membuat Kartika lagi-lagi memijat pelipisnya.

"Ya, sudah. Kamu kembali ke kelas."

Kartika, guru junior di SMA Nusantara. Ini kali pertama Kartika menjadi wali kelas. Mungkin guru-guru lain bisa memaklumi kekurangannya. Tapi bagaimana dengan anak didiknya? Ia sebisa mungkin harus dapat mengendalikan situasi. Ini yang membuatnya pusing, kelasnya terlalu nyentrik untuk pemula seperti ia.

"Ada apa dengan Bu Tika? Sepertinya akhir-akhir ini terlihat kacau."

"Bu Risma pasti belum dengar? Kelas Bu Tika sedang bermasalah dengan Pak Imam," tanggapan terlontar oleh seorang wanita paruh baya yang duduk tak jauh dari meja Kartika.

"Ah, kelas XI IPA 5 memang nyentrik," ucap Bu Risma yang prihatin melihat guru muda di depannya itu.

"Iya bu," jawab Kartika disusul senyum ringan.

"Yang sabar ya, Bu Tika."

.

"Mau mengisi perwalian, Bu Tika?

"Eh, Pak Anwar. Iya pak."

Ucapan Anwar memecah lamunan Kartika yang berkepanjangan. Sudah dua kali kelas perwaliannya bermasalah guru padahal masih awal ajaran baru. Tidak hanya itu beberapa siswa lelaki terlibat perkelahian. Malang nian nasib guru junior yang satu ini.

"Saya merasa tidak kompeten guru." Kartika menggantung kata-katanya setelah membiarkan lengang dalam perjalanannya menuju kelas.

"Saya merasa tidak bisa mendidik anak kelas saya, Pak."

Anwar tersenyum. Kartika mengingatkannya pada bagaimana dirinya dulu menghadapi anak-anak badung. Sebagai guru bimbingan konseling yang sudah mengajar hampir tiga puluh tahun, Anwar memafhumi bagaimana masa remaja adalah masa paling susah diatur. Selama tidak bertentangan dengan norma dan hukum.

"Itu wajar, Bu Tika. Tidak ada yang langsung mahir dalam apapun. Bapak juga begitu."

Kartika tersenyum sedih. "Tapi apa saya mampu ya, Pak?"

"Mampu, Bu Tika. Jadikan dirimu sebagai teman mereka. Cobalah pahami dan kenali masing-masing individu."

Kekehan Anwar entah bagaimana membuat Kartika hangat, bak bertemu ayahnya yang telah tiada. Nasihat seorang bapak pada anaknya, ia rindu akan itu.

"Bu Tika masih muda, ibu pasti bisa lebih dekat dengan mereka. Bisa lebih dekat dengan zaman mereka."

"Iya, Pak." Kartika menampakkan senyum lega. Anwar menepuk lembut Kartika. Sebelumnya berkemul dengan rasa rendah diri, sedikit-sedikit Kartika bisa menyemangati dirinya sendiri.

Kebulatan tekad Kartika telah membawanya pada kelas perwaliannya. Beberapa anak duduk dengan tertib, seakan sudah menunggu Kartika. Sambil berbenah, mereka memperhatikan Kartika yang sedang membuka perwalian.

Namun berbeda dengan kasak-kusuk dari kursi belakang. Mereka berdiri dari kursi mereka, bersiap untuk keluar. Pakaian yang acak-acakan. Keluar dari mana saja. Air muka yang sombong seperti jagoan.

"Rizki! Kamu mau kemana!" cegat Kartika

Siswa bernama Rizki menghentikan langkahnya kemudian menatap Kartika tajam. Congkak. Rizki bersikap seolah penguasa kelas dan Kartika hanya kecoa kecil yang akan mati dengan sekali injak.

"Rizki!"

Titah Kartika tidak sekalipun menggugat siswa berbadan pendek berisi itu. Siswa lain tak ada yang berani mencegat Rizki. Tiga cecunguk pengikut Rizki memberika pandangan mengejek pada seisi kelas.

Kartika bergegas mencegat Rizki beserta cecunguknya dengan dirinya sendiri di depan pintu keluar. Kartika adalah guru disini, mereka sebagai murid harus menghormati Kartika. Tidak sejalan dengan itu, Rizki mendorong dengan keras Kartika. Guru dengan perawakan kecil itu seketika terjatuh dengan keras menabrak kursi di sampingnya.

Tiba-tiba seorang siswa laki-laki berbadan tinggi menarik kerah Rizki. Amarah menguasai wajah siswa tinggi itu. Rizki yang tengah tergantung hanya tersenyum meremehkan.

"Berani lo?"

"Rendra!"

Panggilan Kartika memecahkan niat siswa laki-laki tinggi itu untuk mencekik Rizki. Genggaman erat Rendra perlahan mengendur. Rendra melepas kerah baju Rizki beserta perlawanannya. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Rizki melayangkan pukulan pada wajah Rendra.

Kemudian dua cecunguk itu memeganggi Rendra, mengunci pergerakkan. Rizki dengan jumawa memukuli Rendra tanpa ampun.

"Rizki! Hentikan!"

Kartika berdiri mencoba melerai mereka tercegat oleh tangan Laras. Siswi yang menemui Kartika saat istirahat tadi. Laras mengelengkan kepala, seolah melarang Kartika.

"Ibu, kalah tenaga. "

"Tapi kalau dibiarkan ini berbahaya, Laras."

Perkelahian itu memanas. Siswi di kelasnya berteriak ketakutan. Rendra ditendang dan dipukuli secara brutal di luar kelas. Kartika yang beringsut berdiri, dicegat oleh Laras kembali.

"Kita tidak mampu melerai mereka, Bu. Saya sudah meminta Dimas untuk memanggil Pak Anwar."

Perkataan tegas dan logis Laras entah mengapa menusuk hati Kartika. Perasaan kecewa tiba-tiba kembali merayap di hati Kartika. Setidak kompeten itu kah Kartika sebagai guru? Kartika termangu menerima fakta itu. Sakit, lebih sakit ketimbang kakinya yang terkilir karena dorong Rizki.

.

What We Liked Those DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang