4. Language

20 1 0
                                    

TERIAKAN memekikan telinga tak usung berhenti. Seperti sebuah orkestra yang mengiringi panggung sebuah pertunjukkan. Kali ini, pertunjukkan action sepertinya, pertarungan tiga lawan satu. Kalau ditaksir dari fisik seharusnya siswa berbadan tinggi itu tak semudah itu ditumbangkan.

Badan Rendra seperti mengorbankan diri sebagai samsak hidup. Pasrah tiada perlawanan. Tentu buah dari keikhlasannya adalah memar di seluruh muka dan tubuh.

Rendra menggerakkan badannya dengan serba salah. Seperti mengiba untuk tidak dihukum lebih lanjut oleh Pak Anwar. Ini juga yang membuat Rendra lebih lamban ketimbang tiga anak badung lainnya yang keluar lebih dahulu dari ruang BK setelah menulis seratus kalimat permintaan maaf berserta akumulasi skor kebanggaan mereka.

Maka di sinilah Rendra masih berkutat dengan Pak Anwar. Dipaksa melakukan aktivitas lainnya.

"Skak mat!" ucap Pak Anwar antusias.

"Jago juga Rendra main catur."

Rendra heran melihat antusias berlebih Pak Anwar. Aneh, permainan catur mereka. Rendra tidak tahu kenapa, seperti tidak ada tantangannya. Sudah tiga ronde, kemenangan terus-menerus membuatnya jenuh mungkin? Awal memang terasa menyenangkan, tapi sekarang sama sekali tidak. Tunggu, bukan karena Rendra seorang grand master catur dan membuat permainan ini jadi membosankan. Rendra bisa pastikan, Pak Anwar sengaja mengalah dari awal permainan.

"Ayo kita main lagi."

Rendra kembali menyusun bidak-bidak catur yang ada di meja dengan ogah-ogahan. "Pak ini sudan tıga ronde, apa Bapak tidak bosan?"

"Belum, sampai Bapak menang,"

"Bapak tidak akan menang, kalau bapak sengaja mengalah terus begitu pak. " gerutu Rendra.

"Haha. Maafkan bapak, Ren." Pak Anwar tertawa lepas sekali, hampir membuat Rendra kesal. Sambil menepuk-nepuk bahu Rendra.

"Ternyata menang bisa jadi tidak menyenangkan juga. Sama halnya mengalah bukan sepenuhnya kalah, Rendra. Karna mengalah salah satu tindakan bijak bukti kemampuan pengendalian emosi. Bapak bangga apa kamu pilih, tapi lebih baik untuk tidak terlibat lagi ya. Karena kalau bonyok begini, muka kamu jadi tambah jelek."

Senyum mengejek tercetak di muka Pak Anwar yang sudah mulai menua. Rambutnya yang memutih, menandakan pengalaman hidup yang jauh lebih dari Rendra.

"Pak, gini-gini saya banyak yang naksir loh pak. Haha."

Ruang BK selalu bisa jadi ruang yang bahagia setelah disulap Pak Anwar. Walau terlihat orang yang sangat sabar dan menyenangkan tapi bukan berarti beliau tidak tegas. Pak Anwar mampu memberi hukuman bahkan teguran keras jika perlu.

Membuat Rendra terlambat keluar ruangan menjadi trik Pak Anwar. Rendra yakin, Rizki dan para cecunguknya menunggu di luar sekolah. Mereka ingin memberi pelajaran Rendra karena teritorinya terganggu. Tapi jika sampai selarut ini, mereka mungkin sudah pulang.

.

Hari kembali datang tanpa aba-aba. Belum siap betul hatinya untuk menantang tangguhnya dirinya sendiri. Setelah insiden perkelahian kemarin, Kartika harus berjalan pincang akibat terkilir dan diberikan surat istirahat beberapa hari. Permohonan maaf karena tak bisa mengisi perwalian harus Laras terima. Kini Laras harus menggantikan Kartika berkutat dengan setumpuk berkas perkenalan diri yang harus diisi oleh siswa di kelasnya. Berterimakasihlah pada Rizki dan para cecunguknya itu.

Kaki kecilnya melangkah kembali ke kelas. Beberapa tumpuk kertas diambil seketika oleh sosok perempuan berpotongan pendek. Putri dengan raut serius mamapak Laras dengan laporan menyebalkan. Ini masih pagi, umpat Laras dalam hatinya.

Mati satu tumbuh seribu peribahasa yang entah mengapa sungguh menyebalkan. Baru kemarin berkutat dengan pembuat onar satu, datang pembuat onar yang lainnya.

"Kemana lo kemarin sore, njing? Kabur?"celetuk Rizki dengan arogan pada lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Tak menggunakan tangan sebab diistirahatkan dalam kantung saku celananya, tak menghalangi kaki Rizki untuk menendang meja di depannya.

Rendra hanya diam. Rizki jengkel, tapi ada seseorang yang lebih menarik perhatiannya. Rizki berjalan ke belakang, meja yang tak jauh dari Rendra berdiri.

"Akhirnya pengecut satu ini datang juga,"

Rizki menggebrak meja, lelaki yang sedari menidurkan kepalanya pada meja seketika mengangkat wajahnya yang datar. "Hah," umpat Rizki jengah. "Berdiri lo! Lo pikir lo sapa hah?"

Rambut acak-acakan lelaki itu hampir menutupi sebagian besar mukanya, kemudian disisir tangan ke belakang. Tampak sorot mata tajam pada mata lentik itu, diiringi hidung mancung dan bibir kecil yang terlihat masam.

"Udah Ki, jangan berantem. Elang, lo juga jangan kepancing."

Rendra berdiri diantara mereka, melakukan segala seusaha mencegah pertengkaran ini sepersuasif mungkin. Rendra terlihat hati-hati supaya tidak menyenggol sana-sini.

"Aduh gimana ini. Nakutin banget."

Pemandangan indah pagi hari. Pencegahan tidak mungkin bisa dilakukan Rendra sendiri, Laras sudah mengantisipasi dengan membisiki Galih- penanggung jawab pelajaran matematika- untuk menjemput Pak Imam di ruang guru jauh-jauh tadi. Kemelut di belakang terlihat lebih intens sedang Pak Iman belum juga datang. Rendra berusaha melerai dua orang itu.

"Berhenti! Pak Imam bentar lagi dateng, atau kalian mau dihukum!"

Laras putuskan untuk terlibat. Walau belum terjadi adu fisik, tapi Rizki sudah meremas kerah Elang kencang. Tuhan kali ini mendengar permintaan putus asa Laras. Tak seberapa lama Pak Imam datang, dengan wibawanya seketika kelas langsung hening. Anak-anak kelas duduk di tempat masing-masing. Rizki pun sudah melepaskan genggegaman di kerah Elang. Tersisa tatapan tajam dan tak urung mendudukan tubuhnya di sebelah Martin -salah satu cecunguknya.

"Kalian bertiga tidak mau duduk? Atau memang mau bapak hukum berdiri di depan?"

Berat hati terlihat dari bagaimana Rizki berjalan berat dan mendudukan diri di kursinya. Sedang Elang dan Rendra masih berdiri mematung di tempat.

"Siapa yang bertanggung jawab sebagai ketua kelas?"

"Saya pak." jawab Laras sembari mengangkat tangan.

"Oke, Laras kamu duduk dengan Elang. Kamu yang di sebelah Laras, oh iya Putri. Kamu duduk dengan Rendra," titah Pak Imam yang tak kesulitan menyebut nama muridnya dengan bantuan papan nama di meja masing-masing.

"Kamu juga Rizki duduk di sebelah sana dengan Farah."

Farah yang mendengar namanya disebut sontak melayangkan protes. "Tapi pak."

"Tidak ada tapi-tapian! Yang lain juga akan bapak acak duduknya." Nada dingin Pak Imam membuat Farah gentar untuk melanjutkan.

Anak-anak mulai memindahkan diri ke meja yang ditentukan Pak Imam. Laras mengerti motif guru matematika tersebut memindahkan mereka. Kontrol, dengan menempatkan mereka berselang-seling seperti ini Pak Imam dapat mengontrol kondisi kelas secara tidak langsung. Anak-anak pintar dipasangkan dengan anak-anak badung, hal ini juga bisa memecahkan kendali mereka.

"Saya mau tempat duduk ini berlaku sampai akhir semester ganjil tidak hanya di mata pelajaran saya saja tapi di semua pelajaran. Bu Kartika setuju sebagai ganti hukuman untuk kelas kalian atas ulah kalian kemarin. Jadi harap kalian patuhi, sebelum bapak berikan sanksi lebih berat."

Sial, batin Laras.

.

What We Liked Those DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang